BALADA BESAN DAN MENANTU (PART51)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART51
…CERITADEWASA
Mereka duduk di meja kecil dapur. Obrolan
ringan pun mengalir tentang jendela yang
rusak, tanaman yang tumbuh liar, hingga
cerita masa kecil mereka di kampung. Tapi di
balik itu semua, ada detak jantung yang
berdetak lebih cepat dari biasanya.
Pak Amat tahu, malam ini berbeda. Tapi ia
masih menjaga adab. Ia tahu, rasa yang
terpendam tidak harus selalu dilampiaskan –
kadang cukup dimengerti.
Umi Latifah pun sadar, kedekatan mereka
bagai dua cahaya lilin yang saling mendekat,
namun belum tentu bersatu. Ia hanya ingin
ditemani. Bukan untuk dicinta, tapi cukup
untuk dimengerti.
Obrolan itu awalnya seperti biasa. Mereka
membahas tanaman, kabar mushala, bahkan
sampai harga beras yang katanya mau naik
lagi. Tapi lambat laun, pembicaraan mereka
seperti mengalir ke arah yang lebih personal,
lebih… jujur.
.
.
.
Umi Latifah duduk menyilangkan kakinya,
daster biru langit yang dikenakannya tampak
sederhana namun menyiratkan kenyamanan.
Tangannya masih memutar-mutar sendok
kecil dalam gelas. Mata Pak Amat mencuri
pandang beberapa kali-bukan karena niat tak
baik, tapi lebih karena terpesona.
Sosok yang selama ini ia anggap hanya istri
orang ternyata menyimpan begitu banyak
luka yang tersembunyi di balik senyum ramah
dan tutur halusnya..
Pak Amat… Umi membuka suara setelah
jeda yang agak panjang. Pernah nggak merasa
kayak… hidup kita tuh lengkap, tapi kosong?
Pak Amat diam sejenak. Lalu mengangguk.
Sering, Mi… bahkan sampai saya ngerasa, ini
semua podcast hiburan pura-pura. Hidup saya tuh kayak orang
yang ikut jalan, tapi nggak tahu arahnya.
Umi menatap ke arah luar jendela. Langit
malam mulai menggelap, dan samar-samar
terdengar suara anak-anak di kejauhan sedang
main petasan kecil. Tapi di dalam, suasana
justru makin tenang.
.
.
.
Saya capek, Pak Amat, ucapnya pelan.
Capek pura-pura baik-baik aja. Capek selalu
bilang ‘nggak apa-apa’ padahal hati saya
dingin… kosong. Ustad Bidin itu baik, tapi dia
lebih sayang ke pekerjaannya. Saya ini istrinya,
tapi kadang ngerasa kayak… nggak punya hak
apa-apa.
Pak
Amat
menghela napas panjang,
menggeser posisi duduknya. Umi tahu nggak?
Dua tahun ini saya hidup kayak robot. Bangun,
kerja, pulang, tdur. Cuma gitu. Tapi sejak
mulai sering ngobrol sama Umi… saya mulai
bisa ketawa lagi. Saya mulai senyum tanpa
alasan lagi.
Ucapan itu membuat Umi Latifah diam.
Bibirnya sempat terbuka, tapi tak jadi bicara.
Ia hanya menunduk, seolah menahan air mata
yang sudah menggenang.
Saya nggak tahu perasaan ini apa, Pak…
katanya lirih. Tapi saya juga ngerasa lebih
hidup. Bukan karena saya mau main-main,
bukan juga karena saya pengin selingkh…
tapi saya butuh teman. Teman yang bisa
duduk bareng tanpa harus merasa bersalah.
Teman yang bisa ngerti, tanpa harus
menuntut.
.
.
.
Pak Amat menatap Umi, kali ini lebih lama.
Ada kehangatan yang tak bisa disangkal. Ia
mengangguk pelan.
Saya ngerti, Mi. Saya juga nggak minta apa-
apa. Saya cuma pengin ada buat Umi, kalau
Umibutuh. Tanpaembel-embel. Tanpapamrih.
Keduanya terdiam. Hanya suara detik jam
dinding yang perlahan terdengar, seolah
menjadi saksi atas dua hati yang pelan-pelan
membuka pintunya masing-masing. Tak ada
pelukan. Tak ada sentuhan. Tapi ada
pengakuan, dan rasa yang diam-diam tumbuh,
seperti tunas yang baru mencuat dari tanah
setelah musim kemarau panjang.
Malam makin larut. Pak Amat melirik jam.
Saya pamit dulu ya, Mi. Nggak enak kalau
terlalu malam.
Umi tersenyum, ada sedikit kilau air di
pelupuk matanya. Iya, makasih ya Pak… buat
semuanya. Kalau besok sempat, mampir aja.
Saya mau nyoba resep baru, siapa tahu Pak
Amat mau jadi korban pertama.’
Pak Amat tertawa kecil. Wah, kalau urusan
makanan, saya siap kapan aja, Mi.
Dan malam itu, saat langkah Pak Amat
menjauh dari rumah Umi Latifah, hatinya
masih bergetar. Bukan karena dosa. Tapi
karena… ia merasa dimengerti, akhirnya.
.
.
.
Pagi itu, matahari belum tinggi saat Umi
Latifah membuka jendela dan menghirup
udara segar. Wajahnya cerah, lebih segar dari
biasanya. Entah kenapa, tdur malamnya
terasa pulas, dan mimpinya pun indah-seperti
taman dengan banyak bunga, seperti ada
seseorang yang mengajaknya duduk dan
tertawa di bawah pohon rindang. Dan yang..
.
.
NoteL..i..k..e .. dulu gaes
Related: Explore more posts