Skip to content
LahanBasah

LahanBasah

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART47)

Posted on June 4, 2025 By admin

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART47)

Isi Postingan:

BALADA BESAN DAN MENANTU PART47

…CERITADEWASA…

Sejak kejadian dengan Pak Wira, Umi Latifah

seperti kehilangan arah. Malam-malamnya

sunyi, namun pikirannya gaduh. Kadang ia

termenung di beranda, menatap langit yang

kosong, bertanya pada diri sendiri, Apakah

aku tak pantas dicintai lagi?

Pak Wira, yang dulu begitu perhatian, sempat

membuat jantungnya berdetak dengan

debaran yang telah lama mati. Tapi kini, pria

itu menjelma bayangan yang enggan menetap.

Sekali diberi kesempatan, lalu menghilang

tanpa alasan. Lebih menyakitkan, Pak Wira

kini malah seperti menghindar, seolah

pertemuan mereka adalah aib yang harus

disingkirkan dari ingatan.

Lalu ada Pak Amat-tetangga yang dulu ramah,

sering menyapa dan menawarkan bantuan-

kini terlihat gugup, canggung, bahkan takut

jika harus berpapasan dengannya. Seolah

kehadiran Umi Latifah adalah godaan yang

harus dihindari.

Padahal Umi tak pernah bermaksud seperti itu.

Ia hanya ingin diperhatikan, didengarkan, dan…dicintai.

.

.

.

Namun di saat ia bergmul dengan kesepian

yang kian mengggit, Ustadz Bidin-suaminya

sendiri-malah semakin sibuk dengan istri-istri

mudanya. Lelaki itu jarang pulang, dan jika

pulang pun hanya membawa seonggok tbuh

dan wajah lesu, seolah rumah ini hanyalah

tempat persinggahan.

Tak ada lagi pandangan penuh cinta, tak ada

lagi pertanyaan sudah makan? atau

bagaimana harimu?. Yang ada hanyalah jeda

kosong yang kian melebar.

Pak Sarnu? Entah mengapa Umi Latifah justru

jadi sangat membenci lelaki itu. Dia sangat

malas bertemu, padahal lelaki itu masih sering

mengubunginya, mengajak balikan.

Umi Latifah sudah terlalu lama bertahan dalam

rumah podcast hiburan tangga yang dingin. Dulu ia mencoba

ikhlas, mencoba memahami bahwa lelaki

sepertinya ssuaminya tak cukup dengan satu

perempuan. Tapi semakin hari, semakin ia

merasa seperti bayang-bayang. Tak dianggap.

Tak dibutuhkan. Tak diinginkan.

Dan itu menyakitkan.

.

.

.

Amarah itu tumbuh diam-diam. Tak bisa ia

luapkan pada siapa-siapa. Di hadapan warga,

ia tetap Umi Latifah yang anggun, berwibawa,

guru ngaji yang penuh senyum teduh dan kalimat bijak. Tapi di balik tirai jendela, ia

seringkali menutup wajah dengan kedua

tangan, menahan gemuruh dalam dada. Ada

yang ingin meledak, tapi ia tahu, ia tak boleh

kehilangan kendali.

Namun, entah mengapa… setelah pengalaman

singkat dengan Pak Wira, sesuatu dalam

dirinya seperti terbangun kembali. Sebuah

gairah yang selama ini terpendam, mekar

perlahan, tapi tak mau padam.

Girah itu seperti nyala lilin di tengah badai-

selalu nyaris padam, tapi tak pernah benar-

benar mati. Mungkin usianya tak muda lagi,

keriput sudah mulai mengintip di sudut mata,

namun tubuh dan jiwanya masih ingin

dimiliki… dicintai… disentuh.

 

.

.

.

Sore itu, awan menggantung manja di langit.

Angin berhembus lembut, membuat tirai di

jendela rumah Umi Latifah bergoyang pelan. Ia

baru saja selesai menaburkan bubuk kopi ke

pot-pot tanaman kesayangannya ketika suara

salam terdengar dari depan pagar.

.

.

Assalamu’alaikum, Umi…

Deg. Jantungnya seolah tahu siapa pemilik

suara itu. Suara yang dalam, tenang, tapi

selalu membuat pipinya terasa anget. Ia

menyeka peluh di dahi dengan ujung

kerudungnya, lalu menghampiri pagar.

.

.

Wa’alaikumussalam, PakAmat. Wah,tumben…

lewat depan, biasanya langsung ke mushala.

Pak Amat tersenyum. Ia berdiri dengan peci

hitam khasnya, sarung yang dilipat rapi, dan

bungkusan plastik di tangan kiri.

Ini ada sedikit saturan dari kebun tadi.

Masya Allah… baik banget, Pak. Silakan

masuk dulu, Pak.

Pak Amat sempat menggeleng pelan, tapi

langkahnya malah ikut masuk ke ruang tamu.

Kursi sofa diisi dua jiwa yang sebenarnya

sama-sama menahan gejolk.

.

..

Ustad Bidin ke Bandung ya, tiga hari? tanya

Pak Amat membuka percakapan.

Iya, ada rapat majelis. Eh, Pak Amat… boleh

saya tanya sesuatu nggak?

Umi Latifah duduk sambil menyeka peluh

dengan ujung kerudungnya. Pak Amat

menyesap teh pelan, duduk di seberang,

memandangi sekeliling ruang tamu yang rapi

dan bersih.

.

.

Pak Amat… suara Umi terdengar pelan,

seolah ragu. Boleh minta tolong sedikit?

Pak Amat meletakkan cangkir tehnya. Insya

Allah, kalau saya bisa, pasti saya bantu.

Umi tersenyum kecil. Sebenarnya…

.

.

NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin


Related: Explore more posts

Kisah Menarik Tags:Cerita Basah, Cerita Dewasa, Cerita Panas, Cerita Seru, Kisah Basah, Kisah Seru

Post navigation

Previous Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART48)
Next Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART46)

Related Posts

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART71) Kisah Menarik
Tetangga menggoda (part10) Kisah Menarik
BALADA BESAN DAN MENANTU (PART78) Kisah Menarik
TERDIAM DALAM TAKDIR (PART26) Kisah Menarik
BALADA BESAN DAN MENANTU (PART45) Kisah Menarik
BALADA BESAN DAN MENANTU (PART75) Kisah Menarik

Recent Posts

  • Judul : Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Judul: Rahasia di Balik Ruang Meeting
  • Judul: “Rahasia di Balik Ruang Meeting”
  • ***ENNY ARROW ***

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • June 2025

Categories

  • Kisah Menarik

Copyright © 2025 LahanBasah.

Powered by PressBook Grid Dark theme