Skip to content
LahanBasah

LahanBasah

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART68)

Posted on June 4, 2025 By admin

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART68)

Isi Postingan:

BALADA BESAN DAN MENANTU PART68

….CERITADEWASA…

.

.

.

Hari-hari di kampung berlalu tanpa banyak

kejutan. Seperti air sungai yang mengalir

tenang, kehidupan warga berputar dalam

siklus sederhana pagi bertani, siang bersenda

gurau, sore menatap langit merona. Namun di

tengah kesederhanaan itu, ada satu perubahan

yang tak bisa luput dari perhatian semua

orang.

Idris.

Pemuda urakan yang dulu hanya dikenal

lewat tawanya yang meledak dan langkahnya

yang berantakan, kini berubah menjadi sosok

yang berbeda. Ia bangun lebih pagi daripada

ayam berkokok, menanam sendiri sayuran di

tanah kosong belakang rumahnya, membantu

warga membetulkan atap atau memperbaiki

sumur tanpa banyak diminta.

Orang-orang kampung bergumam, sebagian

takjub, sebagian curiga.

Apakah si Idris kena santet?

Atau mungkin dia ikut pengajian rahasia?

Tapi satu orang tahu pasti alasan di balik

perubahan itu. Umi Latifah.

Dari balik jendela kayunya yang menghadap

ke jalan kecil, Umi Latifah sering mencuri-curi

pandang. Matanya lembut menatap Idris yang

kini sibuk mengangkut hasil panen,

memperbaiki pagar rumah tetangga, atau

sekadar menyapu jalanan depan masjid.

Dalam hati kecilnya, Umi Latifah tersenyum.

Dia sungguh-sungguh berubah… bisiknya

pelan.

.

.

.

Waktu terus menggerus jarak. Ketika akhirnya

kabar itu datang, Anisa kembali ke suaminya,

rumah Umi Latifah kembali lengang seperti

dulu. Hanya dirinya dan sunyi yang tinggal.

Sore itu, dalam sebuah pesan pendek yang

dibungkus malu-malu lewat seorang bocah

pengantar, Umi Latifah menyampaikan

sesuatu pada Idris Datanglah, nanti malam.

Saat rumah Umi benar-benar sunyi.

Idris membaca pesan itu berulang kali, seolah

tak percaya. Dunia seperti melambat. Dia tahu,

ini bukan sekadar undangan biasa. Ini adalah

jawaban atas setiap keringat, doa, dan

perubahannya selama ini.

.

.

.

Malam itu, Idris berdiri di depan rumah Umi

Latifah, dadanya berdegup kencang. Malam

semakin larut, hanya suara jangkrik yang

terdengar bersahutan. Bayangan tbhnya

memanjang di bawah temaram lampu dari

rumah-rumah tetangganya.

Dengan sedikit ragu, ia melangkah mendekati

jendela kamar Umi Latifah. Tangannya

terangkat, mengetuk perlahan, seolah takut

menimbulkan suara yang terlalu keras.

..

Tuk… tuk… tuk…

..

Tak lama kemudian, gorden tipis tersibak,

memperlihatkan wajah Umi Latifah yang

setengah tersenyum. Matanya berbinar, karena

sudah menunggu sejak tadi. Dengan gerakan

tangan, ia memberi isyarat agar Idris berputar

ke belakang rumah.

.

.

Lewat dapur aja, biar nggak ada yang lihat,

bisik Umi Latifah, suaranya hampir tak

terdengar.

Idris menurut. Ia berjalan perlahan di antara

semak-semak, memastikan tak ada yang

memperhatikannya. Hatinya berdegup

semakin kencang. Begitu sampai di pintu

dapur, ia mendapati daun pintu sudah sedikit

terbuka.

Perlahan, ia menyelinap masuk. Aroma wangi

khas rumah Umi Latifah menyambutnya.

Lampu dapur redup, hanya menyisakan

cahaya samar dari ruang tengah.

.

.

Mas Idris… suara Umi Latifah memanggil

pelan.

Ia berdiri di ambang pintu kamar, mengenakan

daster longgar berwarna biru muda.

Rambutnya tergerai, sedikit acak namun justru

membuatnya tampak lebih alami. Ada senyum

di sudut bbirnya, entah menyimpan arti apa.

Nggak bisa tdur, ya? tanyanya lembut

setengah menggoda.

Idris menelan ludah, mencoba menenangkan

debar di ddanya.

.

.

.

Iya, kepikiran Umi terus, jawab Idris pelan.

Ya udah, sini, ngopi dulu, ucap Umi Latifah

sambil berjalan ke meja kecil di ruang tengah.

Di atas meja, sudah tersedia dua cangkir teh

manis hangat dan sepiring pisang goreng.

Rupanya Umi Latifah

memang sudah

mempersiapkan segalanya. Idris mulai duduk,

mencoba bersikap biasa.

Namun suasana di antara mereka terasa

berbeda. Obrolan yang awalnya ringan

perlahan menjadi lebih mendalam. Umi

Latifah kembali bercerita tentang rasa sepinya,

tentang pengkhianatan suaminya, hingga

tentang perasaannya yang kosong.

.

.

.

Kadang aku ngerasa kayak nggak ada artinya

lagi, Mas, ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Saat berduaan mereka kini terbiasa

memanggil aku dan kamu.

Idris terdiam. Ia ingin menenangkan, tapi

bbirnya kelu.

Dalam diam itu, tangan Umi Latifah tiba-tiba

menyentuh jemari Idris. Hangat, lembut.

Sentuhan itu terasa seperti aliran listrik yang

merambat ke seluruh tbuhnya.

.

.

Aku itu cuma butuh ditemani oleh lelaki yang

mau berubah sepertimu. Itu aja. Suara Umi

Latifah bergetar, matanya menatap dalam,

seolah mencari jawaban yang tersembunyi di

balik keraguan Idris.

Malam terus beranjak, tapi di dalam rumah itu,

waktu seolah berhenti. Hanya ada dua jiwa

yang terikat dalam rasa yang sulit

didefinisikan. Entah salah, entah benar.

Namun satu hal yang pasti, batas di antara

mereka semakin menipis.

Dengan langkah pelan, Umi Latifah menarik

tangan Idris, mengajaknya masuk ke kamar.

Suasana kamar itu terasa hangat, lampu tidur

berpendar lembut, menciptakan bayangan

samar di dinding. Aroma khas pewangi

pakaian bercampur wangi bedak tipis

menyelimuti ruangan.

Mereka duduk di tepi ranjang. Umi Latifah

tersenyum kecil, matanya menatap penuh arti.

Di sini lebih nyaman, kan? Nggak ada yang

lihat, nggak ada yang tahu.

Idris.

Aku ngerti. Perasaan sepi itu menyakitkan.

Ngerasa hidup kayak nggak dibutuhin lagi,

balas Umi Latifah.

Iya… suara Idris semakin lirih. Aku nggak

pernah cerita sama siapa-siapa, malu. Tapi

sama Umi, rasanya beda. Entah kenapa, aku

jadi pengen bicara apa adanya..

Umi Latifah tersenyum tipis. Tangannya

terangkat, perlahan menyntuh lengan Idris.

Senthan yang terasa menenangkan. Cerita

aja, ngak apa-apa. Aku di sini akan setia

dengerinnya.

.

.

.

Obrolan mereka terus berlanjut dalam

ketebukaan tentang hidup, tentang kelam dan

rasa sepi yang sudah dialami. Juga kenangan

masa-masa indah dulu. Sesekali tawa kecil

terdengar, Dewi Judes mencairkan suasana. Kedekatan di

antara mereka tak lagi bisa disangkal. Umi

Latifah bersedia menerima Idris apa adanya,

begitupun sebaliknya.

Dalam diam, Umi Latifah menggeser tubuhnya

mendekat, membiarkan kepala Idris bersandar

di lengannya. Seperti dua manusia yang saling

mengisi kekosongan. Di luar, angin malam

berhembus pelan, tapi di dalam kamar itu,

kehangatan menyelimuti mereka.

Idris merasakan hangatnya tbuh Umi Latifah

yang begitu dekat. Degup jantungnya terasa

berdetak lebih cepat, namun ada kenyamanan

yang tak bisa ia dustakan. Umi Latifah pun

tampaknya menikmati momen itu, tangannya

sesekali membelai lembut lengan Idris.

Matanya sesekali melirik selngkngan Idris

yang sejak tadi sudah mencuat tinggi.

Sejenak, mereka terdiam. Namun, di antara

keheningan itu, rasa yang terpendam perlahan

mengalir. Umi Latifah memiringkan wajahnya,

menatap Idris dengan tatapan yang sulit

diartikan. Ada kerinduan di sana, yang selama

ini tersimpan rapi.

.

.

.

NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin

ceritadewasa

ceritanovel

mertuamenantu

menantuidaman

istriidaman

selingkuh

foto

fotoai

gambar

text

foryou


Related: Explore more posts

Kisah Menarik Tags:Cerita Basah, Cerita Dewasa, Cerita Panas, Cerita Seru, Kisah Basah, Kisah Seru

Post navigation

Previous Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART69)
Next Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART67)

Related Posts

ADIK IPAR PELIPUR LARA (PART21) Kisah Menarik
BALADA BESAN DAN MENANTU (PART40) Kisah Menarik
TERDIAM DALAM TAKDIR (PART29) Kisah Menarik
JANGAN OM (PART8) Kisah Menarik
Tetangga menggoda (part 17) Kisah Menarik
ADIK IPAR PELIPUR LARA(PART32) Kisah Menarik

Recent Posts

  • Judul : Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Judul: Rahasia di Balik Ruang Meeting
  • Judul: “Rahasia di Balik Ruang Meeting”
  • ***ENNY ARROW ***

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • June 2025

Categories

  • Kisah Menarik

Copyright © 2025 LahanBasah.

Powered by PressBook Grid Dark theme