BALADA BESAN DAN MENANTU (PART47)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART47
…CERITADEWASA…
Sejak kejadian dengan Pak Wira, Umi Latifah
seperti kehilangan arah. Malam-malamnya
sunyi, namun pikirannya gaduh. Kadang ia
termenung di beranda, menatap langit yang
kosong, bertanya pada diri sendiri, Apakah
aku tak pantas dicintai lagi?
Pak Wira, yang dulu begitu perhatian, sempat
membuat jantungnya berdetak dengan
debaran yang telah lama mati. Tapi kini, pria
itu menjelma bayangan yang enggan menetap.
Sekali diberi kesempatan, lalu menghilang
tanpa alasan. Lebih menyakitkan, Pak Wira
kini malah seperti menghindar, seolah
pertemuan mereka adalah aib yang harus
disingkirkan dari ingatan.
Lalu ada Pak Amat-tetangga yang dulu ramah,
sering menyapa dan menawarkan bantuan-
kini terlihat gugup, canggung, bahkan takut
jika harus berpapasan dengannya. Seolah
kehadiran Umi Latifah adalah godaan yang
harus dihindari.
Padahal Umi tak pernah bermaksud seperti itu.
Ia hanya ingin diperhatikan, didengarkan, dan…dicintai.
.
.
.
Namun di saat ia bergmul dengan kesepian
yang kian mengggit, Ustadz Bidin-suaminya
sendiri-malah semakin sibuk dengan istri-istri
mudanya. Lelaki itu jarang pulang, dan jika
pulang pun hanya membawa seonggok tbuh
dan wajah lesu, seolah rumah ini hanyalah
tempat persinggahan.
Tak ada lagi pandangan penuh cinta, tak ada
lagi pertanyaan sudah makan? atau
bagaimana harimu?. Yang ada hanyalah jeda
kosong yang kian melebar.
Pak Sarnu? Entah mengapa Umi Latifah justru
jadi sangat membenci lelaki itu. Dia sangat
malas bertemu, padahal lelaki itu masih sering
mengubunginya, mengajak balikan.
Umi Latifah sudah terlalu lama bertahan dalam
rumah podcast hiburan tangga yang dingin. Dulu ia mencoba
ikhlas, mencoba memahami bahwa lelaki
sepertinya ssuaminya tak cukup dengan satu
perempuan. Tapi semakin hari, semakin ia
merasa seperti bayang-bayang. Tak dianggap.
Tak dibutuhkan. Tak diinginkan.
Dan itu menyakitkan.
.
.
.
Amarah itu tumbuh diam-diam. Tak bisa ia
luapkan pada siapa-siapa. Di hadapan warga,
ia tetap Umi Latifah yang anggun, berwibawa,
guru ngaji yang penuh senyum teduh dan kalimat bijak. Tapi di balik tirai jendela, ia
seringkali menutup wajah dengan kedua
tangan, menahan gemuruh dalam dada. Ada
yang ingin meledak, tapi ia tahu, ia tak boleh
kehilangan kendali.
Namun, entah mengapa… setelah pengalaman
singkat dengan Pak Wira, sesuatu dalam
dirinya seperti terbangun kembali. Sebuah
gairah yang selama ini terpendam, mekar
perlahan, tapi tak mau padam.
Girah itu seperti nyala lilin di tengah badai-
selalu nyaris padam, tapi tak pernah benar-
benar mati. Mungkin usianya tak muda lagi,
keriput sudah mulai mengintip di sudut mata,
namun tubuh dan jiwanya masih ingin
dimiliki… dicintai… disentuh.
.
.
.
Sore itu, awan menggantung manja di langit.
Angin berhembus lembut, membuat tirai di
jendela rumah Umi Latifah bergoyang pelan. Ia
baru saja selesai menaburkan bubuk kopi ke
pot-pot tanaman kesayangannya ketika suara
salam terdengar dari depan pagar.
.
.
Assalamu’alaikum, Umi…
Deg. Jantungnya seolah tahu siapa pemilik
suara itu. Suara yang dalam, tenang, tapi
selalu membuat pipinya terasa anget. Ia
menyeka peluh di dahi dengan ujung
kerudungnya, lalu menghampiri pagar.
.
.
Wa’alaikumussalam, PakAmat. Wah,tumben…
lewat depan, biasanya langsung ke mushala.
Pak Amat tersenyum. Ia berdiri dengan peci
hitam khasnya, sarung yang dilipat rapi, dan
bungkusan plastik di tangan kiri.
Ini ada sedikit saturan dari kebun tadi.
Masya Allah… baik banget, Pak. Silakan
masuk dulu, Pak.
Pak Amat sempat menggeleng pelan, tapi
langkahnya malah ikut masuk ke ruang tamu.
Kursi sofa diisi dua jiwa yang sebenarnya
sama-sama menahan gejolk.
.
..
Ustad Bidin ke Bandung ya, tiga hari? tanya
Pak Amat membuka percakapan.
Iya, ada rapat majelis. Eh, Pak Amat… boleh
saya tanya sesuatu nggak?
Umi Latifah duduk sambil menyeka peluh
dengan ujung kerudungnya. Pak Amat
menyesap teh pelan, duduk di seberang,
memandangi sekeliling ruang tamu yang rapi
dan bersih.
.
.
Pak Amat… suara Umi terdengar pelan,
seolah ragu. Boleh minta tolong sedikit?
Pak Amat meletakkan cangkir tehnya. Insya
Allah, kalau saya bisa, pasti saya bantu.
Umi tersenyum kecil. Sebenarnya…
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts