BALADA BESAN DAN MENANTU (PART52)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART52
…CERITADEWASA…
.
.
.
Dan yang paling membuatnya senyum sendiri dalam
mimpi itu, dia tak sendirian.
Ia melangkah ke dapur dengan langkah ringan.
Wajan mulai menari di atas api, aroma
bawang tumis menyebar ke seluruh rumah.
Hari ini ia memasak dengan hati penuh cinta.
Bukan cinta buta, bukan pula nafsu, tapi… rasa
terhubung. Ada orang yang mau mendengar,
memahami, dan hadir tanpa menuntut.
Selesai masak, ia menaruh sayur di panci, lalu
mengambil podcast hiburan keranjang pakaian kotak besar. Ia
mengenakan kerudung tipis, lalu menyapa
beberapa tetangga dengan senyum tulus
sebelum berangkat ke sungai kecil di belakang
perkampungan.
Biasanya, saat sampai di sungai, obrolan antar
ibu-ibu akan dipenuhi suara tawa bercampur
nyinyiran kecil. Dan biasanya, Umi Latifah
adalah pemain utama-kalau bukan soal jilbab
ketat Bu Yani, pasti soal Mas Iwan yang suka
ngelirik ke istri tetangga.
.
.
.
Tapi hari ini beda.
Saat Bu Munah membuka topik, Eh, Umi…
tahu nggak, si Bu Rini tuh kemarin-
Umi Latifah langsung memotong halus. Bu
Rini itu memang ulet ya, ya Allah. Saya tuh
kadang iri, padahal dia sibuk kerja, tapi masih
bisa urus anak-anak juga. Salut deh saya.
Beberapa ibu-ibu menoleh. Terkejut.
Eh, kok sekarang pujian, Mi? celetuk Bu Udin
setengah bercanda.
Umi Latifah tertawa renyah, Lagi nyoba jadi
versi terbaik diri sendiri, Bu. Kemarin denger
ceramah… eh, ceramah dari hati, sih. Bukan
dari toa mushala.
Semua tertawa, walau tak semua paham
maksudnya.
.
.
Umi terus mencuci dengan semangat, bahkan
ia membantu Bu Karni yang kerepotan
mengangkat ember. Ia juga membagi sabun
cuci cair miliknya kepada yang lain, sesuatu
yang biasanya… ia pelitkan diam-diam.
Di dalam hatinya, ada suara kecil yang
berbisik Pak Amat pasti bangun sekarang…
mungkin sudah berangkat ke kebun seperti
biasa. Pikiran itu membuat wajahnya kembali
memerah, lalu tertawa pelan sendiri. Hari ini
bukan cuma cucian yang bersih, tapi hatinya
juga.
Setelah menjemur pakaian, Umi Latifah duduk
sejenak di bangku panjang teras belakang.
Sapu lidi di tangannya ia putar-putar pelan.
Tapi pikirannya jauh, tidak pada jemuran atau
cucian. Ia tiba-tiba saja teringat wajah Pak
Amat-yang semalam tampak sangat bersinar
saat bercerita sambil menyender di dinding
rumahnya. Wajahnya tenang, matanya teduh,
dan… ah, itu senyumnya.
Tanpa sadar ia senyum sendiri.
.
.
Ya Allah… cobaan jenis baru ini, gumamnya
pelan.
Tiba-tiba timbul niat untuk mengirimkan
makanan. Tadi pagi masaknya cukup banyak,
masih ada tempe bacem, sambel terasi, dan
sayur asem segar. Umi Latifah pun segera
masuk, mengambil rantang bersusun, mengisi
tiap lapisnya dengan rapi. Bahkan dia
tambahkan kerupuk udang di plastik kecil, dan
sepotong pisang goreng kegemaran Pak Amat.
Sebelum berangkat, Umi menatap cermin. Ia
melepas dasternya, mengenakan gamis hijau
muda favoritnya yang jatuh lembut di badan.
Ia pasangkan kerudung satin berwarna krem
dengan bros kecil di dda. Tidak lupa
memoleskan sedikit bedak, lipstik natural, dan
sedikit pensil alis.
.
.
Ah… cukup begini saja, Umi. Jangan lebay,
katanya sembari tertawa kecil menenangkan
dirinya sendiri.
Ia melirik kanan kiri sebelum membuka pagar
belakang. Jalan ke kebun Pak Amat melewati
gang kecil lalu melintas jalan tanah di
samping pematang sawah. Sepanjang jalan,
Umi deg-degan bukan main. Rasanya seperti
anak gadis yang mau nganter bekal ke pacar,
walau secara usia… ya, bisa dibilang udah
lewat masa pacaran. Tapi hati? Masih sama
deg-degannya.
Sesekali ia menunduk jika ada motor lewat.
Berharap tidak ada tetangga yang lewat atau
bertanya-tanya kenapa ustazah yang satu ini
ngeloyor sendirian bawa rantang, ke arah
kebun pula.
.
.
Kalau ada yang nanya… bilang aja nganter
makanan ke tukang kebun, gitu aja, katanya
mencoba menenangkan hati.
Namun semakin dekat ke kebun, langkah Umi
makin pelan. Bukan karena lelah, tapi karena
jantungnya seperti tak mau kompromi. Dag-
dig-dug-nya hampir kayak mau ngaji depan
jemaah besar.
.
.
.
Di kejauhan terlihat Pak Amat sedang
mencangkul ringan sambil melilitkan handuk
kecil di lehernya. Badannya berkeringat, tapi
sorot wajahnya cerah. Saat menoleh dan
melihat Umi Latifah datang, ia terhenti.
Terpaku sejenak.
Rantang di tangan Umi bergetar sedikit. Tapi
senyum Pak Amat yang muncul perlahan…
seperti menghapus semua keraguan.
.
.
.
Note gas yuk bo0m ..L..i..k..e..
ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
menantuidaman
istriidaman
selingkuh
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts