BALADA BESAN DAN MENANTU (PART14)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART14
…Ceritadewasa…
.
.
.
Mereka tuh cuma mau mengadu domba keluarga kita sama Pak Wira.
Anisa menghela napas, menatap ibunya
dengan pandangan penuh kekhawatiran.
Tapi, Umi, yang ngomong tuh banyak banget.
Bahkan Mas Ardi juga sempat ngeluh.
Ngeluh kenapa, Nis?
Dia malu. Masa Umi sebagai besan, yang
dianggap ustadzah sama warga, malah
ngomongin besan sendiri? Pak Wira itu kan
ayahnya Mas Ardi. Harusnya Umi bisa lebih
jaga perasaan menantu Umi sendiri. Kurang
baik apa Pak Wira sama keluarga kita?
Umi Latifah terdiam, wajahnya tampak
bingung dan sedikit malu. I..iya, Nisa. Umi
minta maaf ya. Umi khilaf. Mulai sekarang,
Umi janji nggak akan kayak gitu lagi, ucapnya
pelan, berusaha menyembunyikan rasa
bersalah yang makin besar.
Hati-hati aja, Mi. Umi juga bukan malaikat.
Gimana kalau nanti keburukan Umi ketahuan
sama orang lain, terus disebar-sebarin? Apa
yang bakal terjadi sama kita dan keluarga?
Anisa memperingatkan dengan nada penuh
kasih sayang tapi tegas.
.
.
.
Umi Latifah tak bisa berkata apa-apa lagi.
Hatinya terasa terhimpit rasa penyesalan. Air
mata mulai mengalir di pipinya, dan tanpa
berkata sepatah kata, ia memeluk Anisa erat-
erat, menyesali semua yang telah ia lakukan.
Umi sudah punya cucu, harusnya bisa jaga
juga perasaan ayah dari cucu-cucu Umi. Anisa
tahu Umi tujuannya membela Bu Lina, ibunya
Mas Ardi, tapi bukan berarti harus menjelakn
Pak Wira, ayahnya Mas Ardi..
namun
Umi Latifah terus menangis tersedu-sedu
benar-benar
merasa menyesal,
sepertinya penyesalan itu sudah terlambat,
karena Pak Wira pun sudah tahu keburukan
dirinya.
Anisa, merasa lega melihat penyesalan ibunya,
perlahan melepaskan pelukan dan berkata
lembut, Aku pamit dulu ya, Umi. Aku harap
Umi benar-benar berubah, ya?
Umi Latifah mengangguk sambil menghapus
air matanya. Anisa pun berpamitan pulang,
yakin bahwa ibunya akan menepati janji dan
berhenti bergibah buruk lagi.
.
.
.
Hari berikutnya, Umi Latifah merasa semakin
terpojok oleh rasa gelisah dan takut yang
menghantuinya. Semalaman ia tak bisa tdur,
pikiran tentang Pak Wira yang mungkin
mengetahui kejadian di gubuk sawah terus
berputar di kepalanya. Dia tak bisa
membiarkan
rasa
cemas ini terus
menghantuinya. Apalagi jika mengingat kata-kata Anisa, jika orang yang mengetahui
keburukannya, pasti akan menyebarkannya.
Dan dengan keberanian yang dipaksakan, dia
memutuskan untuk menemui Pak Wira
langsung di sawahnya. Umi Latifah yakin
bahwa berbicara secara lebih privat di tempat
itu akan jauh lebih aman daripada terus
menerus dihantui perasaan tak nyaman ini.
Siang itu, di bawah terik matahari, Umi Latifah
dengan pakaian muslimah kebanggannya,
berjalan ke arah sawah Pak Wira. Langkahnya
sedikit tergesa, dan jantungnya berdegup
kencang seolah memberi isyarat akan sesuatu
yang besar.
.
.
.
Sesampainya di sana, Pak Wira tengah berdiri
di tengah sawah, mengawasi pekerjaannya
dengan tenang. Saat melihat Umi Latifah
datang, Pak Wira sedikit tersenyum, namun
kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya.
Umi Latifah, sapa Pak Wira, ada yang bisa
saya bantu? Suaranya tenang seperti biasa,
tapi kali ini terasa lebih dalam.
Umi Latifah menelan ludah, berusaha
menenangkan diri. Saya… saya ingin bicara,
Pak. Ada hal yang mengganjal hati saya,
ucapnya sambil melirik ke sekeliling sawah,
memastikan tidak ada orang lain yang
mendengar.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts