TERDIAM DALAM TAKDIR (PART31)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART31
…CERITA DEWASA…
.
.
.
Aku tak habis pikir dengan apa
yang di katakan oleh mama barusan.
Ma, sampai kapan pun aku tak
akan pernah maumeninggalkan
suamiku. Tegasku.
Vira, tolonglah ini demi kebaikan
kamu. Mamatidak sanggup jika
sesuatu terjadi lebih parah dari
kemarin! tegas mama mulaitersulut
emosi.
Aku tahu perasaan mama, ia
khawatir jikaterjadi sesuatu lagi
padaku, tapi kekhawatirannya itu
terlalu berlebihan.
Aku tak akan pernah memenuhi
keinginannya jika harus
mengorbankan pernikahanku.
Ke esokkan harinya aku kembali
ke rumah mertuaku. Rasa rindu pada
Sila tak bisa terbendung lagi.
Kuketuk pintu kayu itu pelan
mengucapkansalam.
.
.
.
Tak lama terdengar bunyi hendel
pintu di buka dari dalam.
Menampilkan sosok renta bapak
mertuaku.
Wa’alikummussalam, Lilis?kaget
bapak kaget.
Lantas kuraih tangannya dan
menciumnya takzim.
Pak, boleh Lilis masuk?
mohonku. Lalu ia mengangguk
mengiyakan permintaanku. Bapak
bergeser memberi akses jalan untukku
masuk ke dalam rumahnya.
Gegas aku berjalan menuju kamar
yang pernah kutempati bersama
suami dan anakku itu.
Kubuka pintu perlahan, menatap
dua orang yang paling berharga dalam
hidupku, tengah tertidur dengan wajah
damai di sana.
Aku tersenyum menatap mereka
berdua. Tak berani mengganggu
lantas pergi ke dapur, membuatkan
makanan kesukaan mereka dengan
bahan-bahan yang baru kubeli tadi
sebelum datang ke mari.
..
Lis! panggil ibu tiba-tiba dari
belakang. Aku menoleh pada wanita
yang kepalanya sudah di tumbuhi
uban itu.
Wajahnya terlihat sendu,
membuatku seketika diliputi rasa
khawatir.
Ada apa, Bu? tanyaku. lbu
sakit? lanjutku.
Lis, ada yang ingin ibu bicarakan
sama kamu, ucapnya.Lantas aku
mengangguk mengiyakan ajakannya.
Bapak mengajakku ke dalam
kamarnya menemui Dela yang
terbaring lemah sedari malam. Lalu
aku menghampirinya duduk di tepian
di dipannya meraih tangan bocah
berusia lima tahunan itu.
Sudah di bawa ke dokter belum?
Sudah, semalam di bawa sama
Arman, tapi ya begitu, enggak mau
makan. Bagaimana lbu mau kasih
obat,
Mama … ucap Dela lirih.
Dari semalam Dela
manggil-manggil Sari terus, lbu kasian
lihatnya. Ibu mengusap pipinya yang
mulai di basahi air mata.
.
.
.
Aku ikut mendirikan air mata
menatap iba pada tubuh kecil di
hadapanku. Tak tega melihatnya
terbaring lemah di atas kasur.
Lis, kalau boleh Ibu mau minta
sama kamu, tolong maafkan
Mbakmu, pinta ibu.
Dari awal juga Lilis sudah maafin
Mbak Sari, Bu. Sungguh Lilis enggak
pernah Menyimpan dendam pada
mbak Sari.
Maksud lbu, tolonglah minta
sama Bu Sandra untuk mencabut
laporannya. Menatap wajah ibu
mengiba seperti itu aku jadi tidak
tega.
Baiklah, Bu. Nanti Lilis coba
bujuk Mama, jawabku.
Usai dari rumah mertuaku aku
pulang ke rumah menemui mama,
untuk membicarakan soal gugatan
yang di layangkannya pada mbak Sari.
Sudah pulang? tanya mama,
saat aku masuk ke ruang kerjanya.
Mama lebih sering kerja di rumah
dibandingkan di kantor. Kadang ia ke
kantor saat ada urusan tertentu saja,
selebihnya ada Danu yang
mengurusnya.
.
.
.
Semenjak mama pensiun sejak
sebulan yang lalu, kantor ia alihkan
untuk sementara pada anak
sahabatnya itu. Sebenarnya mama
ingin aku yang mengurus perusahaan
yang sudah sejak lama di rintis oleh
almarhum papa itu. Namun, aku
menolaknya karena aku lebih memilih
kehidupan sederhana bersama
suamiku.
Ma, ada yang ingin aku bicarakan
denganmu, pintaku.
Bicaralah, ucapnya, tanpa
mengalihkan tatapannya pada
tumpukan dokumen di hadapannya.
Ma, aku minta sama Mama,
tolong cabut gugatan yang Mama
layangkan pada Mbak Sari, ungkapku.
Membuat ibu angkatku itu beralih
menatapku.
Menutup dokumen yang tengah ia
periksa dan menyingkirkannya ke
samping, kedua tangannya bertumpu
di atas meja kayu di depannya.
…
Kenapa au ingin berbelas
kasihan pada orang yang telah
berbuat jahat padamu? selidiknya.
Aku tak tega melihat kondisi
anaknya, yang tengah sakit karena
merindukan Mbak Sari, jelasku.
Lantas apakah waktu dia
melukaimu, wanita itu pernah
memikirkan perasaanku, Sila dan
suamimu?! tanyanya sarkas.
Ma, sudahlah itu sudah berlalu,
lagi pula sekarang aku baik-baik saja.
Keluarlah, Aku tak bisa
memenuhi permintaanmu! putusnya
telak.
Lantas ia sibukkan dirinya
kembali dengan map-map yang
tengah menunggu di periksa dan di
tanda tangani olehnya.
Aku menghela napas dan
membuangnya kasar.
Aku akan melakukan apa pun
yang Mama mau, jika Mama
mencabut gugatan itu, ucapku tak
menyerah.
.
.
.
Mendengar apa yang kukatakan,
lantas ia menghentikan gerakkan
tangannya yang tengah
membolak-balik kertas berisi saham
milyaran rupiah.
Kau serius? tanyanya. Baik,
kalau begitu, bercerailah dengan
suamimu, maka aku akan mencabut
gugatan itu, ungkapnya.
kecuali itu, sergahku, Memberi
pengecualian.
Tidak ada pengeculian!
Ma! Perceraian itu di larang oleh
agama. Maka dari itu aku tak ingin
bercrai dengan mas Arman, apalagi
kami saling mencintai dan rumah
tangga kami pun baik-baik saja!
terangku meyakinkan dengan nada
sedikit meninggi.
..
Jika rumah tanggamu baik-baik
saja, enggak mungkin kamu bisa
keguguran.
Itu memang sudah takdir Allah,
Ma. Memang jalannya harus seperti
itu. Aku masih terus mendebatnya
tanpa henti.
Sudahlah! berhenti mendebatku
terus. Sekarang keluarlah, dan pikirkan
baik-baik syarat yang kuberikan tadi!
putusnya.
Bada subuh aku mendapatkan
telepon dari ibu, sengaja aku
menitipkan nomor Handphone-ku
padanya agar aku mudah
berkomunikasi dengannya untuk
menanyakan keadaan putri dan
suamiku.
.
.
.
Ibu memberi kabar jika Dela
masuk rumah sakit, karena semalam
demamnya tinggi sekali, karena
khawatir mas Arman dan bapak
membawanya langsung ke IGD.
Dan sekarang aku telah sampai di
alamat rumah sakit yang ibu berikan
padaku tadi saat bertelepon. Berlari
menyusuri lorong gedung khusus
menaobati orana sakit ini dengan
tergesa.
Di ujung lorong sana aku
menemukan mas Arman berdiri
menghadap jendela. Dengan langkah
pelan aku mendekat padanya.
Mas, panggilku, membuatnya
menoleh tanpa ekspresi.
Tak ada jawaban dari bbirnya,
atau sekedar menyapa pun sepertinya
ia sudah enggan.
Bagaimana keadaan Dela?
tanyaku.
Sudah membaik, tak lagi panas
seperti semalam, jawabnya datar.
Alhamdulillah, syukurlah kalau
begitu.
Kemudian aku melangkah masuk
ke ruang di mana Dela dirawat, usia
berpamitan pada mas Arman. Tubuh
ringkih itu terkulai lemah dengan infus
yang menempel di tangan kanannya.
Terlihat bapak di sampingnya
tengah tertidur di sisi brankar degan
posisi kepala di topang oleh kedua
lengannya.
Tak ingin mengganggu keduanya,
aku pun kembali keluar dan mengajak
mas Arman sarapan ke kantin rumah
sakit.
Awalnya suamiku menolak.
Namun, setelah aku membujuknya, ia
pun mengiyakan ajakanku.
.
.
.
Di sinilah aku dan mas Arman
sekarang menikmati secangkir kopi
dengan roti bakar dengan aroma
mentega yang menggiurkan.
Sarapan dulu, Mas, tawarku,
sembari menyodorkan roti kemulutnya
dengan tanganku.
la terdiam menatapku, aku
memberinya isyarat dengan sedikit
mengangguk agar ia membuka
mulutnya. Kebiasaan inilah yang
sering kami lakukan saat makan,
saling menyuapi penuh cinta.
Kulihat mata kelamnya tak lagi
terlihat tajam, berganti dengan
tatapan sendu dan mulai berembun. la
mulai membuka mulutnya menggigit
roti dari tanganku.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
selingkuh
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts