BALADA BESAN DAN MENANTU (PART67)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART67
…Ceritadewasa…
.
.
.
Idris dikenal sebagai pemuda kampung yang
urakan lidahnya pedas, tindakannya sering
sembarangan, dan hidupnya seperti air yang
mengalir tanpa arah. Tapi entah kenapa, sejak
dekat dengan Umi Latifah, sikapnya berubah
total. Ia seperti batu yang tiba-tiba membeku,
keras menahan gejlk yang selama ini liar
dalam dirinya.
Namun, nasib kembali mempermainkannya.
Saat hubungan itu mulai menemukan
iramanya, Anisa, anak Umi Latifah dari
pernikahannya dengan Ustad Bidin pulang ke
rumah. Anisa bercri dan membawa segala
luka hatinya kembali ke pangkuan ibunya.
Sejak itu, waktu-waktu sunyi yang dulu
dimiliki Idris dan Umi Latifah pun raib.
Rumah itu kini tak lagi sepi. Setiap langkah
Idris terasa diawasi, setiap rencana pertemuan
menjadi sulit, bahkan sekadar bertukar
senyum pun harus disembunyikan di balik
banyak kata-kata basa-basi. Idris hanya bisa
menghela napas panjang, berdiri di kejauhan,
menatap rumah itu, tempat cintanya tumbuh,tapi juga tempat di mana jarak kini menjadi
musuh terbesarnya..
.
.
Namun cinta, sekali bersemi, sulit untuk
dikubur begitu saja. Idris dan Umi Latifah
menemukan cara untuk tetap bertemu, meski
harus sembunyi-sembunyi seperti pencuri
yang mencuri kebahagiaan.
Mereka tak lagi bertatap muka di beranda,
melainkan bertemu di lorong-lorong sepi
antara ladang dan kebun pisang di belakang
rumah. Kadang hanya sekilas, cukup untuk
saling bertukar pandang, cukup untuk
memastikan bahwa rindu itu masih ada dan
masih saling dipikul.
Idris
rela
menunggu
berjam-jam,
bersembunyi di balik pohon besar hanya
untuk melihat Umi Latifah berjalan dengan
langkah hati-hati, matanya waspada,
wajahnya diselimuti kerudung lebar. Dan saat
dunia seolah lengah, mereka duduk di tanah
berumput, berbicara pelan seperti bisik angin.
Tak ada janji muluk. Tak ada sumpah cinta
yang dibacakan. Hanya keheningan yang
mereka bagi, keheningan yang mengerti lebih
banyak daripada kata-kata.
Terkadang tangan Idris bergetar saat
menyentuh ujung jilbab Umi Latifah, sekadar
menguatkan diri bahwa ini bukan mimpi.
Terkadang Umi Latifah tersenyum getir, sadar
bahwa dunia mereka adalah dunia tanpa
tempat untuk cinta seperti ini.
Tapi keduanya tahu, meski langkah mereka
salah di mata dunia, rasa yang tumbuh di hati
mereka terlalu nyata untuk disangkal.
Dan malam-malam Idris semakin panjang,
dipenuhi rindu yang tak bisa dijelaskan,
ditambah ketakutan kalau suatu saat, langkah
-langkah rahasia itu akan ditemukan… dan
segalanya akan runtuh.
Suasana sore itu mendung.
Di balik kebun pisang yang basah setelah
gerimis, Idris berdiri menunggu, tangan
dimasukkan ke saku celana lusuhnya.
Jantungnya berdegup cepat ketika dilihatnya
sosok Umi Latifah berjalan perlahan,
mengenakan gamis coklat susu dan kerudung
lebar yang menutupi hampir seluruh
tbhnya.
Saat jarak mereka hanya tinggal selemparan
batu, Idris melangkah maju. Mereka saling
menatap, ada rindu yang menggenang dalam
tatapan itu, tapi juga ada kegelisahan yang
berat.
Umi Latifah menarik napas panjang sebelum
bicara. Suaranya lembut, namun tegas.
.
.
.
Mas Idris… maafkan Umi kalau akhir-akhir
ini sulit bertemu. Anisa… dia sedang dalam
masalah besar. Ustad Bidin sedang berusaha
mendamaikan dia dengan suaminya.
Idris menunduk, menatap ujung sendalnya
yang berlumuran tanah.
Aku ngerti, Mi… Aku ngerti. Tapi… aku kangen,
Mi. Aku kangen sampe kadang rasanya pengin
kabur aja bawa Umi jauh-jauh… Suaranya
gemetar, separuh marah, separuh putus asa.
Umi Latifah tersenyum tipis, wajahnya
berselimut pilu. Jangan gitu Mas… Jangan
tambah dosa. Dengar ya…
Umi melangkah lebih dekat, nyaris berbisik.
Mungkin… sebentar lagi Anisa bakal kembali
ke rumah suaminya. Kalau itu terjadi,
mungkin kita bisa… sedikit lebih bebas ketemu.
Tapi itu pun tetap harus hati-hati.
Idris mengangkat wajahnya, sorot matanya
penuh harap. Bener, Mi? Bener Anisa bakal
balik?
Umi Latifah menatap Idris dalam-dalam.
.
.
.
Kemungkinannya besar… Ustad Bidin orang
berpengaruh. Kalau dia mau meluruskan
urusan rumah tangga Anisa, biasanya berhasil.
Tapi…
Umi menarik napas panjang, seperti
menyiapkan diri untuk sesuatu yang berat.
Tapi apa, Mi?
Kalau kamu serius sama Umi… kamu harus
berubah. Umi gak mau jalan sama laki-laki
urakan, laki-laki yang hidupnya gak jelas. Umi
butuh laki-laki yang tahu ke mana arah
hidupnya.
Idris mengerutkan kening, seperti baru saja
ditampar kenyataan.
Aku… aku bisa berubah, Mi. Demi Umi, aku
bisa…
Umi Latifah menggeleng pelan. Bukan demi
Umi. Demi dirimu sendiri. Kalau kamu cuma
berubah buat Umi, itu gak akan bertahan lama.
Suara Umi terdengar lebih dingin, lebih
dewasa.
Dengar baik-baik, Mas. Umi gak akan pernah
bisa jadi istrimu. Tapi… kalau kamu benar-
benar berubah, mungkin kita bisa… sama-
sama jalani hubungan ini dengan cara kita
sendiri.
Idris menunduk lagi, menggenggam kuat-kuat
tangannya sendiri. Hening. Hanya suara angin
yang lewat di antara daun pisang yang basah.
Aku janji, Mi. Aku bakal buktiin. Aku bakal
jadi lelaki yang bener. Bukan cuma buat Umi…
buat diriku juga.
Umi Latifah tersenyum tipis, lalu mengangkat
tangannya, jari-jarinya menyentuh pipi Idris
dengan lembut.
.
.
.
Bersabarlah, Mas. Kadang cinta juga butuh
diuji. Kalau kamu kuat bertahan… mungkin
nanti kita bisa menemukan jalan kita sendiri.
Setelah itu, Umi Latifah melangkah mundur,
menghilang kembali ke antara pepohonan
basah, meninggalkan Idris berdiri sendiri
dengan dada sesak antara bahagia, sedih, dan
penuh tekad baru.
Langkah Umi Latifah pelan menyusuri jalan
setapak berbatu, meninggalkan Idris yang
masih berdiri terpaku di bawah langit sore
yang muram. Gemericik air sisa hujan masih
terdengar dari atap dedaunan.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada
sesuatu yang tertinggal di belakang sesuatu
yang lama ia pendam namun kini tumbuh
tanpa bisa dicegah.
Dalam diamnya, Umi Latifah merenung.
Selama ini, ia hanya mengenal lelaki yang
datang menawarkan janji manis dan
kesenangan sesaat. Laki-laki yang pandai
merayu, tapi hatinya kosong. Mereka
melihatnya hanya sebagai perhiasan, bukan
sebagai manusia yang butuh dihargai.
Tapi Idris berbeda.
Walau urakan, kasar, dan kadang terlihat tak
beraturan, ada ketulusan dalam sikapnya. Ada
kesungguhan yang tak bisa disembunyikan
dari matanya yang jujur. Idris bukan laki-laki
justru
yang
sempurna,
tapi
ketidaksempurnaannya itu membuat Umi
Latifah merasa aman… merasa dihargai.
Di tengah gerimis tipis, Umi Latifah menghela
napas panjang. Dalam hatinya, ia berbisik,
seolah berbicara kepada diri sendiri. Kalau
Allah mempertemukanku dengan Idris bukan
untuk sekadar dicoba… mungkin memang
sudah ada jalannya. Aku akan beri
kesempatan. Tapi bukan untuk main-main.
Aku mau yang serius… Aku mau yang sungguh
-sungguh.
.
.
.
Ia menoleh sekali ke belakang, ke arah kebun
pisang tempat Idris masih berdiri
memandanginya dari kejauhan. Jauh di lubuk
hatinya, ia tersenyum kecil untuk pertama
kalinya setelah sekian lama.
Kalau diabisaberubah, membuktikan dirinya…
aku akan ada di sisinya. Bukan sebagai istrinya
atau pelarian semata… tapi sebagai
perempuan yang memilihnya dengan hati
penuh kesadaran. Walau sekedar slingkhan
tapi tbhku akan menjadi miliknya
seutuhnya.
Langkah Umi Latifah semakin mantap menuju
rumah, meninggalkan aroma tanah basah dan
janji-janji yang perlahan mulai mengakar di
hati.
Idris masih berdiri membatu di tengah jalan
setapak yang basah. Angin sore berhembus
pelan, membawa aroma tanah basah dan
suara dedaunan yang bergesekan pelan.
Matanya tak lepas dari sosok Umi Latifah yang
perlahan menjauh, berjalan kembali ke dunia
yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari
kejauhan.
Dalam dada Idris, ada sesuatu yang meledak,
bukan lagi sekadar rasa suka atau rindu biasa.
Ini lebih dalam, lebih berat… seperti sumpah
yang tak diucapkan, namun mengikat erat
seluruh jiwanya.
.
.
.
Demi Tuhan… aku bakal berubah. Aku bakal
buktiin kalau aku layak buat dia. Walaupun
mungkin… walaupun mungkin aku gak akan
pernah bisa milikinya sepenuhnya…
Idris
mengepalkan
tangannya, seakan
berusaha menggenggam janji itu erat-erat.
Aku bakal jadi lelaki bener, Mi… Bukan cuma
buat dapetin kamu. Tapi buat jaga rasa ini…
walaupun suatu hari aku cuma bisa
mencintaimu tanpa bisa memilikimu.
Langkah Idris
akhirnya
bergerak,
meninggalkan kebun pisang dan genangan air.
Di matanya ada kesedihan, tapi di hatinya
mulai tumbuh sesuatu yang belum pernah ia
rasakan sebelumnya tekad.
.
.
.
Tekad untuk berubah, bukan hanya demi cinta
tapi demi menjadi lelaki yang akhirnya bisa ia
banggakan sendiri. Dan dalam kesunyian senja
itu, Idris berjalan pulang, membawa cinta
yang tulus, berat, dan suci, lebih berat
daripada apa pun yang pernah ia pikul dalam
hidupnya.
NoteL..i .k..e .mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts