JANGAN OM (PART31)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART31
.
.
.
Sesampainya di rumah sakit
tempat neneknya dirawat, Aryo
bergegas menuju ruang UGD
untuk memastikan kondisi
neneknya. Di depan ruang
pemeriksaan, ia melihat ibunya
yang tampak cemas berdiri
sambil menunggu. Aryo segera
mendekati ibunya.
Ibu, ucap Yoga seraya
memeluk ibunya.Bagaimana
kondisi nenek, Bu? tanya Aryo
penuh kekhawatiran.
Belum tahu, Nak. Nenek
masih diperiksa dokter, jawab
Bu Kartika dengan suara lirih
sambil menahan tangis.
Memangnya nenek kenapa
tiba-tiba pingsan? tanya Aryo
lagi, penasaran.
Tadi pagi, nenek masih
sehat. Bahkan kami sempat
ngobrol setelah sarapan. Tapi
siangnya, tiba-tiba Ibu
menemukan nenekmu pingsan
di kamarnya. Ibu panik,
langsung membawanya ke
rumah sakit ini, dan segera
menghubungimu, jelas ibunya,
suaranya mulai bergetar karena
menahan tangis.
…
Kalau begitu, tenang dulu,
Bu. Mudah-mudahan nenek
tidak apa-apa, Aryo mencoba
menenangkan ibunya.
Tak lama kemudian, pintu
ruang pemeriksaan terbuka, dan
seorang dokter keluar. Aryo dan
ibunya segera menghampirinya.
Bagaimana, Dok, kondisi
nenek saya? tanya Aryo dengan
cemas.
Untungnya tidak apa-apa,
Pak. Kondisinya sekarang sudah
mulai stabil. Beliau sepertinya
hanya terlalu banyak pikiran,
sehingga tensinya sempat naik,
jawab dokter dengan tenang.
Aryo dan ibunya
mendengarkan dengan saksama.
Dokter melanjutkan, Saya
sarankan agar keluarga tidak
membiarkan beliau terlalu stres.
Usahakan menghiburnya dan
membuatnya merasa bahagia
agar tekanan darahnya tetap
stabil. Jika tekanan darahnya
naik lagi, saya khawatir bisa
berujung pada stroke.
Aryo mengangguk penuh
pengertian. Terima kasih, Dok
, ucapnya.
Dokter menambahkan,
Saat ini beliau sudah bisa
dipindahkan ke ruang rawat
inap karena kondisinya mulai
membaik. Tekanan darahnya
juga sudah turun setelah
diberikan obat tadi.
Aryo dan ibunya merasa
lega mendengar kabar tersebut.
Mereka segera mengurus
pemindahan nenek ke ruang
rawat inap, sambil berdoa agar
neneknya segera pulih
sepenuhnya.
Ketika Nenek Lasmi sadar di
ruang rawat inap, Aryo dan
ibunya segera menghampirinya.
Aryo duduk di sisi ranjang,
menggenggam tangan neneknya
dengan lembut.
Nenek, bagaimana rasanya
sekarang? Sudah merasa lebih
baik? tanya Aryo dengan nada
penuh perhatian.
Nenek Lasmi tersenyum
lemah, menatap Aryo dan
ibunya. Iya, Nak, nenek sudah
merasa lebih baik. Terima kasih
sudah menemani nenek,
jawabnya pelan. Namun, raut
wajahnya tampak masih
menyimpan sesuatu.
Aryo menatap neneknya
dengan lembut. Nenek tidak
perlu khawatir tentang apa pun.
Yang penting sekarang nenek
istirahat dan pulih dulu, ya.
Namun, Nenek Lasmi
menggeleng pelan dan menatap
Aryo dengan mata berkaca-kaca.
Nak, sebenarnya ada yang
nenek pikirkan. Itu yang
membuat nenek tidak tenang
selama ini.
Aryo terkejut. Apa itu, Nek?
Ceritakan saja. Aryo dan Ibu
pasti mau mendengarkan.
Nenek menarik napas
dalam-dalam sebelum berbicara.
Nenek selalu kepikiran…
kapan kamu akan punya anak.
Nenek ingin sekali melihatmu
menjadi seorang ayah sebelum
nenek pergi. Itu selalu jadi doa
nenek setiap hari.
…
Aryo dan ibunya saling
pandang, sedikit terkejut
mendengar pengakuan itu. Aryo
menggenggam tangan neneknya
lebih erat. Nenek, jangan
terlalu memikirkan itu. Aryo
dan Siska sudah berusaha.
Mungkin belum waktunya saja.
Tapi Aryo janji, kami akan terus
mencoba, dan nenek pasti akan
segera mendapatkan cucu nanti
Mendengar itu, Nenek
Lasmi tersenyum kecil, meski
air mata menetes di pipinya.
Semoga, Nak. Nenek hanya
ingin melihat keluargamu
lengkap dan bahagia. Itu impian
nenek.
Aryo mengusap tangan
neneknya dengan lembut. Aryo
janji akan mengabulkan
keinginan nenek. Tapi sekarang,
tolong jangan terlalu
memikirkan ini lagi, ya. Fokus
untuk sembuh dulu. Kami
semua sayang sama nenek.
Bu Kartika menambahkan
dengan suara lembut, Iya, Bu.
Kami semua ingin melihat Ibu
sehat selalu, jangan berfikiran
yang aneh-aneh dulu.
Lalu Nenek Lasmi
mengangguk pelan, mencoba
menghapus air matanya.
Baiklah. Nenek akan mencoba
tidak memikirkannya lagi. Tapi
nenek tetap akan berdoa untuk
kalian.
Aryo tersenyum hangat,
merasa lega melihat neneknya
sedikit lebih tenang. Kini ia tahu
apa yang mengganggu pikiran
neneknya, ia semakin bertekad
untuk menemukan Kinan dan
membuat neneknya bahagia.
Setelah berbicara sejenak
dengan neneknya dan
memastikan kondisinya
baik-baik saja. Aryo
memutuskan untuk
menghubungi istrinya, Siska. Ia
berharap, Siska bisa segera
datang menemani mereka di
rumah sakit.
Telepon tersambung, dan
suara Siska terdengar di
seberang. Hai, Mas. Ada apa?
tanyanya dengan nada santai.
Siska, Nenek masuk rumah
sakit tadi siang. Tadi sempat
pingsan di rumah, ujar Aryo,
suaranya terdengar serius dan
cemas.
Oh, ya? Gimana sekarang
keadaannya? balas Siska,
terdengar agak datar.
Sudah mulai stabil, tapi
tetap butuh pemantauan. Aku di
sini sama Ibu. Aku harap kamu
bisa datang ke rumah sakit, dan
menemani Ibu disini, kata
Aryo, mencoba menahan rasa
kecewa atas nada Siska yang
terkesan tidak peduli.
Siska terdiam sejenak
sebelum menjawab. Wah, aku
lagi sibuk banget, Mas. Ada
pemotretan yang nggak bisa aku
tinggalin sekarang. Nanti kalau
sempat, aku mampir, ya.
Aryo tertegun. Tidak
bisakah kamu meninggalkan
pekerjaanmu kali ini? Aku harus
pergi untuk mengurus sesuatu,
tapi aku tidak bisa
meninggalkan ibu dan nenek
sendiri disini, katanya dengan
nada memohon.
…
Namun, Siska hanya
menjawab dengan santai, Aku
ngerti, Mas, tapi pekerjaan ini
penting juga. Nanti kalau ada
waktu, aku pasti ke sana. Kan
sudah ada Ibu disana, lagi pula
kan banyak perawat yang bisa
dimintain tolong. Suruh aja ibu
kasih kabar, kalau ada apa-apa.
Aryo terdiam sejenak,
merasa kecewa dengan respons
istrinya. kamu benar-benar
keterlaluan Siska, tidak pernah
memperdulikanku dan
keluargaku, ucap Aryo marah.
Kenapa selalu hal itu sih,
yang kamu ungkit Mas? aku
capek tahu!! Ya sudah aku mau
pemotretan lagi, jawab Siska
singkat sebelum menutup
telepon.
Aryo menatap layar
ponselnya dengan perasaan
campur aduk. Ia selama ini
mencoba memahami kesibukan
Siska, tapi Siska tidak pernah
bisa memahami kondisinya.
Siska selalu saja egois dan lebih
mementingkan kesibukannya,
daripada keluarganya sendiri.
Setelah menutup telepon
dengan Siska, Aryo menghela
napas panjang. Perasaan
gelisahnya tentang Kinan, istri
mudanya, kembali menghantui.
Ia segera menghubungi Joni,
bodyguard yang selama ini
dipercaya untuk mengawasi
Kinan.
Joni, bagaimana
perkembangan pencarian
Kinan? tanya Aryo langsung
setelah panggilan tersambung.
Pak Aryo, saya sudah ke
kampus dan memeriksa CCTV
sesuai permintaan Bapak,
jawab Joni dengan nada tegas.
Tapi ada masalah, Pak. CCTV di
bagian luar kampus pada hari
nona Kinan pergi, ternyata
sedang rusak.
Aryo terdiam,
mendengarkan penjelasan Joni
dengan saksama. Rusak?
Bagaimana bisa? Bukankah baru
beberapa bulan lalu saya
memerintahkan petugas
keamanan untuk mengecek
semua CCTV dan mengganti
yang rusak?
Iya, Pak, saya juga merasa
aneh. Menurut laporan, CCTV
itu seharusnya dalam kondisi
baik setelah pengecekan
terakhir. Tapi faktanya, pada
hari kejadian, rekaman tidak
ada, jelas Joni.
….
Kecurigaan mulai mengusik
Aryo. Rasanya tidak masuk akal
kalau CCTV itu tiba-tiba rusak.
Joni, saya ingin kamu
menyelidiki lebih lanjut.
Hubungi teman-temanmu yang
lain, periksa semua
kemungkinan. Cari tahu
keberadaan Kinan secepat
mungkin.
Siap, Pak Aryo. Apa ada
instruksi lain? tanya Joni.
Iya, periksa juga setiap
keberangkatan lewat darat, laut,
maupun udara pada hari itu.
Cari data apa pun yang bisa
menjadi petunjuk. Jangan
sampai ada detail yang terlewat,
perintah Aryo dengan tegas.
Baik, Pak. Saya akan segera
bergerak dan memberi kabar
kalau ada perkembangan, kata
Joni, memastikan bahwa ia
memahami perintah Aryo.
Setelah menutup telepon,
Aryo duduk sambil memijat
pelipisnya. Ia merasa ada
sesuatu yang janggal,seolah-olah ada pihak lain yang
terlibat dalam hilangnya Kinan.
Namun, ia tidak bisa
terburu-buru mengambil
kesimpulan. Dalam benaknya,
hanya ada satu tujuan
menemukan Kinan, apa pun
yang terjadi.
Di rumah barunya yang
sederhana, Kinan duduk di
ruang tamu bersama ibunya, Bu
Yati. Mereka tengah berdiskusi
tentang rencana ke depan
setelah memulai hidup baru di
tempat itu. Di sudut ruangan,
Dimas, adik Kinan, sedang asyik
membaca buku, tampak puas
karena berhasil mendapatkan
sekolah baru berkat prestasinya
di sekolah sebelumnya.
Bu, kita ke depannya mau
gimana? tanya Kinan sambil
memandang ibunya dengan
penuh harap. Uang yang Mbak
Siska kasih lumayan banyak.
Kinan pikir, uang itu bisa jadi
modal buat kita. Ibu mau jualan
lagi, atau kita coba usaha lain?
Bu Yati tersenyum lembut.
Ibu sih menurut aja, Nduk. Tapi
kalau boleh saran, lebih baik ibu
jualan lagi, seperti dulu. Jualan
nasi uduk, nasi pecel, sama
gorengan. Itu kan lumayan,
Nduk, bisa buat makan
sehari-hari. Apalagi, daerah
rumah ini lumayan ramai dan
masih jarang penjual makanan.
Kinan mengangguk setuju.
Iya, Bu. Kinan juga berpikir
seperti itu. Kalau ibu mau jualan
lagi, akan aku dukung. Nanti
aku bantu-bantu juga, Bu.
..
Sekalian, aku coba cari kerjaan
di toko atau rumah makan.
Paling enggak, aku bisa bantu
bayar uang sekolah Dimas.
Bu Yati menggeleng pelan,
wajahnya tampak khawatir.
Enggak usah, Nduk. Kamu kan
sedang hamil muda. Kamu itu
harus banyak istirahat. Jangan
terlalu capek, Ibu takut kamu
kenapa-napa.
Kinan tersenyum
menenangkan. Enggak apa-apa
kok, Bu. Insya Allah aku sehat,
kandungan Kinan juga enggak
rewel. Lagipula, aku enggak
bakal ngoyo. Cuma kerja
ringan-ringan aja, yang penting
bisa bantu ibu.
Bu Yati masih ragu, tapi ia
tahu Kinan keras kepala. Ya
sudah, Nduk. Tapi kamu harus
hati-hati, ya. Kalau merasa
capek, langsung istirahat aja.
Jangan terlalu memaksakan diri
Iya, Bu. Kinan janji bakal
jaga kesehatan, balas Kinan
sambil menggenggam tangan
ibunya.
Diskusi itu selesai dengan
kesepakatan bahwa mereka
akan memulai usaha
kecil-kecilan lagi. Sambil
menunggu waktu yang tepat,
Kinan akan tetap membantu
sebisanya tanpa mengabaikan
kondisi kesehatannya. Bu Yati
pun merasa lega meski sedikit
khawatir, karena ia tahu bahwa
mereka saling mendukung satu
sama lain dalam membangun
hidup baru.
..
Pagi itu, sesuai rencana,
Kinan memulai usahanya
mencari pekerjaan di sekitar
tempat tinggal barunya. Dengan
harapan besar, ia naik ojek
menuju sebuah kafe kecil yang
letaknya tak terlalu jauh. Kinan
mengetahui kafe tersebut
membuka lowongan kerja
setelah melihat postingan di
media sosial beberapa hari
sebelumnya.
Sesampainya di kafe, Kinandisambut oleh seorang waitress
yang tengah sibuk melayani
pelanggan. Dengan ramah,
Kinan bertanya, Permisi, Mbak.
Saya melihat ada lowongan
pekerjaan di sini. Apa masih
tersedia?
Kasir tersebut tersenyum
dan menjawab, Oh, iya,kak.
Masih tersedia. Sebentar ya,
saya bilang sama bos saya dulu,
pegawai itu pun segera
menemui pemilik Cafe tersebut.
Setelah mendapatkan izin
dari pemilik Cafe, Kinan pun
lalu diantar oleh pegawai
tersebut, menuju sebuah
ruangan kecil di sudut kafe. Ini
ruangannya, kak. Silakan
masuk, kata kasir sebelum
kembali ke tempatnya.
Kinan mengetuk pintu
dengan sopan. Silakan masuk,
terdengar suara seorang wanita
dari dalam. Kinan membuka
pintu dan melangkah masuk,
menyapa dengan senyum
hangat.
Selamat pagi, Bu. Saya
Kinan, kemarin saya melihat
lowongan pekerjaan sebagai
kasir di sini, dan ingin melamar
, ucap Kinan dengan suara
ramah.
Bu Susi, seorang wanita
paruh baya dengan raut wajah
ramah, mempersilakan Kinan
duduk. Setelah beberapa
pertanyaan sederhana selama
proses wawancara, Bu Susi
tersenyum puas. Kamu
sepertinya anak yang baik dan
jujur, Kinan. Saya rasa kamu
cocok bekerja di sini. Mulai
besok pagi, kamu bisa langsung
mulai.
Mendengar itu, Kinan
merasa sangat lega. Terima
kasih banyak, Bu Susi. Saya
akan bekerja sebaik mungkin,
kata kinan penuh semangat.
Bu Susi mengangguk.
Bagus. Kami di sini seperti
keluarga. Kalau ada apa-apa,
jangan ragu untuk bicara.
…
Setelah selesai, Kinan
keluar dari ruangan dengan hati
penuh rasa syukur. Ia merasa
satu langkah lebih dekat untuk
membantu ibunya dan
memastikan masa depan
keluarganya. Kini, ia bersiap
menyambut hari pertamanya
bekerja di kafe tersebut
keesokan paginya.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts