BALADA BESAN DAN MENANTU (PART37)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART37
…CERITADEWASA..
.
.
Pak Amat berjalan pulang dari sawah dengan
langkah yang berat. Pikirannya masih
dipenuhi oleh perasaan kecewa dan jijik atas
apa yang baru saja ia temukan. Namun, ketika
ia mendekati jalan menuju rumah, ia melihat
sosok yang tak disangka-Umi Latifah.
Wanita berbusana muslimah rapi itu tampak
berjalan mendekatinya dengan senyum yang
lebih lebar daripada biasanya. Ada sesuatu
yang berbeda dari penampilannya. Wajahnya
tampak lebih cerah, dan sikapnya, entah
bagaimana, terlihat lebih genit daripada kesan
biasanya yang begitu anggun dan berwibawa.
.
.
Assalamualaikum, Pak Amat, sapa Umi
Latifah dengan suara lembut, namun dengan
nada yang terdengar sedikit lebih manja.
Pak Amat menjawab salamnya dengan datar,
canggung dan sedikit curiga.
Waalaikumussalam, Bu Umi.
.
.
.
Umi Latifah tersenyum tipis sebelum berkata,
Saya mau minta maaf, Pak Amat, soal waktu
itu, ketika saya datang ke rumah Bapak untuk
menanyakan perihal sawah yang ingin dijual.
Mungkin saya terlihat terlalu ingin tahu. Saya
harap Bapak tidak salah paham.
Pak Amat tertegun sesaat. Permintaan maaf
yang tiba-tiba ini terdengar tidak wajar
baginya, terutama setelah apa yang ia ketahui
tentang wanita ini. Ia tahu ada sesuatu yang
tersembunyi di balik sikap ramah dan lembut
Umi Latifah. Bayangan kejadian di rumah Pak
Wira kembali melintas di pikirannya-
hubungan terlarang yang ia saksikan
membuatnya merasa bahwa
bahwa wanita ini
bukanlah sosok yang dia bayangkan selama
ini.
Pak Amat mencoba mengendalikan dirinya,
meskipun perasaan heran dan muak
berkecamuk di dalam hati. Bagaimana
mungkin seorang wanita yang selama ini
dikenal sebagai teladan dalam agama, seorang
istri dari Ustad Bidin, bisa menyimpan
kemunafikan yang begitu dalam?
Ah, tidak apa-apa, Umi. Urusan sawah sudah
selesai kok, jawab Pak Amat singkat, dengan
nada dingin yang sulit ia sembunyikan.
Pak Amat, dari mana? Kok, kaya dari sawah?
tanyanya dengan senyum lebar yang sedikit
dipaksakan. Katanya kan, sawahnya udah
dijual?
.
.
.
Pak Amat, yang masih berusaha menenangkan
pikirannya, menjawab dengan tenang namun
tidak bisa menyembunyikan rasa tidak
enaknya. Iya, Umi. Sawahnya memang udah
dijual sama Pak Wira. Saya tadi cuma
memeriksa aja, untuk memastikan nggak ada
barang-barang saya yang tertinggal di saung
reyot itu. Maklum, sudah lama nggak ke sana.
Umi Latifah mendengarkan dengan saksama,
tapi ada kesan licik di balik senyumnya. Dia
kemudian menyela dengan tawa kecil, sambil
bercanda sedikit, Terus, ada yang ketinggalan,
Pak?
Pak Amat sejenak terdiam, menatap Umi
Latifah. Ada perasaan yang tiba-tiba
menggelegak dalam dadanya-perasaan ingin
menyindir sekaligus menguji wanita di
hadapannya ini. Entah kenapa, tanpa berpikir
panjang, Pak Amat pun menjawab dengan
nada yang datar namun penuh makna.
Ada, katanya perlahan. Tapi yang
ketinggalan… kndom.
Mendengar kata kndom, wajah Umi Latifah
langsung berubah drastis. Senyumnya yang
tadi lebar mendadak menghilang, digantikan
dengan keterkejutan yang jelas terlihat.
Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi
karena syok. Pak Amat bisa melihat perubahan
itu dengan sangat jelas. Wanita yang tadi
begitu percaya diri kini tampak goyah, seolah
-olah tersengat oleh kata-kata Pak Amat.
Umi
Latifah
mencoba
menutupi
napas
ia tidak
bisa
keterkejutannya dengan menarik
panjang,
namun
menyembunyikan rasa canggung yang tiba-
tiba melanda. Suaranya bergetar sedikit saat ia
menjawab, A-apakah maksud Pak Amat…?
Pak Amat tak perlu berkata lebih lanjut.
Tatapan matanya yang tajam sudah cukup
menjelaskan bahwa dia tahu lebih banyak
daripada yang terlihat. Pandangan mata
mereka bertemu, dan Umi Latifah tampak
gelisah. Dalam sekejap, wajahnya yang tadi
cerah penuh percaya diri berubah menjadi
tegang.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Pak
Amat hanya mengangguk pelan. Ya, kondom.
Saya rasa Umi lebih tahu siapa yang biasa ke
saung reyot itu.
Wajah Umi Latifah semakin memerah, seperti
seseorang yang tertangkap basah. Ia tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Pak Amat tahu bahwa
wanita di hadapannya ini menyimpan rahasia
besar, dan sekarang, setelah pertemuan ini,
rahasia itu mulai retak.
Sudah ya, Umi. Saya harus lanjut pulang.
Pak Amat melangkah pergi dengan hati yang
penuh kebimbangan, meninggalkan Umi
Related: Explore more posts