TERDIAM DALAM TAKDIR (PART34)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART34
…Ceritadewasa…
.
.
.
Mbak Salma?
Tanpa berkata apa-apa ia berlari
meninggalkan kami yang masih
mematung.
Aku menatap Danu heran, sama
sekali tak ada niat untuk mengejar
istrinya. Suami macam apa pria di
hadapanku ini.
Mbak, Mbak Salma! Tunggu!
teriakku, lantas berlari mengejarnya.
Dan tak peduli lagi dengan niatku
untuk menghajar Danu, yang
terpenting saat ini adalah perasaan
mabak Salma. Aku tak ingin kakak
dari suamiku itu berpikir yang
tidak-tidak tentang hubunganku
dengan suaminya.
.
.
.
Sampai di lift aku terlambat,
pintunya sudah tertutup, Terpaksa aku
memilih lewat tangga.
Baru sampai tiga lantai, aku
sudah tak tahan lagi. Akhirnya
menyerah dan menggunakan lift
sampai bawah.
Sampai lobi aku tak menemukan
mbak Salma. Sepertinya ia sudah
pergi, semoga Kakak iparku itu
baik-baik saja.
Sepulang dari kantor, aku
langsung mengistirahatkan diri
dikamar. Melewati Mama yang duduk
di ruang tengah dengan majalah di
tangannya.
Tak ada sapaan basa-basi yang
kulontarkan seperti biasa. Aku lelah
dan masih kecewa padanya. Orang
kepercayaannya ternyata mampu
melakukan hal kriminal hanya karena
cinta.
.
.
.
Cinta? Sungguh aku tak percaya
Danu masih mencintaiku sampai saat
ini, tapi aku tahu ia adalah orang yang
tak pernah main-main dengan
ucapannya. Lalu, bagaimana dengan
mbak Salma, apa selama ini rumah
tangga mereka baik-baik saja.
Mbak Salma, entah bagaimana
keadaannya. Aku harus segera
menemuinya dan meluruskan
kesalahpahaman ini.
Di tengah lamunanku terdengar
pintu kamar di ketuk dari luar, Kuhela
napas kasar mencoba melepaskan
beban yang mengimpit dada.
lya, tunggu! seruku, lantas
berjalan membuka pintu.
….
Ada apa? tanyaku pada pelayan
yang berdiri di hadapanku.
Nyonya menunggu Anda di meja
makan untuk makan malam, katanya.
Katakan padanya aku tidak
lapar. Aku kembali menutup pintu.
Kepalaku benar-benar pening
memikirkan masalah yang terus
datang, belum selesai masalah rumah
tanggaku dengan mas Arman, muncul
masalah siapa dalang yang membakar
rumah, dan sekarang di tambah
masalah baru mbak Salma. Semoga
saja kakak iparku itu tidak salah
paham.
.
.
Astagfirullah, semoga Allah
memberiku kemudahan untuk
menghadapinya dengan baik.
Tengah malam aku terbangun
karena merasa lapar. Baru ingat tadi
diriku melewatkan jam makan malam.
Turun dari tempat tidur dan
melangkah keluar kamar menuju
dapur, mencari sesuatu yang bisa di
makan. Aku menghampiri meja
makan, masih ada udang saus tiram
dan cah kangkung, sepertinya masih
utuh. Apa mama juga belum makan?
Entahlah.
Di tengah-tengah kegiatan
makanku terdengar suara deheman
seseorang. Membuatku menoleh ke
Sumber suara. Di sana terlihat mama
berdiri diambang pintu sambil
bersedekap.
Kemudian ia melangkah
menghampiriku dan ikut bergabung.
…
Kenapa baru makan? tanyanya.
Enggak kenapa-kenapa. dengan
cuek aku menjawab pertanyaannya,
sembari mengelap mulut dengan tisu.
Usai menandaskan sepiring nasi.
Entah karena lapar atau memang
enak, senmenjak memutuskan hidup
sederhana dengan mas Arman aku
jarang makan enak, dan ketika
kembali ke rumah mama. Semua
masakan yang dulu menurutku bosan
kini menjadi enak sekali.
Mama mau bicara sama kamu.
Bicara saja.
Wajah mama mulai terlihat kesal
dengan tingkahku yang cuek
terhadapnya. Mama tipe orang yang
paling tidak suka jika tak di perhatikan
saat bicara. Biarlah, biar dia tahu kalau
aku juga tengah kesal padanya.
Kata Rudi, tadi kau ke kantor, dan
mengamuk pada Danu?
Aku terdiam menatapnya, cepat
sekali asisten pria jahat itu melapor
pada mama.
Aku hanya minta penjelasan,
kenapa dia sampai hati membakar
rumahku, rumah peninggalan orang
tua kandungku.
Tidak mungkin Danu melakukan
hal seperti itu.
Terserah mau percaya atau
tidak.
Dia pasti memiliki alasan yang
baik hingga mampu melakukan itu.
Alasan yang baik seperti apa?
Dia membakar tempat tinggalku hanya
karena merasa cemburu, apa seperti
itu termasuk perbuatan yang baik?
sergahku. Padahal dia sudah tahu jika
aku tak pernah menyimpan perasaan
padanya. Apa jangan-jangan hal ini
ada kaitannya dengan Mama?
selidikku.
….
Jaga bicaramu! aku bukan orang
yang suka main belakang. wajahnya
terlihat marah tak terima. Padahal aku
hanya memancingnya saja.
Sebenarnya aku percaya mama
tak akan senekat itu, jika ia memang
tidak suka pada seseorang, wanita
yang masih cantik di usia senjanya itu
akan main terang-terangan.
Tak mau berdebat panjang
dengan mama, aku memutuskan
untuk beranjak dari sana dan masuk
kamar. Namun, ia mencegahku.
Aku sudah mengantuk, Ma. Jika
ada hal lain yang ingin dibicarakan,
besok saja, ucapku berdalih, yang
memang sengaja menghindarinya
agar tak membahas pilihan mengenai
bercerai atau kebebasan mbak Sari.
Pikiranku sedang buntu saat ini,
dan aku tak ingin memutuskan
sesuatu tanpa di pikir matang-matang.
Kau tak bisa menghindar,
putuskan segera. Apa kau tidak
kasihan pada Kakak iparmu itu, terus
mendekam di penjara, tekannya.
Aku berbalik dan menatapnya
datar. Perkataan mas Arman seolah
berputar kembali di kepalaku, jika ia
juga menyetujui perpisahan denganku.
Baiklah, aku akan bercerai
dengan Mas Arman, tapi Mama tepati
janji untuk membebaskan Mbak Sari
besok, pintaku.
.
.
.
Mau tak mau aku menjawabnya
saat ini juga. Mama bukan tipe orang
yang suka menunggu apalagi
digantung.
Tentu saja, aku tidak akan ingkar
janji.
Lantas aku kembali melanjutkan
langkahku yang sempat tertunda.
Wanita yang mengenakan baju tidur
berbahan satin itu terdiam,
membiarkanku melangkah menjauh
darinya.
Tiba di kamar aku merebahkan
diri di atas kasur menatap langit-langit
kamar. Merenung sejenak, mengenai
keputusan berpisah dengan mas
Arman. Dua jam sudah akU masih tak
bisa menutup mata kembali. Terlalu
banyak masalah yang menumpuk di
kepalaku.
Akhirnya aku putuskan untuk
berwudu dan menunaikan salat
malam. Memohon kepada sang Khaliq
agar memberikan jalan yang terbaik
untukku. Lanjut aku membuka Al
Quran dan membacanya sambil
terisak.
.
.
Usai melaksanakan salat subuh,
pagi-pagi sekali aku keluar memesan
taksi Online. Hari ini aku rindu dengan
Sila, sekalian akan membahas soal
perpisahan dengan mas Arman.
Sebelum sampai di sana aku
menyempatkan untuk mampir ke toko
mainan dan kue.
Membeli beberapa boneka dan
Cake untuk putri tercintaku. Aku sudah
tak sabar ingin memeluknya.
Sampai di rumah orang tua mas
Arman, Sila menyambutku riang. la
berlari dan memelukku dengan erat
Umi, Sila kangen banget sama
Umi, ucapnya polos.
Umi juga kangen banget sama
Sila, balasku sambil menciumi pipi
gembulnya dengan gemas. la tertawa
kegelian.
Sila.
Umi ke rumah omna, ya? tebak
Aku tersenyum. la Umi nginep di
rumah Oma.
Kok, Sila sama Abi enggak
diajak, protesnya.
lya, lain kali Umi pasti ajak Sila
dan Abi, bohongku.
Hatiku berdenyut nyeri saat
memikirkan hal itu tidak akan pernah
terjadi. Putriku tidak akan merasakan
keluarga yang utuh lagi. Makan Umi
dan Abi, Nak. Batinku lirih.
Umi punya sesuatu untuk putri
cantiknya Umi, ucapku sambil
menunjukkan boneka kartun
favoritnya dan kue yang tadi kubeli.
Hore! Sila dapat hadiah dari Umi,
makasih ya Umi katanya lantas
mencium pipiku. Kami pun tertawa
bersama.
Nanti kasih ya buat mbak Dela.
sila mengangguk, sedari kecil ia sudah
kuajarkan untuk selalu berbagi.
.
.
.
Tak lama kulihat mas Arman
keluar dari dalam rumah, mata kami
saling bertatapan sejenak, sampai ia
memutuskan tatapannya dariku.
Aku tersenyum menghampiri pria
yang mengenakan kemeja biru langit
itu, meraih tangannya dan
menciumnya takzim.
Apa kabar, Mas? tanyaku
berbasa-basi.
Baik. la hanya menjawab tanpa
ekspresi sama sekali. Aku tahu ia
seperti berusaha menjaga jarak
dariku.
Mas, bolehkah aku mengajukan
satu permintaan sebelum kita
berpisah?
Tanyaku. Membuatnya menoleh
dan menatapku masih dengan wajah
datarnya.
Apa?
Aku ingin hari ini kita
menghabiskan waktu untuk jalan
bersama.
.
.
la terdiam tak juga menjawab,
sepertinya ia tengah
mempertimbangkan permintaanku.
Aku mohon untuk yang terakhir,
mohonku.
Baiklah, aku keluarkan motor
dlu, jawabnya menyetujui, lantas ia
beranjak masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum mengangguk,
semoga dengan kebersamaan untuk
yang terakhir kalinya ini, bisa
membuat pria yang tengah
memegangi motor itu berubah pikiran
dan mau berjuang mempertahankan
pernikahan kami bersama.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts