JANGAN OM (PART30)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART30
..
..
..
Di ruang tunggu bandara,
Kinan duduk di antara Bu Yati
dan Dimas. Suasana terasa
hening, hanya suara
pengumuman keberangkatan
pesawat yang terdengar samar.
Kinan memandang tiket di
tangannya, lalu menghela napas
panjang. la meraih tangan
ibunya, menggenggamnya erat.
Maafin Kinan ya, Bu…
Dimas… Gara-gara aku, kalian
harus hidup pindah-pindah
seperti ini, ucap Kinan dengan
suara bergetar. Matanya mnulai
berkaca-kaca, penuh rasa
bersalah.
Bu Yati tersenyum lembut,
lalu memluk Kinan erat. Ia
mengusap punggung putrinya
dengan penuh kasih sayang.
Nggak apa-apa, Nduk. Yang
penting kita bisa terus bersama.
Dimana pun kita tinggal, asal
kita tetap sama-sama, Ibu yakin
semuanya akan baik-baik saja.
Dimas, yang duduk di
samping mereka, ikut menyahut
dengan semangat. Iya, Mbak!
Dimas juga senang, kok.
..
Akhirnya kita bisa hidup
bersama lagi seperti dulu. Aku
nggak sabar, rumah baru kita
nanti kayak gimana ya?.
Mendengar kata-kata Dimas,
Kinan merasa hatinya sedikit
lebih ringan. Ia memeluk
adiknya dengan penuh rasa
syukur. Terima kasih, Dim.
Kakak juga seneng kok, kita bisa
tinggal bareng lagi, ujarnya
sambil tersenyum tipis,
meskipun air mata masih
menggenang di sudut matanya.
Bu Yati menatap kedua
anaknya dengan rasa haru.
Dalam hatinya, ia tahu
perjalanan ini tidak akan
mudah, tetapi ia merasa yakin
selama mereka bertiga bersama,
mereka akan mampu
menghadapi segala tantangan
yang ada. Mereka bertiga
berpelukan, mencoba saling
menguatkan, sementara
pengumuman keberangkatan
pesawat mereka mulai
terdengar dari pengeras suara.
Waktunya untuk pergi,
memulai hidup baru yang entah
seperti apa.
Setelah pesawat mendarat,
sesuai ucapan Siska, sudah ada
seseorang yang menjemput
mereka. Mereka segera
mengikuti sopir itu dan bersiap
menuju tempat tinggal baru
mereka. Setelah perjalanan
panjang, mobil yang membawa
Kinan, Bu Yati, dan Dimas
akhirnya berhenti di sebuah
perkampungan kecil di daerah
pegunungan di Jawa Barat.
Udara dingin menyelimuti
mereka, dan pemandangan alam
di sepanjang jalan sebelumnya
cukup memikat hati Kinan.
Namun, saat mobil berhenti di
depan sebuah rumah, perasaan
itu segera berganti dengan rasa
miris.
Rumah itu kecil, sederhana,
bahkan cenderung kumuh
dibandingkan rumah-rumah
lain di sekitarnya. Dindingnya
terlihat kusam, dengan cat yang
menggenang di sudut matanya.
Bu Yati menatap kedua
anaknya dengan rasa haru.
Dalam hatinya, ia tahu
perjalanan ini tidak akan
mudah, tetapi ia merasa yakin
selama mereka bertiga bersama,
mereka akan mampu
menghadapi segala tantangan
yang ada. Mereka bertiga
berpelukan, mencoba saling
menguatkan, sementara
pengumuman keberangkatan
pesawat mereka mulai
terdengar dari pengeras suara.
…
Waktunya untuk pergi,
Sopir itu tersenyum singkat,
kemudian berpamitan. Setelah
mobilnya pergi, Kinan berdiri
mematung di depan rumah itu,
memperhatikan setiap
detailnya. Bangunan ini jelas
sudah lama tidak dihuni. Ada
bekas lumut di beberapa bagian
tembok, dan jendela kayunya
terlihat lapuk. Hatinya teriris
mengingat Siska, yang
sebelumnya berjanji akan
membantunya, ternyata hanya
menyediakan tempat seperti ini.
Ayo, Nduk. Kita masuk,
ajak Bu Yati lembut, mencoba
menguatkan hati putrinya.
Kinan menoleh ke ibunya
dengan tatapan ragu. Kita
nggak apa-apa, Bu, tinggal di
sini? Rumahnya seperti ini…
Bu Yati tersenyum
menenangkan. Nggak apa-apa,
Nduk. Yang penting rumah ini
masih layak untuk ditempati.
Kita bisa membersihkan dan
merapikannya nanti. Yang
penting kita punya tempat
berteduh.
Dimas, yang berdiri di
samping Kinan, mencoba
memberi semangat. Iya, Mbak!
Rumah ini juga punya halaman
yang luas. Aku bisa main bola di
sini, seru kayaknya!
Mendengar itu, Kinan
menghela napas panjang dan
mencoba tersenyum kecil.
Baiklah, yang penting kalian
nyaman tnggal disini, kakak
setuju saja.
…
Kinan meraih kunci dari
atas pintu seperti yang
diberitahu sopir tadi, lalu
membuka pintu kayu yang
berderit itu. Bagian dalam
rumah tak jauh berbeda dengan
luarnya-debu tebal
menyelimuti semua sudut, dan
beberapa perabotan terlihat tua
dan reyot. Namun, Bu Yati
langsung bergerak mengambil
sapu yang berada disudut
ruangan untuk bersih-bersih.
Sudah, ayo kita mulai
bersih-bersih. Kalau sudah
bersih, ibu yakin rumah ini
nyaman kok buat ditempati,
ujar Bu Yati dengan suara
lembut yyang penuh keyakinan.
Kinan mengangguk. la tahu,
betapapun beratnya keadaan
ini, ia harus kuat. Demi ibunya,
adiknya, dan anak yang sedang
ia kandung. Sementara udara
dingin tetap menyelimuti,
Kinan mulai menyingsingkan
lengan bajunya, siap untuk
mulai bersih-bersih bersama Ibu
dan Adiknya.
Ditempat lain, Aryo baru
saja selesai bertemu dengan
klien penting di luar negeri.
Setelah seharian mematikan
ponselnya untuk fokus pada
pekerjaan, ia akhirnya
menyalakannya kembali saat
berada di mobil menuju hotel.
Namun, begitu layar ponselnya
menyala, notifikasi panggilan
tak terjawab dan pesan masuk
langsung membanjiri.
Ia melihat nama-nama yang
menghubunginya Joni, Pak
Danang, dan Mbok Sumi.
Hatinya tiba-tiba terasa berat,
firasat buruk mulai
menyelimuti pikirannya. Tanpa
membuang waktu, Aryo segera
menelepon Joni.
Joni, apa yang terjadi?
Kenapa kamu dan yang lain
berkali-kali meneleponku?
tanya Aryo, suaranya terdengar
tegang.
..
Di ujung telepon, Joni
menjawab dengan nada serius.
Pak Aryo, saya nggak tahu
gimana cara menyampaikannya,
tapi… Nona Kinan menghilang.
Dia tidak bisa dihubungi sampai
sekarang.
Aryo terdiam sejenak,
merasakan detak jantungnya
semakin cepat. Apa maksudmu
menghilang? Bukankah tadi
pagi Pak Danang mengantarnya
ke kampus?
Iya, Pak. Pak Danang
memang mengantarnya
kekampus tadi, tapi setelah itu
Nona Kinan tidak kembali. Saya
sudah mencoba menghubungi,
tapi ponselnya tidak aktif. Nona
juga tidak memberitahu apapun
soal kepergiannya, pada mbok
Sumi, jelas Joni.
Aryo merasa darahnya
mendidih, campuran antara
khawatir dan marah. Kalian
sudah memeriksa kedalam
kampus? Sudah tanya
teman-temannya?
Sudah, Pak. Tapi
teman-temannya juga bilang
mereka tidak tahu apa-apa.
Bahkan kata teman-temannya
Nona Kinan hari ini tidak
datang ke kampus, jawab Joni
dengan suara penuh penyesalan.
Aryo mengepalkan tangan,
menekan rasa frustrasinya.
…
Kalau begitu, cari dia sekarang
juga. Periksa CCTV, tanya
semua orang yang mungkin
tahu! Aku ingin tahu
keberadaan Kinan secepatnya!
Baik, Pak. Saya akan terus
mencari, sahut Joni sebelum
telepon terputus.
Aryo duduk diam di dalam
mobil, mencoba mencerna
semua informasi yang baru saja
didengarnya. Firasat buruk itu
kini berubah menjadi
kepanikan. Ia mnerasa ada
sesuatu yang tidak beres,
sesuatu yang jauh lebih besar
dari apa yang terlihat. Dalam
hatinya, ia bertekad akan
menemnukan Kinan, apa pun
yang terjadi.
Aryo berjalan
mondar-mandir di dalam kamar
hotelnya, rasa khawatir dan
frustrasi bercampur adukdi
benaknya. Setelah berkali-kali
mencoba menghubungi Kinan,
hasilnya tetap sama-nomor
Kinan tidak aktif. Ia
menghempaskan tubuhnya ke
sofa, menggenggam ponsel
dengan erat.
Sialan, kemana perginya
Kinan? Jangan-jangan dia
mencoba kabur lagi…
gumamnya penuh emosi. Dalam
hatinya, ia tak bisa menerima
kemungkinan bahwa Kinan
sengaja menghilang tanpa
memberinya penjelasan.
Aryo mengusap wajahnya
dengan kasar, mencoba
menenangkan diri. Namun,
pikirannya terus dipenuhi
dengan berbagai pertanyaan
Apa yang membuat Kinan pergi?
Apakah dia benar-benar kabur?
Atau ada yang
memengaruhinya?
…
Sementara itu, di rumah
barunya, Kinan bersama Bu Yati
dan Dimas akhirnya
menyelesaikan pekerjaan
mereka. Rumah yang tadinya
tampak kumuh dan tidak layak
huni kini terlihat lebih bersih
dan nyaman. Meski sederhana,
suasana di dalam rumah mulai
terasa hangat.
Ah… akhirnya selesai juga,
ucap Kinan sambil merebahkan
tubuhnya di kursi ruang tamu.
Napasnya terdengar lega,
meskipun kelelahan masih
terasa di tubuhnya.
Bu Yati, yang duduk tak
jauh darinya, memandang
putrinya dengan khawatir.
Istirahat dulu, Nduk. Kamu kan
baru hamil muda, jangan
sampai kecapean. Kesehatan
kamu sama bayi ini harus dijaga
, ujarnya lembut, sambil
menatap Kinan penuh kasih.
Kinan tersenyum tipis dan
mengangguk. Iya, Bu. Kinan
cuma pingin istirahat sebentar,
balasnya. Ia lalu merebahkan
tubuhnya di sofa panjang.
Pinggangnya terasa pegal
setelah seharian membersihkan
rumah, dan sofa itu memberi
sedikit kenyamanan.
Dimas yang baru saja selesai
membantu merapikan halaman
depan masuk ke ruang tamu
dengan wajah ceria. Mbak, Ibu,
Lihat saja, Kinan. Kalau sampai
aku berhasil menemukanmu,
aku pastikan kamu akan
mendapatkan hukuman yang
tidak akan pernah kamu
lupakan.
…
Tanpa berpikir panjang lagi,
Aryo mengambil keputusan. la
memesan tiket penerbangan
pulang ke Indonesia untuk hari
ini juga, meskipun itu berarti
meninggalkan pekerjaannya di
luar negeri yang belum selesai.
Dalam hatinya, pekerjaan tidak
lebih penting daripada Kinan.
Saat berada didalam
pesawat, pikiran Aryo dipenuhi
oleh rasa frustrasi dan marah.
Baginya, Kinan tidak hanya
mengkhianati kepercayaannya,
tetapi juga membuatnya terlihat
lemah. la tidak akan
membiarkan Kinan begitu saja,
apalagi dia sudah terikat
kontrak dengannya.
Aryo mengepalkan tangan
erat, matanya menyala penuh
tekad. Tidak ada tempat di
dunia ini yang bisa kamu
jadikan tempat bersembunyi
dariku, Kinan. Aku akan
menemukanmu. Dan saat itu
tiba, akan Aku pastikan kamu
akan mendapatkan hukuman
yang setimpal.
Sesampainya di Bandara
Indonesia, Aryo melangkah
dengan cepat menuju mobil
yang sudah menunggu.
Wajahnya terlihat tegang.
Pikirannya terus dipenuhi
bayangan Kinan dan apa yang
sebenarnya terjadi padanya.
Dengan hati penuh kegelisahan,
ia memutuskan untuk langsung
pergi ke villa tempat Kinan
tinggal. Namun, ketika ia baru
saja akan membuka pintu mobil,
ponselnya berdering.
…
Aryo merogoh saku
jaketnya dan melihat nama
ibunya tertera di layar. Tanpa
pikir panjang, ia segera
menjawab panggilan itu.
Iya, Bu. Ada apa?
tanyanya, nada suaranya
terdengar sedikit cemas.
Di seberang sana, suara
ibunya terdengar tergesa-gesa.
Aryo, nak, kamu dimana?
nenekmu… nenekmu pingsan
tadi. Sekarang sedang dibawa ke
rumah sakit, kata ibunya
dengan nada panik.
Aryo tertegun. Apa?
Kenapa bisa begitu, Bu? Tenang
ya Bu, Aryo baru aja sampai
bandara. Sekarang ibu ada di
rumah sakit mana?
Di Rumah Sakit Bunda
Sehat. Baru saja sampai, jawab
ibunya.
Tanpa berpikir dua kali,
Aryo menutup telepon. Pak,
kita ke Rumah Sakit Bunda
Sehat sekarang juga, ujarnya
kepada sopir dengan nada
mendesak.
Mobil pun melaju
meninggalkan bandara. Aryo
duduk di kursi belakang,
berusaha menenangkan dirinya
sambil mencoba mencari tahu
apa yang sebenarnya terjadi
pada neneknya. Di tengah
kepanikannya, Kinan untuk
sementara menghilang dari
pikirannya. Fokusnya kini
Hanya satu neneknya
NoteL..i..k..e.mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts