TERDIAM DALAM TAKDIR (PART32)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART32
…Ceritadewasa…
.
.
.
Aku masih terus menatap wajah
yang mulai sendu itu dengan perasaan
haru. Tanpa ia berkata pun aku tahu
apa yang ia rasakan saat ini.
Mas Arman beralih mengambil
roti dari tanganku, lantas ia
memakannya sendiri. Usai
menghabiskan sepotong roti bakar itu,
lanjut pria yang terlihat lelah itu pun
meraih cangkir kopi dan
meminumnya.
Setelah menyeruput kopi yang
masih mengepul itu, kembali ia
meletakkannya di atas meja. Lantas
matanya kembali menatapku. Apa
yang inginkau sampaikan, katakanlah.
.
.
.
Mama akan mencabut gugatan
terhadap mbak Sari, tapi dengan
syarat … Aku menjeda. Rasanya tak
sanggup untuk melanjutkannya.
Namun, masalah ini tidak akan pernah
selesai jika tak secepatnya dicari jalan
keluarnya. Maka dari itu aku mengajak
pria yang sudah empat tahun menjadi
suamiku itu bicara empat mata.
Mama, ingin kita bercerai.
Dengan ragu-ragu aku mengucapkan
kata laknat itu.
Kalau begitu,lakukanlah apa yang
di inginkan ibumu! sahut mas Arman,
begitu ringan tanpa beban.
Aku menatapnya penuh tanya.
Apa yang ada dipikirannya saat ini.
Aku pikir mas Arman akan menentang
dan menolak syarat dari mama.
Kemudian mengajakku berdiskusi
untuk mencari solusi terbaik, tanpa
harus bercerai. Namun, ternyata di
Juar dugaan ia menyetujuinya. Ada apa
dengannya?
…
Mas, apa yang kamu katakan,
kamu menyetujui syarat dari mama?
Mungkin ini yang terbaik untuk
kita,
Terbaik bagaimana? Justru aku
menderita, Mas.
Jika harus jauh dari kamu dan
Sila! aku mulai tersulut emosi.
Lantas kamu mau kita seperti
apa? terus bersama? katanya dengan
nada tinggi. Tidak mungkin kita
bersama, kita itu berbeda, aku pria
miskin dengan segudang kekurangan
yang tak pernah bisa membahagiakan
istri dan anakku sendiri.
Mas, aku tidak peduli dengan
keadaanmu. Buktinya selama ini aku
bisa hidup bersamamu dan aku
bahagia.
Itu dulu!
Apa bedanya, Mas?
Kau mampu bertahan karena
dendammu terhadap Mbak Sari, tapi
setelah dendammu terbalas aku justru
tidak yakin, kau akan bertahan
denganku.
Mas, kamu salah paham. Kuakui
dulu memang aku sempat berpikir
ingin membalas dendam, membuat
Mbak Sari menyesal karena telah
memperlakukan mendiang kedua
orang tuaku dulu dengan tidak adil.
.
.
.
Namun, dari waktu ke waktu aku
belajar ikhlas darimu. Dan akhirnya
aku sadar tak ada gunanya jika terus
memelihara rasa dendam yang tidak
akan menghasilkan apa-apa. Suaraku
mulai bergetar, menahan lsak.
Mas Arman terdiam, lantas
kembali ia menyeruput kopinya yang
tinggal setengah itu. Lantas kusentuh
jemarinya yang bebas di atas meja.
Pulanglah, kita akan tetap
berpisah. Mas Arman menarik
jemarinya dariku. Kemudian berdiri
dan meninggalkanku yang masih
duduk terpaku dengan perasaan
pedih. Kutelungkupkan kepala ini di
atas meja dan menangis tersedu.
..
Aku melangkah gontai masuk ke
dalam rumah yang hanya tersisa
puing-puing yang telah hangus
terbakar sejak sebulan lalu.
Ingatanku jauh menerawang
kembali pada kenangan saat keluarga
kecilku hidup bahagia di sini walau
serba kekurangan. Tawa riang Sila,
suara merdu mas Arman saat
melantunkan ayat suci Al Quran tiap
pagi dan petang masih terdengar
nyata di telingaku. Inilah
kebahagiaanku.
Aku tak akan menyerah, aku
bertekad untuk terus
memperjuangkan pernikahanku, apa
pun yang terjadi, karena bagiku mas
Arman dan Sila adalah kebahagiaanku
yang Allah titipkan.
…
Bu Lilis?panggil seseorang dari
belakang tempatku berdiri.
Aku menoleh pada sumber suara,
ternyata tetanggaku Bu Odah yang
berdiri menjulang menatap ke arahku
sembari membawa bungkusan besar
di tangannya.
Bu Lilis, lama enggak bertemu,
gimana kabarnya? tanyanya.
Aku tersenyum melangkah keluar
dari rumah lamaku ini yang tinggal
abu itu dan menghampirinya.
Baik Bu Odah.
Eleh-eleh, sekarang makin cantik
aja, pasti senang ya tinggal sama
mertua kaya, semua serba tercukupi,
enggak kaya dulu masih di sini
ngutang terus di warung sa …ups.
Maaf keceplosan, rentetnya sambil
menutup mulut ceplas-ceplosnya itu.
Aku hanya tersenyum
menanggapinya, orang hanya
menganggap kebahagiaan itu tak jauh
dari harta. Dulu mbak Sari mengukur
kebahagiaan keluarganya dari harta
dan Tahta, tapi sekarang apa yang ia
dapatkan kesengsaraan pada
akhirnya. Bahkan hidupnya kini lebih
mengenaskan berada di dalam jeruji
besi.
….
Oh, iya, malam sebelum
kebakaran itu, kata pak RT ada salah
satu warga kita yang sempat melihat
dua orang pria mencurigakan
memakai pakaian serba hitam,
katanya.
Apa, seseorang mencurigakan?
lya, coba deh, Bu Lilis ke rumah
Pak RT saja, untuk tahu lebih
jelasnya.
Baiklah, kalau begitu saya pergi.
Terima kasih Bu Odah.
Assalamualaikum,
Waalikummussalam.
Gegas aku beranjak menuju
rumah RT sekitar tempatku tinggal.
Aku ingin lebih tahu dengan jelas apa
yang di ceritakan Bu Odah tadi.
Apa memang ini bukan
kecelakaan, melainkan sebuah
kesengajaan, tapi siapa? Apa mbak
Sari pelakunya? Tapi tak mungkin,
saat kebakaran itu terjadi mbak Sari
sibuk dengan persiapan resepsi
pernikahan mbak Salma. Atau
mungkin dia sudah menyuruh orang
lain? Entah, mana yang benar, intinya
aku harus ke rumah pak RT semoga ia
bisa memberikan petunjuk mengenai
kebakaran rumahku.
.
.
Sampai di rumah Pak Muhsin
selaku ketua RT di kampung ini, aku di
sambut olehnya dengan baik. Pria
yang terkenal tegas dan ramah itu
mempersilakan diriku duduk dan
menikmati secangkir teh hangat serta
pisang goreng buatan istrinya.
Melihat teh hangat dan pisang
goreng, mengingatkanku pada mas
Arman. Dulu aku sering
menbuatkannya kalau dapat oleh-oleh
pisang dari mertuaku.
Mas Arman selalu memuji
masakan atau pun kudapan yang
kubuat. la memang sosok pria tak
pernah menyakiti istrinya dengan
ucapannya. Saat ingin menegur pun,
mas Arnman akan memilih kata-kata
yang sopan dan bijak.
….
Bu Lilis, ke mana saja dengan
Pak Arman? Saya tunggu enggak
nongo-nongol. Padahal ada informasi
penting yang ingin saya sampaikan,
terangnya.
lya, Pak. Saat setelah kejadian itu
ada sedikit masalah keluarga, jadi
kami tak sempat kembali lagi ke sini,
ucapku memberi alasan.
Pria dengan kudisebalnya itu
berdiri dan mengambil sesuatu di
dalam laci yang terletak tak jauh dari
tempat kami duduk.
Aku mengerutkan dahi seraya tak
mengerti dengan maksudnya
memberikanku sebuah dompet pria
berwarna hitam.
Itu identitas pelakunya yang kami
temukan di sekitar rumah Bu Lilis,
jelasnya. Lantas ia duduk kembali di
tempatnya.
Kuraih dompet yang sudah usang
itu dan membukanya, di dalam hanya
ada satu lembar fotokopi identitas
kartu penduduk.
….
Jaka?
lya, setelah diselidiki ternyata ia
adalah anak kampung sebelah.
Jawab pak Muhsin.
Sekarang di mana dia? tanyaku
penasaran tentang keberadaan anak
muda itu.
Sekarang anak itu masih
berkeliaran bebas di kampungnya.
Saya dan warga di sini tak bisa
menuntutnya karena tidak mempunyai
persetujuan dari keluarga Anda.
Katanya. Saya mencoba
menghubungi nomor Pak Arman.
Namun, tak pernah aktif dan akhirnya
kami pun sepakat untuk
memperkarakan kasus ini sampai
kalian kembali lagi ke sini.
Bu Lilis, kalau menurut saya tidak
mungkin anak itu membakar rumah
Ibu tanpa ada sebab, atau mungkin
ada yang menyuruhnya, beruntung
saat kejadian Anda sekeluarga sedang
tidak di rumah, tambahnya.
Kuhela napas kasar, benar-benar
tak menyangka jika ada seseorang
yang ingin mencelakaiku, tapi siapa?
Apa mungkin Mbak sari? tidak
mungkin, kakak iparku itu tidak akan
melakukannya. Saat ia tahu aku akan
tinggal di rumahnya saja ia begitu
marah. Jadi, tidak mungkin dia. Lantas
siapa?
…
Pak Muhsin bisa antarkan saya
ke rumah anak itu? pintaku.
Bisa Bu, kebetulan saya dan RT
kampung Mengkudu sepakat untuk
mengamankan anak itu, jika
sewaktu-waktu Pak Arman dan Bu
Lilis ingin memperkarakannya,
terangnya, lantas ia merogoh kantong
celana mengambil ponselnya dan
melakukan sebuah panggilan.
Halo, Udin kamu dan Komar
sekarang juga datang ke rumah saya,
cepat! titahnya pada seseorang di
sberang sana.
Lima menit kemudian dua orang
yang tadi di panggil oleh Pak Muhsin
itu pun akhirnya datang dengan
mengendarai sebuah motor. Lalu tak
mau membuang-buang waktu kami
pun gegas pergi menuju kampung
Mengkudu.
.
.
.
Pak Muhsin menaiki motor di
boncengi salah satu bawahannya dan
satu lagi di tugaskan untuk menjaga
rumahnya. Sementara aku
mengendarai mobilku sendiri.
Dua puluh menit kami tiba di
kampung mengkudu. Saat melihat
keadaan rumah anak bernama
Jahatiku terenyuh. Rumah yang hanya
berdinding bilik yang sudah berlubang
dimana-mana, atap bagian sisi kiri dan
kanan depan yang di ganjal dengan
beberapa kayu agar tidak roboh.
Keluarlah seorang wanita tua
menyambut kami dengan ramah. la
pun mempersilakan kami duduk di
kursi panjang dari bambu yang berada
di depan rumahnya.
Kalian siapa? tanya seseorang
tiba-tiba.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts