BALADA BESAN DAN MENANTU (PART04)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART04
…TRUE STORY…
.
.
Empat bulan kemudian.
…
Pagi itu Pak Wira sedang menyirami kebun
terong di belakang rumahnya. Kebun itu
tumbuh subur, dengan buah-buah terong yang
berwarna ungu tua, besar, panjang dan
mengkilap, menggantung lebat di tiap tangkai.
Dia ingat pesan gurunya, bahwa terong-terong
ini tidak boleh dijual, hanya boleh diberikan
secara cuma-cuma.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar
mendekat. Seorang lelaki berbadan besar,
wajahnya penuh senyum licik, muncul dari
jalan setapak di samping kebun. Pak Sarnu,
dia adalah seorang pemborong sayuran yang
terkenal suka menawar murah, namun kali
ini, tatapannya penuh keserakahan melihat
hasil kebun Pak Wira.
.
.
.
Pak Wira, wah… terong-terongmu ini benar-
benar segar dan besar. Saya nggak pernah
lihat yang kayak gini di pasar. Boleh saya
borong semuanya? Saya bayar mahal deh,
lebih dari harga pasar. Bisa untung besar kalau
saya jual di kota! kata pemborong itu sambil
mendekati tanaman terong, tangannya seolah
ingin segera memetik.
Pak Wira tersenyum kaku. Maaf, Pak Sarnu.
Terong-terong ini nggak dijual, jawabnya
tenang, meskipun dalam hati dia sudah tahu
akan menghadapi penolakan dari sang
pemborong.
Pak Sarnu tertawa kecil, mengira Pak Wira
hanya bercanda. Ayolah, Pak Wira. Jangan
jual mahal. Saya bayar kontan sekarang juga.
Semua terong ini saya ambil, langsung jadi
duit buat sampean.
Pak Wira menggeleng pelan. Maaf, Pak. Ini
bukan soal uang. Saya tidak bisa menjualnya.
Wajah Pak Sarnu mulai berubah, dari senyum
ramah menjadi sedikit memaksa. Lho, kenapa
nggak bisa? Apa sampean nggak butuh uang?
Ini panen besar, masa dibiarin begitu aja.
Sayang, kan?
.
.
.
Namun, Pak Wira tetap berdiri tegak,
tatapannya tegas. Ini bukan soal uang atau
nggak butuh uang. Terong-terong ini nggak
untuk dijual, itu sudah niat saya sejak
pertama menanam terong ini.
Pak Sarnu mengerutkan kening, bingung
mendengar jawaban Pak Wira. Dia tahu Pak
Wira orang yang sangat berkecukupan,
apalagi dia hanya seorang duda. Tapi mana
mungkin ada orang tak butuh uang.
Pak Wira, buat apa bapak bertani kalau tidak
untuk dijual, memangnya mau bapak makan
sendiri?
Pak Wira hanya tersenyum tipis. Hehehe,
saya akan memberikan gratis pada ibu-ibu
yang memang menginginkanya. Silakan Pak
Sarnu beli terong di petani lain, tapi terong-
terong ini tidak untuk dijual.
Pak Sarnu tampak kesal, tapi tetap berusaha
menahan diri. Saya nggak ngerti, Pak Wira.
Tapi kalau sampean berubah pikiran, saya
datang lagi, ya? Duitnya banyak, sayang kalau
dilewatkan.
Setelah itu, Pak Sarnu pergi dengan langkah
berat, meski masih sesekali menoleh ke arah
kebun terong, seolah
menyesalkan
kesempatan besar yang dilewatkan.
.
.
.
Pak Wira berdiri
berdiri diam di tempatnya,
merasakan kelegaan karena dia bisa tetap
mematuhi pesan gurunya. Dia tahu, jika
sekali saja dia melanggar, segalanya bisa
berbalik menghancurkan dirinya.
Dan tak lama setelah Pak Sarnu pergi,
datanglah istrinya, Bu Yayah. Tubuhnya berisi
dengan gaya berpakaian yang terlalu mencolok
untuk seorang ibu kampung. Wajahnya
dipenuhi senyum genit, sambil mengibaskan
kipas kecil di tangan, Bu Yayah melenggang
masuk ke kebun Pak Wira tanpa permisi.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
terbaru
mertuamenantu
menantuidaman
istriidaman
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts