BALADA BESAN DAN MENANTU (PART68)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART68
….CERITADEWASA…
.
.
.
Hari-hari di kampung berlalu tanpa banyak
kejutan. Seperti air sungai yang mengalir
tenang, kehidupan warga berputar dalam
siklus sederhana pagi bertani, siang bersenda
gurau, sore menatap langit merona. Namun di
tengah kesederhanaan itu, ada satu perubahan
yang tak bisa luput dari perhatian semua
orang.
Idris.
Pemuda urakan yang dulu hanya dikenal
lewat tawanya yang meledak dan langkahnya
yang berantakan, kini berubah menjadi sosok
yang berbeda. Ia bangun lebih pagi daripada
ayam berkokok, menanam sendiri sayuran di
tanah kosong belakang rumahnya, membantu
warga membetulkan atap atau memperbaiki
sumur tanpa banyak diminta.
Orang-orang kampung bergumam, sebagian
takjub, sebagian curiga.
Apakah si Idris kena santet?
Atau mungkin dia ikut pengajian rahasia?
Tapi satu orang tahu pasti alasan di balik
perubahan itu. Umi Latifah.
Dari balik jendela kayunya yang menghadap
ke jalan kecil, Umi Latifah sering mencuri-curi
pandang. Matanya lembut menatap Idris yang
kini sibuk mengangkut hasil panen,
memperbaiki pagar rumah tetangga, atau
sekadar menyapu jalanan depan masjid.
Dalam hati kecilnya, Umi Latifah tersenyum.
Dia sungguh-sungguh berubah… bisiknya
pelan.
.
.
.
Waktu terus menggerus jarak. Ketika akhirnya
kabar itu datang, Anisa kembali ke suaminya,
rumah Umi Latifah kembali lengang seperti
dulu. Hanya dirinya dan sunyi yang tinggal.
Sore itu, dalam sebuah pesan pendek yang
dibungkus malu-malu lewat seorang bocah
pengantar, Umi Latifah menyampaikan
sesuatu pada Idris Datanglah, nanti malam.
Saat rumah Umi benar-benar sunyi.
Idris membaca pesan itu berulang kali, seolah
tak percaya. Dunia seperti melambat. Dia tahu,
ini bukan sekadar undangan biasa. Ini adalah
jawaban atas setiap keringat, doa, dan
perubahannya selama ini.
.
.
.
Malam itu, Idris berdiri di depan rumah Umi
Latifah, dadanya berdegup kencang. Malam
semakin larut, hanya suara jangkrik yang
terdengar bersahutan. Bayangan tbhnya
memanjang di bawah temaram lampu dari
rumah-rumah tetangganya.
Dengan sedikit ragu, ia melangkah mendekati
jendela kamar Umi Latifah. Tangannya
terangkat, mengetuk perlahan, seolah takut
menimbulkan suara yang terlalu keras.
..
Tuk… tuk… tuk…
..
Tak lama kemudian, gorden tipis tersibak,
memperlihatkan wajah Umi Latifah yang
setengah tersenyum. Matanya berbinar, karena
sudah menunggu sejak tadi. Dengan gerakan
tangan, ia memberi isyarat agar Idris berputar
ke belakang rumah.
.
.
Lewat dapur aja, biar nggak ada yang lihat,
bisik Umi Latifah, suaranya hampir tak
terdengar.
Idris menurut. Ia berjalan perlahan di antara
semak-semak, memastikan tak ada yang
memperhatikannya. Hatinya berdegup
semakin kencang. Begitu sampai di pintu
dapur, ia mendapati daun pintu sudah sedikit
terbuka.
Perlahan, ia menyelinap masuk. Aroma wangi
khas rumah Umi Latifah menyambutnya.
Lampu dapur redup, hanya menyisakan
cahaya samar dari ruang tengah.
.
.
Mas Idris… suara Umi Latifah memanggil
pelan.
Ia berdiri di ambang pintu kamar, mengenakan
daster longgar berwarna biru muda.
Rambutnya tergerai, sedikit acak namun justru
membuatnya tampak lebih alami. Ada senyum
di sudut bbirnya, entah menyimpan arti apa.
Nggak bisa tdur, ya? tanyanya lembut
setengah menggoda.
Idris menelan ludah, mencoba menenangkan
debar di ddanya.
.
.
.
Iya, kepikiran Umi terus, jawab Idris pelan.
Ya udah, sini, ngopi dulu, ucap Umi Latifah
sambil berjalan ke meja kecil di ruang tengah.
Di atas meja, sudah tersedia dua cangkir teh
manis hangat dan sepiring pisang goreng.
Rupanya Umi Latifah
memang sudah
mempersiapkan segalanya. Idris mulai duduk,
mencoba bersikap biasa.
Namun suasana di antara mereka terasa
berbeda. Obrolan yang awalnya ringan
perlahan menjadi lebih mendalam. Umi
Latifah kembali bercerita tentang rasa sepinya,
tentang pengkhianatan suaminya, hingga
tentang perasaannya yang kosong.
.
.
.
Kadang aku ngerasa kayak nggak ada artinya
lagi, Mas, ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Saat berduaan mereka kini terbiasa
memanggil aku dan kamu.
Idris terdiam. Ia ingin menenangkan, tapi
bbirnya kelu.
Dalam diam itu, tangan Umi Latifah tiba-tiba
menyentuh jemari Idris. Hangat, lembut.
Sentuhan itu terasa seperti aliran listrik yang
merambat ke seluruh tbuhnya.
.
.
Aku itu cuma butuh ditemani oleh lelaki yang
mau berubah sepertimu. Itu aja. Suara Umi
Latifah bergetar, matanya menatap dalam,
seolah mencari jawaban yang tersembunyi di
balik keraguan Idris.
Malam terus beranjak, tapi di dalam rumah itu,
waktu seolah berhenti. Hanya ada dua jiwa
yang terikat dalam rasa yang sulit
didefinisikan. Entah salah, entah benar.
Namun satu hal yang pasti, batas di antara
mereka semakin menipis.
Dengan langkah pelan, Umi Latifah menarik
tangan Idris, mengajaknya masuk ke kamar.
Suasana kamar itu terasa hangat, lampu tidur
berpendar lembut, menciptakan bayangan
samar di dinding. Aroma khas pewangi
pakaian bercampur wangi bedak tipis
menyelimuti ruangan.
Mereka duduk di tepi ranjang. Umi Latifah
tersenyum kecil, matanya menatap penuh arti.
Di sini lebih nyaman, kan? Nggak ada yang
lihat, nggak ada yang tahu.
Idris.
Aku ngerti. Perasaan sepi itu menyakitkan.
Ngerasa hidup kayak nggak dibutuhin lagi,
balas Umi Latifah.
Iya… suara Idris semakin lirih. Aku nggak
pernah cerita sama siapa-siapa, malu. Tapi
sama Umi, rasanya beda. Entah kenapa, aku
jadi pengen bicara apa adanya..
Umi Latifah tersenyum tipis. Tangannya
terangkat, perlahan menyntuh lengan Idris.
Senthan yang terasa menenangkan. Cerita
aja, ngak apa-apa. Aku di sini akan setia
dengerinnya.
.
.
.
Obrolan mereka terus berlanjut dalam
ketebukaan tentang hidup, tentang kelam dan
rasa sepi yang sudah dialami. Juga kenangan
masa-masa indah dulu. Sesekali tawa kecil
terdengar, Dewi Judes mencairkan suasana. Kedekatan di
antara mereka tak lagi bisa disangkal. Umi
Latifah bersedia menerima Idris apa adanya,
begitupun sebaliknya.
Dalam diam, Umi Latifah menggeser tubuhnya
mendekat, membiarkan kepala Idris bersandar
di lengannya. Seperti dua manusia yang saling
mengisi kekosongan. Di luar, angin malam
berhembus pelan, tapi di dalam kamar itu,
kehangatan menyelimuti mereka.
Idris merasakan hangatnya tbuh Umi Latifah
yang begitu dekat. Degup jantungnya terasa
berdetak lebih cepat, namun ada kenyamanan
yang tak bisa ia dustakan. Umi Latifah pun
tampaknya menikmati momen itu, tangannya
sesekali membelai lembut lengan Idris.
Matanya sesekali melirik selngkngan Idris
yang sejak tadi sudah mencuat tinggi.
Sejenak, mereka terdiam. Namun, di antara
keheningan itu, rasa yang terpendam perlahan
mengalir. Umi Latifah memiringkan wajahnya,
menatap Idris dengan tatapan yang sulit
diartikan. Ada kerinduan di sana, yang selama
ini tersimpan rapi.
.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
menantuidaman
istriidaman
selingkuh
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts