BALADA BESAN DAN MENANTU (PART43)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART43
…ceritadewasa
.
Pak Wira masih bisa mengingat dengan jelas
momen itu, saat mereka duduk di teras rumah
Pak Amat bersama beberapa tetangga lain. Pak
Amat dengan santai melempar candaan
, Pak Wira, ini kenapa sih masih betah sendiri?
Jangan-jangan udah nggak bisa apa-apa lagi,
ya? Hehe… Coba deh, cari istri lagi. Masa mau
jadi bujang lapuk terus?
Semua tertawa mendengar lelucon itu. Pak
Wira tersenyum kaku, mencoba menutupi
rasa sakit yang tiba-tiba menggelegak di
ddanya. Tapi hatinya mendidih. Bukan
karena candaan itu salah, melainkan karena
kata-kata itu menyentuh luka lamanya.
.
.
Pak Amat mungkin tidak tahu, atau mungkin
tidak peduli, bahwa ejekan itu
Pak Wira pada alasan
sebenarnya mengapa dia belum menikah lagi
setelah percerian yang memalukan itu-
percerian yang juga disebabkan oleh desas-
desus tentang dirinya yang lemah di rnjang.
Pak Wira berpikir dalam hati, Mereka pikir
aku tidak mendengar bisik-bisik itu? Mereka
semua menertawakanku di belakang,
terutama Umi Latifah yang menyebar gosip
soal aku… Aku tak akan pernah lupa. Dan
sejak saat itu, benih kebencian terhadap orang
-orang yang sering mengejeknya mulai
tumbuh dalam diri Pak Wira.
.
.
.
Saat ini, Pak Amat mungkin sudah lupa
dengan candaan itu, tapi bagi Pak Wira, itu
adalah penghinaan yang tidak pernah bisa dia
lupakan. Senyum miring di wajahnya semakin
lebar saat jari-jarinya dengan perlahan
mengusap cincin yang melingkar di jari
manisnya-cincin pemberian Mbah Terong. Pak
Wira tahu, cepat atau lambat, semua orang
yang pernah merendahkannya
akan
merasakan akibatnya, termasuk Pak Amat.
..
Pak Amat pun bisa kena, gumam Pak Wira
pelan, senyum licik tersungging di bbirnya.
Tinggal menunggu waktu.
Pak Wira merasa yakin, bahwa meski malam
ini Pak Amat berhasil menahan diri, godaan
yang lebih kuat akan datang lagi. Cincin
pemberian podcast hiburan Mbah Terong itu memang bukan
sekadar perhiasan biasa, tapi senjata yang
perlahan-lahan akan mengikis moral dan
prinsip orang-orang seperti Pak Amat.
Pak Wira menggumam dalam hati sambil
melangkah pulang dengan rasa puas yang tak
terbendung.
..
.
.
Kenyataannya, Pak Amat juga belum menikah
lagi setelah dua tahun ditinggal almarhum
istrinya… Jangan-jangan dia juga impten,
sama seperti yang mereka tuduhkan padaku.
Atau mungkin dia punya hubungan khusus
dengan Milah, menantunya. Ya, siapa tahu?
Mereka terlihat sangat dekat.
Senyum sinis masih melekat di wajah Pak
Wira saat dia memasuki rumahnya. Bayangan
orang-orang yang pernah menghina dan
merendahkannya terus bermain di benaknya.
Mereka semua, mulai dari Umi Latifah, Pak
Amat, hingga orang-orang lain di sekitarnya,
sudah menganggap dirinya tidak berdaya-
lemah. Tapi Pak Wira tahu, dengan cincin
sakti pemberian Mbah Terong, dia memegang
kendali atas nasib mereka.
.
.
.
Takdir tak akan bisa mereka hindari,
pikirnya dengan puas. Cepat atau lambat,
setiap orang yang pernah menghina dan
menertawakanku akan merasakan balasan
yang setimpal. Mereka semua akan terjerumus
dalam permainan yang sudah kususun.
Pak Wira masuk ke rumahnya dengan
perasaan tenang, yakin bahwa waktu akan
berpihak padanya, membawa kehancuran
bagi mereka yang pernah meremehkannya.
.
.
.
Umi Latifah mengepalkan tangannya dengan
kuat, jari-jarinya gemetar oleh kekecewaan
yang merayap ke seluruh tbuhnya. Ia tahu,
Pak Amat tadi ada di samping rumahnya,
mengintip dari kegelapan.
Jantungnya sempat berdebar penuh antisipasi,
membayangkan pria itu akan mengetuk pintu,
bahkan membayangkan pertemuan intim yang
mungkin saja terjadi. Namun, kenyataannya
berbeda-Pak Amat pergi begitu saja,
menghilang seperti bayangan yang menguap
dalam malam.
.
.
.
Kenapa dia harus pergi? gumam Umi Latifah
dengan nada getir, kekecewaannya memuncak.
Bayangan tbuh Pak Amat, yang tadi hanya
berblut handuk saat mereka berbicara di
meja makan, masih menari-nari di benaknya.
Tatapan matanya, kesederhanaan tbuhnya,
semua itu membuat Umi Latifah tergoda lebih
dalam. Namun malam ini, semuanya gagal.
Fantasinya, hsrat yang sempat membakar,
tak terwujud.
Dengan penuh amarah yang tertahan, Umi
Latifah mengumpat pelan, bbirnya bergetar
menahan frustasi. Bodoh, desisnya, seolah
mengutuk situasi. Kenapa dia harus pergi
lagi?
Ia mendsah keras, merasakan desiran
kekecewaan
tak terbendung.
yang
Keinginannya untuk menikmati lebih banyak…
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
menantuidaman
istriidaman
selingkuh
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts