JANGAN OM (PART66)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART66
…
..
.
Sudah tiga hari Aryo tidak
pulang ke rumah, dan itu
membuat Kinan semakin
gelisah. Ponselnya pun tidak
aktif, seolah jejaknya hilang
begitu saja. Dengan rasa
khawatir yang tak kunjung reda,
hari ini Kinan memutuskan
untuk mendatangi rumah orang
tua Aryo. Sebelumnya, ia
mencoba menghubungi Juan,
sepupu Aryo, tetapi teleponnya
tak diangkat. Akhirnya, Kenan
mengirimkan pesan singkat.
Juan, ini aku, Kinan. Apa
kamu tahu keberadaan Mas
Aryo sekarang? Tiga hari lalu
dia bilang akan menemui Mbak
Siska untuk membahas masalah
perceraian, tapi sampai
sekarang dia tidak ada kabar.
…..
Sebelum Mas Aryo pergi dia
sempat mengatakan kalau
sampai dia tidak ada kabar, aku
harus menghubungimu. Tolong
balas pesanku kalau kamu ada
waktu, aku benar-benar
khawatir dengan kondisi mas
Aryo.
Setelah mengirim pesan itu,
Kenan diantar oleh Tyas dan
Pak Danang menuju rumah
orang tua Aryo. Sesampainya di
sana, ia langsung menemui Pak
Bambang, yang sedang duduk di
ruang tengah.
Kinan? Ada apa kamu ke
sini? tanya Pak Bambang
dengan ekspresi sedikit terkejut.
Kenan menatap Pak
Bambang dengan cemas. Pak,
apa Mas Aryo ada di sini? Sudah
tiga hari ini dia tidak ada kabar.
Terakhir dia bilang akan
menemui Mbak Siska, tapi
setelah itu ponselnya mati. Saya
benar-benar khawatir, Pak.
Pak Bambang menghela
napas panjang lalu menggeleng.
Tidak, Aryo tidak ada di sini.
Jujur, saya juga bingung.
Ibunya Aryo, Kartika, juga
sudah tiga hari ini pergi ke luar
kota. Katanya ada acara dengan
teman-temannya, tapi dia pun
belum membalas pesan saya
sampai sekarang.
Kening Kinan berkerut. Ada
yang terasa janggal baginya.
Pak, kira-kira Mas Aryo di mana,
ya? Saya takut terjadi sesuatu.
Tidak biasanya dia seperti ini,
ujar Kinan dengan nada penuh
kekhawatiran.
….
Pak Bambang termenung
sejenak sebelum akhirnya
berkata, Coba kita cari ke
rumah Siska. Mungkin Aryo ada
di sana.’
Kinan mengangguk setuju.
Namun, sebelum mereka
sampai dipintu, pintu depan
sudah terbuka, dan Bu Kartika
masuk bersama Siska.
Mau ke mana, Mas?
Sepertinya terburu-buru, tanya
Bu Kartika kepada Pak Bambang
sambil tersenyum.
Alih-alih menjawab
pertanyaan istrinya, Pak
Bambang langsung menatap
Siska. Siska, kebetulan kamu ke
sini. Kami baru saja berencana
pergi ke rumahmu mencari
Aryo. Apa dia berada di sana?
Siska tersenyum kecil, lalu
mengangguk. Iya, Pak. Mas
Aryo berada di rumah saya.
Sudah tiga hari ini dia sakit.
Sakit? Kinan tersentak.
Mas Aryo sakit apa, Mbak?
Bagaimana kondisinya
sekarang? tanyanya panik.
Lalu Siska menatap Kinan
dan tersenyum tipis. Tidak
usah khawatir, Aryo baik-baik
saja. Dia masih hidup, tapi dia
kesulitan untuk berkomunikasi.
.. Aryo terkena stroke,
jawabnya pelan.
Ucapan itu membuat Pak
Bambang dan Kinan terperanjat.
Aryo, yang selama ini terlihat
bugar dan menjalani gaya hidup
yang sehat, mendadak terkena
stroke? Rasanya sulit dipercaya.
Pak Bambang hanya mampu
terdiam, sementara Kinan
merasakan dadanya semakin
sesak.
Kinan menatap Siska
dengan tatapan penuh tanya.
Sekarang Mas Aryo di mana,
Mbak? Aku ingin bertemu
dengannya. Aku ingin
memastikan dia baik-baik saja,
ucapnya dengan nada tegas.
….
Namun, Siska hanya
menggeleng dan berkata dingin,
Tidak perlu, Kinan. Kamu
tidak perlu bertemu dengan
Aryo. Yang perlu kamu tahu, dia
baik-baik saja. Aku sebagai istri
sahnya melarang kamu
menemuinya.
Kinan terkejut mendengar
jawaban itu. Tapi, Mbak, aku
juga istrinya Mas Aryo. Aku
punya hak untuk bertemu
dengannya. Aku khawatir
dengan kondisinya. Biarkan aku
saja yang merawatnya,
pintanya dengan nada
memohon. Entahlah Kinan
merasa ada sesuatu yang terjadi
pada Aryo.
Namun Siska justru
tersenyum sinis. Kenapa?
Kamu meragukanku?
menurutmu aku tidak bisa
merawat Aryo dengan baik? Aku
ini istri sahnya, Kinan. Aku
lebih berhak atas dirinya,
ujarnya tajam.
Tapi kalian kan mau
bercerai, Mbak. Bukannya
kemarin kalian bertemu untuk
membicarakan itu? Kinan
mencoba mempertahankan
argumennya.
Siska tertawa kecil, lalu
menjawab, Kamu salah, Kinan.
Aryo kemarin bertemu
denganku bukan untuk
membahas perceraian, tapi
untuk rujuk. Dia berubah
pikiran. Dia tidak jadi
menceraikanku. Bahkan, dia
sudah memberikan surat kuasa
padaku untuk mengelola semua
kekayaannya selama dia sakit.
Kalau kamu tidak percaya,
kamu bisa bertanya langsung
kepada pengacaranya.
Kinan menggeleng, tidak
percaya dengan apa yang ia
dengar. Tidak mungkin, Mbak.
Mas Aryo tidak mungkin
membohongiku, gumamnya
pelan, hampir seperti bicara
pada dirinya sendiri.
….
Pak Bambang yang sejak
tadi hanya mendengar akhirnya
angkat bicara. Siska, izinkan
kami bertemu dengan Aryo. Aku
juga mengkhawatirkan
kondisinya. Sekarang, dia di
mana? tanyanya dengan suara
pelan namun penuh tekanan.
Namun, sebelum Siska
menjawab, Bu Kartika malah
melangkah maju dan tersenyum
lebar. Tenang saja, Mas. Aryo
aman bersama Siska. Kamu
tidak usah mengkhawatirkan
Aryo, lebih baik kamu
menghawatirkan kondisimu
sendiri setelah ini. Kami ke sini
bukan untuk membicarakan
keadaan Aryo. Kami ke sini
untuk mengambil alih rumah
ini, ucapnya santai, seolah
kalimatnya tidak mengandung
sesuatu yang mengejutkan.
Pak Bambang menatap
istrinya dengan mata
membelalak. Apa maksudmu,
Kartika? Ini adalah rumah
keluarga Hermawan. Rumah ini
milikku juga. Kamu tidak punya
hak untuk mengambilnya!
serunya.
Siska tertawa pelan sebelum
angkat bicara. Kenapa aku
tidak punya hak, Pak? Aryo
adalah suamiku dan pewaris
seluruh kekayaan keluarga
Hermawan. Sekarang dia sedang
sakit, jadi aku yang memegang
kendali. Mulai sekarang, aku
yang berhak menentukan siapa
yang boleh tinggal di sini dan
siapa yang tidak. Rumah ini
akan dijual, dan aku minta
Bapak keluar sekarang juga dari
rumah ini, ucapnya tanpa ragu.
Pak Bambang terdiam
beberapa saat, seolah mencoba
mencerna apa yang baru saja ia
dengar. Namun kemudian ia
menatap Siska dengan marah.
Lancang sekali kamu, Siska!
Kamu tidak punya hak atas
rumah ini! Bahkan Aryo pun
tidak berhak menjual rumah ini.
Ini adalah rumah
turun-temurun dari orang
tuaku. Kamu tidak bisa begitu
saja mengambilnya! serunya
dengan nada bergetar oleh
kemarahan.
…
Ketegangan memenuhi
ruangan. Kinan hanya bisa
menatap penuh kecemasan,
sementara Pak Bambang terlihat
berusaha keras menahan
emosinya. Namun, jelas bahwa
pertarungan belum selesai.
Bu Kartika mendekati Pak
Bambang dengan sikap dingin
dan berkata, Sudahlah, Mas.
Kamu turuti saja Siska. Toh,
kamu juga tidak punya hak
apa-apa di sini. Semua harta
keluarga Hermawan adalah
milik Aryo, dan sekarang
semuanya sudah menjadi milik
Siska. Jadi, lebih baik kamu
pergi dari sini dengan sukarela
daripada harus kami usir.
Pak Bambang tertegun,
tetapi tak lama kemudian
amarahnya meluap. Jadi,
kalian berdua sekongkol untuk
menyingkirkanku dan Aryo?!
serunya, matanya memerah
oleh kemarahan dan rasa sakit
yang mendalam. Aryo sudah
memperingatkanku beberapa
hari lalu. Dia bilang kamu, tidak
sebaik yang aku pikirkan selama
ini. Tapi aku memarahinya, aku
tidak mempercayainya.
Ternyata benar… Kamu itu
memang ular! Selama ini aku
tulus mencintaimu, Kartika,
tapi kamu hanya
memanfaatkanku untuk
mengambil harta keluargaku!
Kartika tertawa keras,
penuh kemenangan. Itu karena
kamu terlalu bodoh, Mas.
Bertahun-tahun kamu jatuh
dalam perangkapku. Aku
menikahimu bukan karena
cinta, tapi karena
menginginkan hartamu! Tapi
setelah menikah, aku baru tau,
kamu tidak punya apa-apa.
Sekarang, kamu tidak ada
gunanya lagi untukku! ucapnya
dengan nada penuh penghinaan.
….
Pak Bambang terdiam,
dadanya terasa sesak, dan ia
mulai memegang dada kirinya
yang terasa nyeri. Wajahnya
pucat, dan keringat dingin
mulai mengalir di pelipisnya.
Kinan yang melihatnya segera
panik dan mendekatinya.
Bapak! Bapak nggak
apa-apa? tanya Kenan dengan
cemas, sambil memegangi Pak
Bambang yang tampak semakin
lemah.
Pak Bambang menggeleng,
tetapi wajahnya menunjukkan
rasa sakit yang mendalam.
Melihat itu, Kinan segera
memanggil Tyas yang
menunggu di luar.
Tyas! Tolong bantu aku
bawa Bapak ke mobil! Kita harus
ke rumah sakit sekarang juga!
teriak Kinan penuh kepanikan.
Tanpa membuang waktu,
Tyas masuk dan membantu
memapah Pak Bambang ke
mobil. Mereka segera meluncur
ke rumah sakit, meninggalkan
Siska dan Kartika di ruang tamu.
Siska menatap Kartika
dengan senyum dingin.
Sepertinya si tua bangka itu juga
tidak akan bertahan lama,
gumam Siska.
Kartika tersenyum puas,
lalu menambahkan dengan nada
sinis, Semoga saja dia menyusul
ibunya. Akan lebih mudah bagi
kita untuk mengendalikan
segalanya kalau dia juga pergi.
Tawa kecil mereka bergema
di ruang tamu yang kini terasa
begitu dingin dan penuh dengan
kebencian.
Sesampainya di rumah sakit,
Kinan langsung membawa Pak
Bambang ke Instalasi Gawat
Darurat IGD. Para tenaga
medis segera memberikan
perawatan darurat, dan setelah
kondisi Pak Bambang mulai
stabil, ia dipindahkan ke ruang
rawat inap.
Dokter yang memeriksanya
mengatakan bahwa Pak
Bambang mengalami shock dan
terkena serangan jantung.
Untung saja beliau cepat dibawa
ke sini, kalau tidak kondisinya
bisa lebih parah, jelas dokter
itu.
Kinan duduk di samping
ranjang Pak Bambang yang kini
tertidur setelah diberikan obat
penenang. Wajah mertuanya
masih tampak pucat, namun
nafasnya lebih teratur
dibandingkan sebelumnya.
Tyas, yang sejak tadi berdiri di
sudut ruangan, mendekat dan
berkata, Kinan, sebaiknya
kamu pulang dan istirahat. Biar
aku dan anak buah Tuan Aryo
yang menjaga Pak Bambang.
….
Namun, Kinan menggeleng
perlahan. Tidak apa-apa, Tyas.
Aku ingin menemani Bapak di
sini. Aku harus memastikan
kondisinya benar-benar
membaik, jawabnya tegas.
Tak lama kemudian, ponsel
Kinan berbunyi. Ia segera
mengambilnya dari tasnya dan
melihat nama Juan tertera di
layar. Halo, Juan, sapanya.
Di seberang sana, Juan
menjawab dengan nada
menyesal. Maaf, tadi aku sibuk
baru sempat membaca pesanmu.
Sekarang kamu di mana, Kinan
?
Aku di rumah sakit, Juan.
Pak Bambang, mertuaku, sedang
dirawat di sini, jawab Kinan
dengan nada serius.
Apa? Om Bambang di
rumah sakit? Apa yang terjadi
padanya? Juan terdengar
terkejut.
Bapak terkena serangan
jantung. Untung saja aku segera
membawanya ke sini, jelas
Kinan.
Baiklah, kirimkan alamat
rumah sakitnya. Aku akan
segera ke sana, kata Juan
sebelum menutup panggilannya.
Kinan segera mengirimkan
lokasi rumah sakit kepada Juan.
Setelah itu, ia kembali duduk di
samping ranjang Pak Bambang,
menatap wajah mertuanya yang
masih lemah dengan perasaan
campur aduk. Di satu sisi, ia lega
Bapak masih bisa diselamatkan,
namun di sisi lain, pikiran
tentang Aryo dan ancaman dari
Kartika serta Siska terus
menghantuinya.
Tak lama setelah Kinan
mengirimkan lokasi rumah
sakit, Juan tiba dengan
tergesa-gesa. Ia segera menuju
ruang rawat Pak Bambang dan
menemukan Kinan yang masih
duduk di samping ranjang
mertuanya. Dengan wajah
penuh kekhawatiran, Juan
bertanya, Apa yang terjadi,
Kinan? Kenapa Om Bambang
bisa sampai terkena serangan
jantung? Aku baru tahu kalau
beliau punya penyakit jantung.
Kinan menghela napas
panjang, lalu mulai
menceritakan apa yang terjadi
di rumah orang tua Aryo. Ia
menjelaskan bagaimana Bu
Kartika dan Siska berusaha
mengambil alih rumah keluarga
Hermawan, dan bagaimana
tekanan itu membuat Pak
Bambang shock hingga hampir
mengalami serangan jantung.
Mendengar itu, Juan
mengepalkan tangannya dengan
marah. Orang-orang tidak tahu
diri!!! Mereka sudah keterlaluan!
Aku tidak bisa diam saja. Aku
harus segera bertindak untuk
menghentikan kejahatan
mereka, ujarnya tegas, dengan
nada penuh determinasi.
Melihat Juan yang begitu
marah, Kinan kemudian
bertanya, Juan, apa kamu tahu
keberadaan Mas Aryo? Mbak
Siska bilang Mas Aryo sedang
stroke. Aku sangat khawatir
dengan kondisinya. Tolong
bantu aku, Juan. Aku ingin
bertemu Mas Aryo. Perasaanku
tidak enak. Aku takut terjadi
sesuatu yang buruk padanya.
Juan tersenyum tipis,
mencoba menenangkan Kinan.
Tenang, Kinan. Aryo baik-baik
saja. Memang benar dia sedang
sakit, tapi tidak seperti yang
dikatakan Siska. Aryo tidak
sedang stroke. Dia sedang
menyusun rencana dan mencari
bukti untuk membongkar
kejahatan Siska dan ibunya.
….
Jadi, jangan khawatir. Kalau
waktunya sudah tiba, Aryo pasti
akan pulang dalam kondisi sehat
dan membawa bukti kejahatan
mereka bersamanya, jelas Juan
dengan nada meyakinkan.
Kinan menatap Juan
dengan mata berkaca-kaca,
tetapi kemudian ia mengangguk,
memilih untuk mempercayai
kata-kata sepupu suaminya itu.
Baiklah, Juan. Aku akan percaya
padamu dan menunggu kabar
dari Mas Aryo, ucapnya pelan,
mencoba menenangkan hatinya
yang gundah.
Pagi ini, Siska ditemani Bu
Kartika menghadiri Rapat di
ruang direksi perusahaan
keluarga Hermawan yang
berlangsung dengan tegang.
Siska, dengan penuh percaya
diri, membuka rapat tersebut.
Dengan suara lantang, ia
menyampaikan, Mulai hari ini,
saya, Siska Hermawan, akan
memimpin perusahaan ini.
Suami saya, Aryo, sedang sakit
dan tidak bisa menjalankan
tugasnya. Mertua saya, Pak
Bambang, juga telah
mengundurkan diri akibat
kondisi kesehatannya yang
memburuk.
Para petinggi perusahaan
saling memandang dengan raut
wajah yang penuh keraguan.
Ucapan Siska terdengar terlalu
mendadak dan mencurigakan.
Melihat reaksi mereka, Siska
mengeluarkan dokumen dari
tasnya dan meletakkannya di
meja rapat. Ini adalah surat
kuasa yang telah ditandatangani
Aryo beberapa hari lalu. Dengan
ini, saya resmi menjadi CEO
baru perusahaan ini.
Siska menatap tajam ke
arah peserta rapat. Jika ada
yang tidak setuju dengan
keputusan ini, silakan
mengajukan pengunduran diri
sekarang, tambahnya dengan
nada penuh tantangan.
Ruangan itu hening. Tak
ada satu pun yang berani
menentang, terutama setelah
melihat surat kuasa tersebut.
Semua orang tahu bahwa Aryo
memiliki saham tertinggi di
perusahaan, dan keputusan ini
secara hukum tampaknya sah.
….
Namun, tiba-tiba, pintu
ruang rapat terbuka lebar.
Langkah sepatu terdengar tegas
di lantai marmer, menarik
perhatian seluruh peserta rapat.
Seorang pria masuk dengan
penuh percaya diri. Suaranya
menggema di ruangan itu. Aku
tidak setuju dengan keputusan
ini!
Semua mata tertuju ke arah
pintu. Wajah-wajah terkejut,
termasuk Siska dan Bu Kartika,
yang membelalakkan mata
mereka. Mereka terdiam, seolah
tidak percaya dengan apa yang
mereka lihat.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts