Skip to content
LahanBasah

LahanBasah

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART67)

Posted on June 4, 2025 By admin

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART67)

Isi Postingan:

BALADA BESAN DAN MENANTU PART67

…Ceritadewasa…

.

.

.

Idris dikenal sebagai pemuda kampung yang

urakan lidahnya pedas, tindakannya sering

sembarangan, dan hidupnya seperti air yang

mengalir tanpa arah. Tapi entah kenapa, sejak

dekat dengan Umi Latifah, sikapnya berubah

total. Ia seperti batu yang tiba-tiba membeku,

keras menahan gejlk yang selama ini liar

dalam dirinya.

Namun, nasib kembali mempermainkannya.

Saat hubungan itu mulai menemukan

iramanya, Anisa, anak Umi Latifah dari

pernikahannya dengan Ustad Bidin pulang ke

rumah. Anisa bercri dan membawa segala

luka hatinya kembali ke pangkuan ibunya.

Sejak itu, waktu-waktu sunyi yang dulu

dimiliki Idris dan Umi Latifah pun raib.

Rumah itu kini tak lagi sepi. Setiap langkah

Idris terasa diawasi, setiap rencana pertemuan

menjadi sulit, bahkan sekadar bertukar

senyum pun harus disembunyikan di balik

banyak kata-kata basa-basi. Idris hanya bisa

menghela napas panjang, berdiri di kejauhan,

menatap rumah itu, tempat cintanya tumbuh,tapi juga tempat di mana jarak kini menjadi

musuh terbesarnya..

.

.

Namun cinta, sekali bersemi, sulit untuk

dikubur begitu saja. Idris dan Umi Latifah

menemukan cara untuk tetap bertemu, meski

harus sembunyi-sembunyi seperti pencuri

yang mencuri kebahagiaan.

Mereka tak lagi bertatap muka di beranda,

melainkan bertemu di lorong-lorong sepi

antara ladang dan kebun pisang di belakang

rumah. Kadang hanya sekilas, cukup untuk

saling bertukar pandang, cukup untuk

memastikan bahwa rindu itu masih ada dan

masih saling dipikul.

Idris

rela

menunggu

berjam-jam,

bersembunyi di balik pohon besar hanya

untuk melihat Umi Latifah berjalan dengan

langkah hati-hati, matanya waspada,

wajahnya diselimuti kerudung lebar. Dan saat

dunia seolah lengah, mereka duduk di tanah

berumput, berbicara pelan seperti bisik angin.

Tak ada janji muluk. Tak ada sumpah cinta

yang dibacakan. Hanya keheningan yang

mereka bagi, keheningan yang mengerti lebih

banyak daripada kata-kata.

Terkadang tangan Idris bergetar saat

menyentuh ujung jilbab Umi Latifah, sekadar

menguatkan diri bahwa ini bukan mimpi.

Terkadang Umi Latifah tersenyum getir, sadar

bahwa dunia mereka adalah dunia tanpa

tempat untuk cinta seperti ini.

Tapi keduanya tahu, meski langkah mereka

salah di mata dunia, rasa yang tumbuh di hati

mereka terlalu nyata untuk disangkal.

Dan malam-malam Idris semakin panjang,

dipenuhi rindu yang tak bisa dijelaskan,

ditambah ketakutan kalau suatu saat, langkah

-langkah rahasia itu akan ditemukan… dan

segalanya akan runtuh.

Suasana sore itu mendung.

Di balik kebun pisang yang basah setelah

gerimis, Idris berdiri menunggu, tangan

dimasukkan ke saku celana lusuhnya.

Jantungnya berdegup cepat ketika dilihatnya

sosok Umi Latifah berjalan perlahan,

mengenakan gamis coklat susu dan kerudung

lebar yang menutupi hampir seluruh

tbhnya.

Saat jarak mereka hanya tinggal selemparan

batu, Idris melangkah maju. Mereka saling

menatap, ada rindu yang menggenang dalam

tatapan itu, tapi juga ada kegelisahan yang

berat.

Umi Latifah menarik napas panjang sebelum

bicara. Suaranya lembut, namun tegas.

.

.

.

Mas Idris… maafkan Umi kalau akhir-akhir

ini sulit bertemu. Anisa… dia sedang dalam

masalah besar. Ustad Bidin sedang berusaha

mendamaikan dia dengan suaminya.

Idris menunduk, menatap ujung sendalnya

yang berlumuran tanah.

Aku ngerti, Mi… Aku ngerti. Tapi… aku kangen,

Mi. Aku kangen sampe kadang rasanya pengin

kabur aja bawa Umi jauh-jauh… Suaranya

gemetar, separuh marah, separuh putus asa.

Umi Latifah tersenyum tipis, wajahnya

berselimut pilu. Jangan gitu Mas… Jangan

tambah dosa. Dengar ya…

Umi melangkah lebih dekat, nyaris berbisik.

Mungkin… sebentar lagi Anisa bakal kembali

ke rumah suaminya. Kalau itu terjadi,

mungkin kita bisa… sedikit lebih bebas ketemu.

Tapi itu pun tetap harus hati-hati.

Idris mengangkat wajahnya, sorot matanya

penuh harap. Bener, Mi? Bener Anisa bakal

balik?

Umi Latifah menatap Idris dalam-dalam.

.

.

.

Kemungkinannya besar… Ustad Bidin orang

berpengaruh. Kalau dia mau meluruskan

urusan rumah tangga Anisa, biasanya berhasil.

Tapi…

Umi menarik napas panjang, seperti

menyiapkan diri untuk sesuatu yang berat.

Tapi apa, Mi?

Kalau kamu serius sama Umi… kamu harus

berubah. Umi gak mau jalan sama laki-laki

urakan, laki-laki yang hidupnya gak jelas. Umi

butuh laki-laki yang tahu ke mana arah

hidupnya.

Idris mengerutkan kening, seperti baru saja

ditampar kenyataan.

Aku… aku bisa berubah, Mi. Demi Umi, aku

bisa…

Umi Latifah menggeleng pelan. Bukan demi

Umi. Demi dirimu sendiri. Kalau kamu cuma

berubah buat Umi, itu gak akan bertahan lama.

Suara Umi terdengar lebih dingin, lebih

dewasa.

Dengar baik-baik, Mas. Umi gak akan pernah

bisa jadi istrimu. Tapi… kalau kamu benar-

benar berubah, mungkin kita bisa… sama-

sama jalani hubungan ini dengan cara kita

sendiri.

Idris menunduk lagi, menggenggam kuat-kuat

tangannya sendiri. Hening. Hanya suara angin

yang lewat di antara daun pisang yang basah.

Aku janji, Mi. Aku bakal buktiin. Aku bakal

jadi lelaki yang bener. Bukan cuma buat Umi…

buat diriku juga.

Umi Latifah tersenyum tipis, lalu mengangkat

tangannya, jari-jarinya menyentuh pipi Idris

dengan lembut.

.

.

.

Bersabarlah, Mas. Kadang cinta juga butuh

diuji. Kalau kamu kuat bertahan… mungkin

nanti kita bisa menemukan jalan kita sendiri.

Setelah itu, Umi Latifah melangkah mundur,

menghilang kembali ke antara pepohonan

basah, meninggalkan Idris berdiri sendiri

dengan dada sesak antara bahagia, sedih, dan

penuh tekad baru.

Langkah Umi Latifah pelan menyusuri jalan

setapak berbatu, meninggalkan Idris yang

masih berdiri terpaku di bawah langit sore

yang muram. Gemericik air sisa hujan masih

terdengar dari atap dedaunan.

Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada

sesuatu yang tertinggal di belakang sesuatu

yang lama ia pendam namun kini tumbuh

tanpa bisa dicegah.

Dalam diamnya, Umi Latifah merenung.

Selama ini, ia hanya mengenal lelaki yang

datang menawarkan janji manis dan

kesenangan sesaat. Laki-laki yang pandai

merayu, tapi hatinya kosong. Mereka

melihatnya hanya sebagai perhiasan, bukan

sebagai manusia yang butuh dihargai.

Tapi Idris berbeda.

Walau urakan, kasar, dan kadang terlihat tak

beraturan, ada ketulusan dalam sikapnya. Ada

kesungguhan yang tak bisa disembunyikan

dari matanya yang jujur. Idris bukan laki-laki

justru

yang

sempurna,

tapi

ketidaksempurnaannya itu membuat Umi

Latifah merasa aman… merasa dihargai.

Di tengah gerimis tipis, Umi Latifah menghela

napas panjang. Dalam hatinya, ia berbisik,

seolah berbicara kepada diri sendiri. Kalau

Allah mempertemukanku dengan Idris bukan

untuk sekadar dicoba… mungkin memang

sudah ada jalannya. Aku akan beri

kesempatan. Tapi bukan untuk main-main.

Aku mau yang serius… Aku mau yang sungguh

-sungguh.

.

.

.

Ia menoleh sekali ke belakang, ke arah kebun

pisang tempat Idris masih berdiri

memandanginya dari kejauhan. Jauh di lubuk

hatinya, ia tersenyum kecil untuk pertama

kalinya setelah sekian lama.

Kalau diabisaberubah, membuktikan dirinya…

aku akan ada di sisinya. Bukan sebagai istrinya

atau pelarian semata… tapi sebagai

perempuan yang memilihnya dengan hati

penuh kesadaran. Walau sekedar slingkhan

tapi tbhku akan menjadi miliknya

seutuhnya.

Langkah Umi Latifah semakin mantap menuju

rumah, meninggalkan aroma tanah basah dan

janji-janji yang perlahan mulai mengakar di

hati.

Idris masih berdiri membatu di tengah jalan

setapak yang basah. Angin sore berhembus

pelan, membawa aroma tanah basah dan

suara dedaunan yang bergesekan pelan.

Matanya tak lepas dari sosok Umi Latifah yang

perlahan menjauh, berjalan kembali ke dunia

yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari

kejauhan.

Dalam dada Idris, ada sesuatu yang meledak,

bukan lagi sekadar rasa suka atau rindu biasa.

Ini lebih dalam, lebih berat… seperti sumpah

yang tak diucapkan, namun mengikat erat

seluruh jiwanya.

.

.

.

Demi Tuhan… aku bakal berubah. Aku bakal

buktiin kalau aku layak buat dia. Walaupun

mungkin… walaupun mungkin aku gak akan

pernah bisa milikinya sepenuhnya…

Idris

mengepalkan

tangannya, seakan

berusaha menggenggam janji itu erat-erat.

Aku bakal jadi lelaki bener, Mi… Bukan cuma

buat dapetin kamu. Tapi buat jaga rasa ini…

walaupun suatu hari aku cuma bisa

mencintaimu tanpa bisa memilikimu.

Langkah Idris

akhirnya

bergerak,

meninggalkan kebun pisang dan genangan air.

Di matanya ada kesedihan, tapi di hatinya

mulai tumbuh sesuatu yang belum pernah ia

rasakan sebelumnya tekad.

.

.

.

Tekad untuk berubah, bukan hanya demi cinta

tapi demi menjadi lelaki yang akhirnya bisa ia

banggakan sendiri. Dan dalam kesunyian senja

itu, Idris berjalan pulang, membawa cinta

yang tulus, berat, dan suci, lebih berat

daripada apa pun yang pernah ia pikul dalam

hidupnya.

 

NoteL..i .k..e .mu penyemangat Mimin


Related: Explore more posts

Kisah Menarik Tags:Cerita Basah, Cerita Dewasa, Cerita Panas, Cerita Seru, Kisah Basah, Kisah Seru

Post navigation

Previous Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART68)
Next Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART66)

Related Posts

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART14) Kisah Menarik
TERDIAM DALAM TAKDIR (PART16) Kisah Menarik
ADIK IPAR PELIPUR LARA(PART26) Kisah Menarik
JANGAN OM (PART71) Kisah Menarik
TETANGGA MENGGODA (PART24) Kisah Menarik
BALADA BESAN DAN MENANTU (PART52) Kisah Menarik

Recent Posts

  • Judul : Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Judul: Rahasia di Balik Ruang Meeting
  • Judul: “Rahasia di Balik Ruang Meeting”
  • ***ENNY ARROW ***

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • June 2025

Categories

  • Kisah Menarik

Copyright © 2025 LahanBasah.

Powered by PressBook Grid Dark theme