TERDIAM DALAM TAKDIR (PART9)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART9
….Ceritadewasa…
.
.
.
Pelayan tersebut menggiringku ke
tempat di mana Sila berada. Di sana
terlihat Sila tengah merengek pada
satpam penjaga rumah ini. Kemudian
pelayan menceritakan apa yang terjadi
pada Sila, ternyata putriku ini
merengek ingin berenang dengan
ikan-ikan itu. Namun, pelayan tak
mengizinkannya karena itu bukan
untuk berenang.
.
.
Akan tetapi Sila tak mengerti,
baginya yang biasa bermain di
genangan air sambil menangkap
kodok itu adalah tempat berenang.
Aku menghampiri Sila dan
memeluknya, mencoba memberinya
pengertian.
Tapi Sila mau berenang, di
belakang rumah boleh, kenapa di sini
enggak boleh? ratapnya.
Karena kolam itu bukan untuk
berenang, Nak? beritahukan sembari
mengusap kepalanya lembut.
Setelah menghadapi berbagai
drama, akhirnya Sila pun mengerti dan
bisa dibujuk untuk pulang.
Mama yang sedari tadi
menyaksikan adegan kami berdua
pun, menghampiri.
Sila mau berenang? tanya
mama saat sudah berada di hadapan
Sila.
.
.
.
Sila mengangguk cepat, lantas
meraih tangan mama, saat wanita itu
mengulurkan tangannya.
Lantas mama membawa Sila ke
halaman belakang di mana terdapat
kolam renang.
Sila terlihat senang saat
dipersilakan mama untuk berenang di
kolam renang anak-anak. Bekasku
waktu kecil dulu, mama dan papa
sama sekali tak mengubahnya.
Hari sudah mulai sore, aku pun
berpamitan pada mama untuk segera
pulang khawatir mas Arman
menyusulku ke rumah paman,
sedangkan ia tahunya aku di sana.
Padahal Mama masih ingin main
dengan Sila, ucapnya merengek
seperti anak kecil yang dibuat-buat
sehingga membuat putriku teetawa
renyah.
.
.
.
Ih, Oma kayak anak kecil,
ucapnya polos, lantas tertawa kembali
sambil menutup mulutnya dengan
tangan mungilnya, membuat mama
gemas melihat tingkahnya itu.
Melihat interaksi keduanya
membuatku tersenyum. Sepertinya
mama menyukai Sila, syukurlah.
Tadi aku pikir kami akan terus
gontok-gontokan, ternyata setelah
mama melihat Sila, mama
menyukainya dan hubungan aku dan
beliau akan menjadi baik kembali.
Nama kampung tempat kamu
tinggal tadi apa? tanya mama
kemudian.
Kampung Cereme, jawabku,
sembari memasangkan kerudung
pada Sila.
Ah, iya. Ada rekan bisnis Mama
yang katanya orang sana.
Rekan Bisnis? tanyaku heran.
Iya, perusahaan mebel yang
cukup sukses, bahkan Mama pun
termasuk salah satu penanam modal
di sana, terangnya. Namanya, Pak
Johan.
Kamu mengenalnya? tanya
mama melihat keterkejutanku.
Setahu aku Pria bernama Johan
pengusaha mebel itu… Mas Johan
kakak iparku, suami mbak Sari,
beritahuku.
Oh, kakak ipar yang tak yang tak
menyukaimu itu? tanyanya kembali.
Aku mengangguk pelan.
Apa perlu Mama miskinkan
mereka? wanita yang terlihat awet
muda itu menyeringai.
Tak perlu Ma, biar aku saja yang
memberi pelajaran pada wanita itu.
Aku ingin membuatnya sadar jika
harta dan kedudukan bukanlah
segalanya.
.
.
.
Aku berkata sembari mengingat
bagaimana dulu mbak Sari
memperlakukan ibu dan bapak sangat
tak adil. Upah mereka tak di bayar
selama tiga bulan hanya karena
keduanya sakit dan tak bekerja di
ladang mertuaku yang dikelola
olehnya. Saat itulah aku berjanji pada
diriku sendiri akan membuatnya sadar
bahwa seseorang tidak di nilai dari
harta dan Tahta, melainkan dari
keimanannya di hadapan sang
pencipta.
Mungkin kalau mbak Sari tahu
aku adalah orang kaya, bisa jadi ia
akan menyukaiku bahkan
menyembah, tapi aku tak mau seperti
itu. Aku ingin semua keluarga mas
Arman menyukai dan menyayangiku
tulus, terutama mbak Sari.
.
.
.
Ke mana kau pergi tadi? Tanyaku
hanya di angguki olehnya.
Aku menatap Sila yang mulai
tertidur, sepertinya gadis kecilku ini
kecapian usai bermain dengan mama.
Aku tersenyum lantas mengelus
kepalanya yang tertutup kerudung.
Aku berharap perjalanan lancar
dan tiba di rumah sebelum Magrib.
Namun, saat mobil berhenti di lampu
merah, Netraku menangkap seorang
wanita yang sepertinya tak asing, di
seberang sana ia di tarik paksa keluar
dari dalam mobil oleh pria yang entah
siapa, lantas masuk ke dalam sebuah
bar. Posisi mereka membelakangiku
Mbak Salma! ucapku kaget, saat
posisi perempuan itu menghadap ke
jalan di mana mobil yang kutumpangi
berada. Danu menoleh dan mengikuti
arah pandangku.
Aku titip Sila! seruku, sembari
membuka pintu.
Aku berlari melewati mobil yang
hendak jalan saat lampu sudah
berganti warna menjadi hijau. Danu
sempat berteriak memanggil, karena
tak mengerti apa yang akan
kulakukan.
.
.
.
Suara klakson dan umpatan
begitu pengang di telingaku. Aku
hanya mengangguk sambil
menelungkupkan ke dua tanganku
pertanda memohon maaf.
Perasaanku mulai tak enak,
mataku terus berkeliling menatap
sekitar mencari keberadaan mbak
Salma. Tepat saat pandanganku
mengarah pada meja pojokkan
sebelah kanan. Kaka iparku tengah
menangis meminta ampun sambil
memegangi kerudungnya yang hendak
di lepas paksa oleh pria yang baru
kulihat.
Aku berlari menghampiri mereka,
dengan sekuat tenaga kutarik tangan
pria itu dan menamparnya.
Mbak Salma menatapku kaget,
dengan wajah bersimbah air mata.
Dapat kulihat sudut bibirnya berdarah,
sepertinya kakak iparku itu mendapat
kekerasan dari pria yang kini
menatapku marah.
Mbak Salma menghambur
memelukku dan menangis. Lis,
tolong, mbak takut! rintihnya.
Siapa kau? tanya pria yang
belum kuketahui namanya. Wajahnya
merah padam menahan amarah.
Siapa pun aku, kau tak perlu
tahu, yang harus kau tahu. Jangan
coba-coba menyakiti kakakku!
jawabku sembari menudingnya.
Oh, jadi… kau mau jadi pahlawan..
.
.
NoteL..i .k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts