Tetangga menggoda ( part 2 )
Isi Postingan:
Tetangga menggoda part 2
ceritadewasa
Hujan mencampakkan langit karena ingin
mencmbu bumi. Hujan tercengang ketika
dilihatnya matahari mencintai bumi sama
besarnya. Matahari menyapu bersih bekas
kecupan yang ia torehkan semalam.
Halah, sok puitis! Bilang saja kalau tadi hujan
lebat mengguyur kota ini, dan sekarang matahari
tanpa sungkan memamerkan senyumnya.
Terbentuklah pelangi yang indah di langit bagian
barat.
Aku duduk di teras warung kelontong milik emak.
Secangkir kopi hitam menemaniku menikmati
suasana dingin sore ini. Sesekali bunyi air yang
jatuh dari dedaunan terdengar.
Melalui gawai yang layarnya sudah gak jernih lagi,
aku berselancar di media sosial, mencari…
Maen hape muluuuuu… mandi-mandi sanah,
sudah sore inih. Suara emak menggelegar dari
arah belakang.
Iya, Mak. Bentar lagi, ngabisin kopi dulu.Nanggung nih.
Namaku Arif Pradipta, anak bujang emak satu-
satunya, tapi enggak pernah dimanja, eh. Umurku
sembilan belas tahun, baru juga lulus sekolah
menengah kejuruan.
Kata Emak, aku tuh ganteng. Yaiyalah … anak
sendiri juga. Kulit putih yang kumiliki turunan dari
Emak, sementara pahatan wajah dan perawakan
tinggi yang mencapai 165cm ini adalah hasil dari
sumbangan Bapak ke Emak waktu mencetakku
dulu. Haishh.
Sejak kecil, aku hanya bisa melihat wajah Bapak
melalui potret yang merekam pernikahan yang
selalu Emak simpan dengan rapi. Iya, Bapak
memang setampan itu. Nampak semburat
kebahagiaan yang tergambar dari wajah-wajah
pada foto tersebut. Sayangnya kebahagiaan itu
tak berlangsung lama. Bapak meninggal dunia
ketika aku masih berumur dua tahun.
Dari cerita tetangga yang sering kudengar, sejak
kepergian Bapak, kehidupan Emak jadi jungkir balik 180. Wanita yang dulunya selalu dimanja
suami dan hanya menjadi ibu rumah tangga,
tanpa tahu rasanya bekerja, jadi membanting
tulang sendirian demi membesarkan anak lelaki
yang disayanginya. Ah, Emak. I love you forever,
Mak.
Beberapa hari ini emak mengomeliku karena gak
sat set seperti yang diharapkan. Mungkin beliau
mulai risih melihatku berseliweran di hadapannya
pas jam-jam orang bekerja.
Aku bukannya suka jadi pengangguran, cuma lagi
nyari kerja, tapi belum beruntung saja. Sekarang
nyari kerjaan tuh kayak nyari jarum di tengah
lautan-sulit. Apalagi yang cuma lulusan SMK
macam aku.
Sebenarnya aku ingin sekali kuliah seperti teman-
teman lainnya. Bahkan, tanpa sepengetahuan
Emak, aku ikut daftar UTBK-SBMPTN dan masuk
seleksi. Namun, aku harus merelakan
kesempatan itu begitu saja, karena gak tega
meminta uang Emak untuk daftar ulang.
.
.
Bukannya memberi lembaran kertas merah, tapi
malah menangis karena merasa gak mampu
mendukung cita-cita anak, pasti. Aku gak mau
melihat Emak menangis lagi.
Sebuah mobil berwarna hitam memelankan
lajunya dan berbelok ke halaman rumah kosong
yang berada tepat di samping rumahku. Gak lama
kemudian, seorang lelaki lebih dulu turun dan
membukakan pintu mobil sebelah kiri. la
menengadahkan tangan, mempersilakan seorang
perempuan turun layaknya pangeran ke putri
mahkota. Romantis sekali. Mungkin mereka
adalah sepasang pengantin baru.
Apa mereka orang yang telah membeli rumah itu
ya? Pikirku. Kudengar beberapa minggu yang lalu,
rumah yang ditempeli plakat ‘rumah dijual’ itu
telah laku.
Gak lama setelah itu, motor gede yang dikendarai
seorang pemuda menyusul dan parkir di
belakang mobil. Dia siapa lagi? Dilihat dari
wajahnya ketika membuka helm, pemuda itu seumuran denganku. Bedanya dia lebih bening,
keliatan banget kalo keturunan priyayi. Ihiirrr.
Sepasang suami istri melihat-lihat keindahan
rumah dari depan dengan lengan suami yang
merangkul istrinya. Senyum terus terukir di kedua
bibir itu. Seolah seluruh kebahagiaan yang ada di
bumi sore ini adalah milik mereka berdua.
Yaiyalah bahagia, pasangan mana yang enggak
bahagia, kalau bisa membeli rumah sendiri.
Apalagi rumah itu adalah rumah terbagus yang
ada di kampung ini. Rumah berpagar besi dengan
segala kemewahan yang ada di dalamnya.
Aku terhenyak ketika tatapan mereka tiba-tiba
terarah padaku, Mas …, sapa si lelaki ramah.
Sementara si perempuan menganggukkan
wajahnya sambil tersenyum semanis gulali.
Jarak halaman rumahnya memang sangat dekat
dengan teras warung kelontong emak. Tembok
yang menjadi tanda pembatas antara tanah
mereka dan tanah Emak hanya setinggi perut
orang dewasa, selebihnya adalah ukiran besi orang dewasa, selebihnya adalah ukiran besi
yang menjulang ke atas. Jadi, kami bisa saling
melihat aktifitas masing-masing. Ups, jangan-
jangan mereka tahu kalau sejak tadi aku
perhatikan. Duh, malunyaa…
Hhee, enggih. Monggo …, balasku dengan
nyengir kuda.
Kuangkat cangkir kopi yang tertinggal ampas dar
melipir ke belakang. Kabuuurr …
Related: Explore more posts