BALADA BESAN DAN MENANTU (PART48)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART48
…Ceritadewasa..
Gini pak , sebenarnya dapur saya rusak, Pak. Bukan rusak banget, sih,
cuma kuncinya udah gak bisa dikunci. Jadinya
suka bunyi-bunyi sendiri kalau kena angin.
Sudah lama? tanya Pak Amat.
Udah… cuma saya belum sempat manggil
tukang. Eh, tapi… saya pikir, siapa tahu Pak
Amat bisa bantu lihat-lihat dulu.
Pak Amat tersenyum, sedikit angguk. Boleh,
insya Allah. Coba kita lihat bareng sekarang,
ya?
.
.
.
Mereka pun beranjak menuju dapur. Umi
sedikit gugup, berjalan setengah langkah di
depan. Saat Pak Amat berdiri di dekat jendela
itu, ia berjongkok untuk memeriksa bagian
dalamnya. Umi berdiri agak dekat, tangannya
bermain dengan ujung taplak meja.
Ini kuncinya udah oblak. Harus diganti, Mi,
ucap Pak Amat setelah memeriksa.
Wah, iya ya… saya takutnya kebuka sendiri
tengah malam, saya mikir yang aneh-aneh,
Umi tertawa ringan, tapi matanya serius.
.
.
Saya ke warung Pak Dudung dulu ya, beli
kunci yang cocok. Insya Allah sebentar aja.
Pak Amat… makasih banget, ucap Umi, tulus
dan lembut. Saya bikinin teh panas yang baru
ya, nanti sama gorengan.
Pak Amat hanya tersenyum kecil, lalu keluar
rumah.
Saat Pak Amat kembali dengan bungkusan
kecil di tangan, ia langsung menuju dapur
tanpa podcast hiburan banyak bicara. Umi diam-diam
memerhatikan dari meja makan. Cara Pak
Amat duduk bersila, membuka obeng dan
kunci baru dengan tenang, lalu bekerja dengan
sabar, semuanya membuat hatinya
bergemuruh. Ia tak tahu kenapa… tapi
perasaan itu tumbuh makin jelas.
Masya Allah… gumamnya pelan, nyaris
seperti doa.
.
.
Pak Amat selesai memperbaiki jendela dalam
waktu singkat. Ia bangkit, menyeka peluh dari
dahi, lalu menoleh.
Sudah bisa dikunci, Mi. Aman sekarang.
Masya Allah… makasih banyak ya, Pak. Umi
menyodorkan teh dan sepiring gorengan.
Pak Amat sempat ragu, tapi akhirnya duduk
kembali. Umi pun ikut duduk di seberangnya.
Beberapa saat mereka makan dalam diam.
Tapi bukan diam yang canggung. Justru… ada
semacam ketenangan aneh di situ. Seolah
mereka sedang berbagi sesuatu yang tidak
terucap.
.
.
.
Pak Amat… Umi berkata pelan. Saya…
kadang mikir, kenapa Allah mempertemukan
kita sering sekali. Padahal, gak pernah janjian.
Pak Amat hanya tersenyum. Mungkin supaya
kita sama-sama ingat… bahwa sendiri itu
bukan berarti sepi.
Umi terdiam, menatap cangkir teh yang mulai
dingin. Dalam hatinya, sebuah pintu kecil
mulai terbuka. Bukan tentang cinta, bukan
tentang dosa. Tapi tentang perasaan yang
akhir-akhir ini terkurung sendiri.
.
.
.
Matahari mulai miring ke barat, bayangan
pohon di halaman depan memanjang
menyapu teras. Suara azan maghrib dari
mushala mulai terdengar samar dari kejauhan.
Pak Amat melirik jam tangannya. Wah, sudah
sore, Mi. Saya pamit dulu ya. Takutnya ada
yang lihat, nanti dikira macam-macam.
Umi Latifah mengangguk, meski sorot
matanya seperti belum rela. Iya, Pak…
makasih ya hari ini. Beneran bikin saya tenang.
Pak Amat tersenyum tipis. Sama-sama, Mi.
Insya Allah, kalau ada apa-apa, kabarin aja.
Saat Pak Amat melangkah ke pintu, Umi tiba-
tiba berkata pelan, nyaris seperti bisikan.
.
.
.
Pak Amat…
Pak Amat menoleh, menunggu.
Kalimat berikutnya tak langsung keluar. Tapi
akhirnya Umi beranikan diri.
Kalau… masih pengin ngobrol atau ngopi,
nanti malam abis isya ke sini aja lagi. Tapi…
lewat dapur aja ya. Soalnya… ya, biar nggak
ada yang curiga.
Pak Amat terdiam sejenak. Tatapan mereka
saling bertemu, seperti menyimpan rahasia
yang hanya mereka pahami.
Akhirnya, Pak Amat mengangguk pelan. Baik,
Mi. Kalau saya sempat… saya datang.
Umi hanya mengangguk kecil, menunduk, lalu
mengantar Pak Amat hingga ke ambang pintu.
.
.
.
Angin sore berembus pelan, membawa aroma
kopi dan cerita yang belum selesai.
Setelah lelaki itu benar-benar pergi, ia
menghela napas panjang. Dielsnya dada
sendiri, terasa lega.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts