ADIK IPAR PELIPUR LARA (PART7)
Isi Postingan:
ADIK IPAR PELIPUR LARA PART7
..
Mas, aku mau kita pindah,
tinggal di rumah sendiri. Ini
sudah enam bulan kita di rumah
papa dan mama. Mau ya, pinta
Celia, saat mereka berada di
kamar.
Wanita itu memutuskan
untuk pindah dari rumah itu
karena dia benar-benar ingin
menjauh dari Dimas.
Celia merasa, apa yang telah
Dimas lakukan terhadapnya
sudah tak bisa ditolerir lagi.
Dia tak mau terjebak dalam
obsesi mahasiswa teknik yang
playboy, tengil dan urakan itu.
…
Bagaimana bisa dia
seenteng itu bilang menyukaiku,
mencintaiku. Padahal aku ini
istri dari kakaknya, batin Celia.
Dia begitu berani, memaksa
mencium Celia meski wanita itu
menolaknya. Tak seperti saat
pertama kali Dimas merasakan
bbirnya waktu itu, yang seolah
Celia pasrah saja.
Dia begitu syok saat Dimas
melmat bbirnya penuh nfsu
dan menggebu-gebu ketika di
butik sore itu. Sehingga dia tak
bisa berpikir jernih dan logis.
Yang dia tau, satu-satunya
cara untuk menghentikan
Dimas, membuatnya mundur
dan menjauh dari hidupnya
adalah dengan mengancam akan
melukai dirinya sendiri.
Jujur saja, saat itu Celia tak
punya cara lain. Hanya itu yang
terpikir di benaknya. Dia
berharap, Dimas menepati
janjinya untuk tak lagi berbuat
tak sopan dan kurang ajar
padanya.
Dan, sepertinya cara itu
berhasil, selama seminggu ini,
Dimas tak mengganggunya lagi.
Tak ada kata rayuan,
gombalan dan ketukan di pintu
kamarnya malam-malam untuk
bicara dengannya.
Hanya tatapan dan lirikan
pria itu dari kejauhan saat
sekilas dia berpapasan
dengannya di rumah.
….
Meski Dimas sudah tak lagi
mengganggunya, tapi Celia
telah memutuskan untuk tetap
pindah rumah.
Bram yang sedang fokus
dengan tabletnya saat itu duduk
di atas ranjang di samping Celia,
menghentikan aktivitasnya
sejenak.
Dia lalu menggeserkan
tbuhnya, duduk di hadapan
sang istri. Bram menatap Celia
begitu dalam, memastikan apa
yang dikatakan istrinya itu
sesuatu yang penting dan serius.
Kenapa kamu ingin kita
pindah? Kamu gak betah ya
tinggal sana keluargaku? tanya
Bram ingin tau alasannya
pastinya.
Aku ingin tinggal di rumah
sendiri, bersama kamu. Anggap
saja aku sudah gak betah lagi
tinggal di rumah keluargamu,
gak nyaman dan bikin stres juga
, alasan Celia.
Apa benar kamu gak betah,
gak nyaman dan membuatmu
ess? tanyanya gak percaya.
Apa mama, papa atau
Dimas menyakitimu selama ini,
memperlakukanmu tidak baik,
apa orang tuaku jadi mertua
yang jahat? tanya Bram.
Mereka sangat baik padaku.
Orang tuamu sayang dan peduli
padaku. Bukan karena mereka
aku ingin pindah, sebut Celia.
Atau Dimas bersikap tidak
baik padamu? lagi- lagi Bram
bertanya.
Sejujurnya, itu adalah salah
satu alasan utama Celia pindah.
Selain karena dia memang ingin
punya kehidupan sendiri
bersama suaminya, mandiri dan
mengatur urusan rumah tangga
mereka.
Tapi gak mungkin aku
jujur pada Mas Bram kalau
Dimas memang telah berbuat
kurang ajar padanya. Itu hanya
akan memperburuk keadaan
dan bisa saja membuat
hubungan Mas Bram tidak baik
dengan adiknya itu. Bisa saja dia
membenci Dimas atau bahkan
aku, batin Celia.
Padahal, selama ini, dia tau
banget, hubungannya keduanya
cukup baik. Kenapa Mas Bram
terkesan tidak mau kita tinggal
di rumah sendiri. Apakah
permintaanku terlalu
berlebihan, kata Celia.
Dengar, nanti kalau aku
tugas, kamu akan tinggal
sendirian gak ada teman, sebut
Bram, sepertinya enggan pindah
dari rumah keluarganya.
Kan rencananya kita akan
bawa bibi Laksmi sama Tini,
kata Celia, meyakinkan Bram.
Aku cobapikir-pikir dulu
ya, jawab Bram.
Kok mesti mikir lagi sih.
Mas Bram gak mau kita hidup
mandiri di rumah sendiri. Mau
terus bergantung sana keluarga
mas, kata Celia.
Aku hanya minta waktu
berpikir satu dua hari. Jadi
kamu bisa sabar kan menunggu
keputusanku. Aku harus tanya
mana papaku juga dong, sebut
Bram.
Pokoknya aku tetap mau
pindah. Gak mau tau pokoknya.
Jadi kalau keputusan Mas Bram
nanti tetap gak mau pindah,
sebaiknya kita pikirkan lagi
engenai lanjutan pernikahan
kita. Mending pisah aja deh,
ancamnya.
Kamu kok bisa berpikir
seperti itu. Pikiranmu terlalu
kekanak-kanakan kalau
gara-gara pindah rumah
merembet ke perpisahan, kata
Bram gak gabis pikir dengan
jalan pikiran Celia.
Karena aku sudah tak tau
lagi bagaimana meyakinkan mas
untuk pindah dan tinggal di
rumah kita sendiri, katanya.
Sudah aku bilang, beri aku
waktu dua hari ini untuk
berpikir. Ok, katanya,
menggenggam tangan Celia.
Baik. Dua hari, gak boleh
lebih dari itu, sebutnya. Dia
lalu merebahkan tbuhnya di
atas tempat tdur, memejamkan
matanya untuk tdur.
…
Sementara Bram kembali
melanjutkan aktivitasnya
mengotak atik tabletnya.
Saat makan malam bersama
keluarganya, Bram
mengutarakan keinginannya
untuk pindah rumah.
Dimas juga ikut makan
malam, tanpa banyak bicara,
lebih banyak diam. Sesekali, dia
tetap melirik Celia yang duduk
di samping Bram, menikmati
makan malam.
Ma, Pa, aku dan Celia
memutuskan untuk pindah ke
rumah kami sendiri. Aku pikir
ini saatnya kami tinggal di
rumah sendiri setelah enam
bulan d sini, sebut Bram.
Pindah? Mau tinggal di
rumah sendiri? Apa gak bisa
kalian tetap di sini. Mama
senang kalau ada Celia di rumah
ini, kata mamanya.
Ini saatnya kami mandiri
setelah menikah. Membangun
rumah tangga sendiri. Lagi pula,
aku kan memang sudah beli
rumah untuk kami tempati
setelah menikah, jelas Bram.
Mau tinggal di rumah
kawasan elit yang kamu beli hari
itu? tanya Papinya.
Iya Pi, di sana, jawab
Bram. Apa kalian gak betah
tinggal bersama kam? sambung
namanya lagi.
Bukan begitu ma. Celia
betah kok tinggal di sini. Tapi
benar kata Nas Bram. Kami
harus mandiri, mengatur rumah
tangga sendiri, Kita nanti akan
sering main ke sini kok ma,
kata Celia.
Yah, mau gimana lagi kalau
memang itu keputusan kalian.
Tapi mama harap kalian berdua
sering-sering berkunjung ke sini
ya, harap mamanya.
Usai makan malam, Celia
dan Bram duduk santai berdua
di ruang tamu. Mereka sedang
membicarakan persiapan untuk
pindah besok.
Tiba-tiba, ada panggilan
masuk ke ponselnya Bram.
Sebentar, aku angkat telpon
dulu. Dari teman lamaku,
katanya.
Selalu saja,
teman-temannya menjadi
prioritasnya. Mas Bram gak
pernah sekalipun mengabaikan
telpon dari teman-temannya,
bahkan saat kita bicara hal
penting, keluh Celia.
Celia bisa melihat keceriaan
dan kebahagiaan di wajah Bram
saat bicara dengan temannya itu.
Karena itulah, dia mencoba
bersabar dan memahami itu,
meski kadang kesal juga.
Aku akan segera ke sana.
Sudah lama juga gak ngumpul,
sahut Bram mengiyakan ajakan
temannya itu, lalu menutup
telponnya.
Tadi Dani nelpon ajak aku
dan uang lainnya nongkrong di
cafe. Dia tenan SMA ku, kata
Bram.
Mas mau keluar? Ini kan
sudah pukul sepuluh malam.
Kapan pulang, subuh? sindir
Celia, merajuk.
Dia baru pulang dari luar
negeri. Sudah dua tahun aku gak
bertemu dengannya. Boleh ya,
katanya.
Setiap kali mas hangout
atau nongkrong bersama
teman-teman mas, apa pernah
cuma sebentar? Selalu
berjam-jam. Aku gak yakin mas
pulang cepat, katanya,
cemberut.
Kamu gak perlu
menungguku. Tidur saja duluan.
Aku mungkin pulang dini hari
nanti. Tolong ngerti ya,
katanya, membujuk istrinya.
Meski tak aku tak
mengizinkan mas pergi, mas
tetap akan keluar juga kan? Jadi
apa gunanya aku larang, Pergi
saja, katanya.
Makasih sayang atas
pengertianmu, kata Bram,
mencim pipi Celia. Bram
kemudian pamit keluar untuk
menemui teman dan sahabatnya
yang datang dari luar negeri
tersebut.
…
Celia menarik nafas berat,
menatap nanar punggung Bram
yang menghilang di balik pintu.
Sementara, dari sudut
ruang tamu rumah itu, Dimas
mendengar semua percakapan
pasangan suami istri itu.
Dia tau, meski perempuan
itu membiarkan suaminyapergi
menemui temannya, tapi dalam
hatinya Celia pasti sedih.
Dia sudah sering melihat
Celia dengan tatapan seperti itu,
dengan ekspresi tidak senang
dan terpaksa membiarkan Bram
keluar dengan teman-temnnya
sampai tengah malam dini hai
setiap kali Bram menghabiskan
waktu bersama
teman-temannya.
Aku tau bagaimana
perasaanmu. Pasti berat bagimu
harus bersabar menghadapi
sikap Mas Bram, batinnya.
Ingin rasanya saat itu Dimas
mendekati Celia, menghiburnya
biar dia tak sedih.
Di kamarnya, Dimas
nampak gelisah. Dia mas
memikirkan perasaan Celia.
Waktu sudah hampir
tengah malam, Bram belum juga
pulang.
Ponsel Celia berdering
beberapa kali. Panggilan dari
Dimas.
Wanita itu tak mau
mengangkatnya,
membiarkannya terus
berdering.
Beberapa saat kemudian,
notif pesan masuk dari Dimas
terkirim ke WhatsApp di
handphonenya.
Aku tau mbak pasti belum
tidur? Apa Mbak Celia baik-baik
saja? bunyi pesan yang Dimas
kirim.
…
Celia lagi-lagi
mengabaikannya, tak membalas
pesan tersebut.
Aku tau mbak masih marah
padaku. Itu sebabnya, Mbak
Celia mau pindah kan? pesan
lainnya yang dia kirim.
Aku hanya ingin
memastikan mbak baik-baik
saja. Tidurlah, jangan Bebani
pikiranmu, pesan lanjutannya.
‘Selamat malam, dan
selamat tidur. Mbak harus
istirahat besok kan mau
berberes untuk pindah,
sambung pesannya.
Dimas benar, aku harus
istirahat. Besok aku mau
beres-beresin pakaian untuk
pindahan, gumamnya.
Celia lalu istirahat, kembali
tdur di kamarnya tanpa belian
dan cmbuan suaminya.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts
