TERDIAM DALAM TAKDIR (PART33)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART33
…Ceritadewasa…
.
.
.
Kalian siapa? tanya seseorang
tiba-tiba. Sontak membuat kami
semua menoleh, di sana berdiri
seorang anak laki-laki berperawakan
tinggi kurus. Wajahnya terlihat begitu
tak ramah. Sorot matanya tajam
menatap ke arah kami, seolah ia tak
suka jika rumahnya dikunjungi orang.
Maaf, kami ada perlu denganmu.
Ini adalah Ibu Lilis, wanita yang
rumahnya kau bakar, terang pak
Muhsin tanpa basa-basi.
Tatapan mata anak itu pindah
menatapku. Mata tajamnya ini
berubah sendu, di sana tersirat sebuah
penyesalan yang dalam.
Wanita paruh baya yang tadi
menyambut kami, tiba-tiba
menghampiriku dan berlutut di
hadapkanku.
…
Saya mohon, jangan bawa anak
saya.
Apa yang dilakukannya
membuatku terperanjat kaget. Karena
tak enak hati melihat orang yang lebih
tua berlutut di kakiku, aku pun
membantunya untuk berdiri.
Anda orang tuanya? tanyaku,
lantas wanita yang kuperkirakan
usianya sekitar lima puluhan ini
mengangguk mengiyakan.
Kemudian aku berjalan
menghampiri anak muda yang
bernama Jaka itu. Sekarang ia
menunduk. Sepertinya anak itu
benar-benar menyesal, tak berani
menatapku yang berdiri di
hadapannya kini.
Kau harus mempertanggung
jawab kan semua perbuatanmu. Aku
bersedekap memasang wajah datar.
Anak muda yang mengenakan
pakaian yang sudah tak layak itu
lantas mengangkat wajahnya dan
berlutut di kakiku.
…
Bu, saya mohon jangan laporkan
saya ke Polisi. Sungguh saya
menyesal dan saya minta maaf.
Pemuda bernama Jaka itu mulai
menangis.
Tidak bisa! Saya akan tetap
menjebloskan kamu ke penjara, agar
kamu jera dan tak mengulangi lagi
perbuatanmu! sentakku, masih
dengan nada tegas.
Bu, saya mohon maafkan saya,
kalau saya di penjara siapa yang
menjaga lbu saya. Jaka merengek
kembali. la menoleh pada sang ibu
yang juga menangis di dekat pak RT.
la terus memohon tak kenal lelah.
Dan tak lama wanita tua yang ia sebut
ibu itu pun ikut berlutut di
sampingnya.
Bu, jika anak saya harus masuk
penjara, saya juga akan ikut, saya
tidak bisa berpisah dengan anak
saya. Si ibu pun ikut menangis.
Jika seperti ini aku jadi tak tega.
Baiklah, saya akan memaafkan
kamu dan tidak akan melaporkanmu
ke Polisi … Tapi, ada syaratnya. Aku
tak mau memaafkan anak ini begitu
saja. Tentu aku akan membuatnya
bicara siapa yang memerintahkannya
untuk melakukan keji itu.
Apa pun itu, akan saya lakukan,
jawabnya.
Baiklah kalau begitu, jawab saya
dengan jujur. Siapa yang menyuruhmu
untuk membakar rumah saya? aku
menatap lelaki muda itu tegas dan
menuntut agar ia cepat mengakuinya.
Lelaki dengan wajah kucelnya itu
terdiam lantas menundukkan kembali
kepalanya. Lantas menoleh pada sang
ibu di sampingnya.
Jawab! Bentakku.
Litu. Ragu pemuda di depanku
ini untuk menjawab, dan hanya
membuatku bertambah kesal saja.
Siapa? kembali aku
membentaknya dengan tatapan tajam
penuh emosi.
Baiklah, kalau kau tak mau
memberitahu siapa yang
menyuruhmu, sekarang juga ikut kami
ke kantor Polisi! ancamku tak
main-main.
Hai, anak muda katakan saja,
daripada kau mendekam dipenjara!
Seru Pak Muhsin yang kini
menghampiri kami.
S_saya takut, kalau
memberitahukannya pada Anda, nanti
kami akan celaka, ucapnya terbata.
Jika kau berkata jujur, aku yang
akan bertanggung jawab atas
keselamatanmu, pungkasku,
membuatnya menoleh menatapku,
ada binar kelegaan yang bisa
kutangkap dari matanya.
Anda serius?
Tentu saja, aku tidak main-main
dengan ucapanku.
Orang yang menyuruhku
membakar rumah Anda
adalah …Tu_tuan Danu, akunya,
membuatku seketika melotot tak
percaya.
‘Apa, Danu?’ batinku.
Tidak mungkin, bagaimana bisa ia
melakukan hal seperti ini. Apa laki-laki
itu di suruh oleh Mama? Sungguh aku
tak percaya ini.
Kau jangan mengarang!
sergahku, masih tak percaya dengan
pengakuannya.
Sungguh, demi Allah aku tak
berbohong, ucapnya.
Kalau begitu apa buktinya! aku
masih belum percaya sebelum ada
buktinya.
Baiklah, tunggu sebentar aku
punya buktinya, katanya lantas
beranjak masuk ke dalam rumah
biliknya yang sudah tak layak huni itu.
Lima menit kami menunggu dan
akhirnya ia keluar membawa sebuah
kertas kecil. Lalu menyodorkannya
padaku.
Apa ini? tanyaku sembari
meraihnya.
Itu adalah bayaran yang aku
terima dari Tuan Danu berbentuk cek.
la menyuruhku mencairkannya ke
Bank terdekat jika tugasku telah
selesai. Namun, aku tak mau
melakukannya karena … Aku
menyadari perbuatanku, aku sungguh
menyesal. Lelaki bernama Jaka itu
mulai terisak sembari memeluk sang
ibu.
.
.
Apa yang dikatakan lelaki yang
bisa kutebak usianya di awal dua
puluhan itu sepertinya sebuah
kejujuran. Terlihat di cek ini tertanda
tangan atas nama Danu.
Tanganku mengepal dan
meremas cek itu dengan kuat. Entah
apa maksud dari perbuatannya itu.
Usai dari kampung Mengkudu aku
lantas bergegas menuju perusahaan
milik orang tua angkatku itu masih
dengan emosi dalam dada.
Aku akan menemui Danu dan
memintai pertanggung jawaban
darinya. Ini bukan hanya tentang
rumahku yang hangus terbakar.
Namun, juga mengenai motif di balik
tindakan kriminalnya itu.
Mengenai Jaka dan Ibunya, aku
menyewakan tempat tinggal untuk
mereka di dekat rumah pak Muhsin,
sekaligus menitipkan keamanan
mereka pada ketua RT kampung
Cereme itu, agar orang-orang suruhan
Danu tak bisa mengganggunya.
Tiba di gedung berlantai empat
puluh itu aku masuk dan menghadap
resepsionis terlebih dulu. Barnyak
pasang mata yang menatap ke
arahku.
…
Ada perlu apa, Nona? tanya
wanita muda di depanku.
Sepertinya karyawan di kantor ini
sudah banyak yang diganti. Dulu
sebelum aku memutuskan pergi dari
kehidupan mewahku, para staf di sini
semuanya tahu siapa diriku.
Saya ingin bertemu dengan
Danu! Jawabku tanpa menyertakan
panggilan pak di depannya. Persetan
dengan kesopanan.
Maaf Nona, jika Anda ingin
bertemu dengan Pak Danu, sebaiknya
membuat janji terlebih dulu, ucap
resepsionis mudaa itu kembali.
Aku tak peduli! tukasku.
Kemudian melangkah masuk menuju
Lift lantai dua puluh di mana pria itu
berada. Aku masih ingat ruangannya
di sana.
Tanpa arahan orang lain pun aku
tahu dan hafal seluk beluk gedung ini,
karena dulu almarhum papa sering
mengajakku mengunjungi perusahaan
yang sudah puluhan tahun ia rintis
hingga menjadi sukses seperti
sekarang.
….
Mbak Vira, tunggu! cegah
seseorang yang menungguku di pintu
lift menuju ruangan Danu.
Aku menghentikan langkah dan
berbalik menatapnya. Pria yang
kutahu adalah teman dekat Danu
sekaligus asistennya.
Ada apa?
Mbak, Pak Bos lagi ada rapat.
Jika ada perlu tolong tunggu
sebentar, mohonnya.
Aku tak peduli.
Aku nekat tetap berjalan menuju
ruang pertemuan antara kolega yang
tengah membahas kerja sama.
Amarahku sudah di ubun-ubun tak
bisa kutahan lagi. Rudi sang asisten
Danu terus menghalangiku. Namun,
tak membuatku gentar untuk
menghentikan laangkah menuju
ruangan di mana danu berada.
Sampai akhirnya ia menyerah, dan
saat tiba di depan ruang Meeting,
pintu terbuka. Sosok pria yang sedang
kucari muncul di hadapanku.
.
.
Danu mengerutkan kening heran
melihatku berada di sini.
Beberapa kolega bersiap untuk
keluar, sepertinya Meeting telah
selesai. Aku menyingkir ke samping
untuk memberi akses keluar para
kolega tersebut.
Setelah kepergian beberapa orang
penting itu, lantas aku menghampiri
pria yang mengenakan setelan jas
hitam itu sambil melempar kertas ke
wajahnya.
Lantas ia mengambil kertas yang
tadi kulempar jatuh dekat kakinya.
Danu mengerutkan keningnya heran
saat menatap benda tipis itu.
Itu milikmu bukan? sinisku. la
kembali menatapku, entah ia kaget
atau memang pura-pura tidak tahu.
Danu adalah pria berwajah datar yang
tidak bisa ditebak.
…
lya ini cek dan tanda tanganku,
akunya.
Sekarang coba jelaskan, apa
maksudmu membakar rumahku!
teriakku penuh emosi. Namun, Danu
masih terlihat begitu tenang.
Karena aku tidak suka melihatmu
bahagia dengan pria miskin itu!
jawabnya dengan menekan kata
miskin.
Apa pedulimu dan apa urusanmu,
jika aku bahagia dengan suamiku
sen_ cecarku. Namun, dengan cepat
pria yang mengenakan dasi biru
garis-garis hitam itu menyela.
Aku masih mencintaimu dan
akan terus mencintaimu Elvira
Chandra Wijaya!
Ucapan mas Danu barusan
berbarengan dengan suara benda
terjatuh dari arah samping. Aku
menoleh, alangkah terkejutnya netraku
menemukan sosok perempuan yang
sangat aku sayang.
NoteL..i..k..e .mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts