BALADA BESAN DAN MENANTU (PART69)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART69
…Ceritadewasa…
.
.
Malam kali ini sangat berkesan baginidris dan umi Latifah , bagaimana tidak semalam suntuk mereka bergmul layaknya psangan yang baru menikah ..
Sebuah perasaan emosional berdengung
dalam kepala Umi Latifah dan sekejap dia
menyadari kalau kini memiliki lelaki kedua
dalam hidupnya yang benar-benar seperti
yang diinginkannya selama ini.
.
.
.
Jam setengah lima subuh, Idris perlahan
mengenakan kembali pakaiannya. Suasana
kamar terasa hangat meski udara luar begitu
dingin. Umi Latifah tersenyum tipis, matanya
masih menyiratkan rasa pus dan bahagia
yang sulit disembunyikan.
.
.
Sayang, hati-hati pulangnya, bisik Umi
Latifah lembut, tangannya masih
menggenggam lengan Idris.
Iya, Cintaku, makasih atas segalanya… Suara
Idris pelan, seakan masih berat untuk beranjak
pergi. Tatapan Dewi Judes mereka bertemu, saling
menyimpan rahasia yang hanya mereka
berdua yang tahu.
Umi Latifah menggandeng tangan Idris,
membawanya keluar kamar dengan langkah
pelan. Mereka melewati ruang tengah yang
gelap, hanya diterangi cahaya temaram dari
luar. Di depan pintu dapur, mereka kembali
terdiam.
.
.
Kalau kamu susah tdur lagi, tahu kan ke
mana mesti datang? goda Umi Latifah sambil
menyentuh ppi Idris dengan ujung jarinya.
Idris tersenyum malu-malu, wajahnya sedikit
memerah. Iya, Sayang, tapi jangan sampai
ketahuan orang, ya.
Tenang aja, aku kita pandai menyimpan
rahasia.
Umi Latifah kemudian memajukan wajahnya,
mengcup ppi Idris dengan penuh
kelembutan. Sementara Idris tak kuasa
menahan diri, jemrinya memblai pipi Umi
Latifah sebelum akhirnya membalas kecpan
singkat di keningnya.
.
.
.
Aku pulang dulu, Sayang.
Iya, Cintaku.
Mulai sekarang jangan meminta apapun dari
suamimu, karena aku yang akan memenuhi
nafkah lahir dan batinmu, ucap Idris sebelum
akhirnya melangkah keluar, menyusuri jalan
setapak menuju rumahnya dengan hati yang
campur aduk.
Meski langit masih gelap, hatinya terasa
hangat. Di balik pintu dapur, Umi Latifah
masih berdiri, menatap punggung Idris yang
perlahan menghilang dalam gelapnya subuh.
Sejak hari itu, hidup Idris benar-benar berubah
arah. Tak ada lagi hari-hari yang terbuang
untuk berkelana tanpa tujuan. Kini, tiap pagi,
dia bangun lebih awal dari siapa pun di
kampung. Cangkul dan parang menjadi
sahabatnya. Tangan-tangannya yang dulu
hanya lihai bermain kartu atau menggaruk
kepala kini kokoh mengolah tanah, memanen
hasil ladang, atau membantu tetangga
membajak sawah.
Bagi Idris, tak ada lagi pekerjaan yang terlalu
berat atau terlalu hina, semua ia jalani dengan
kepala tegak dan hati penuh semangat. Umi
Latifah harus mendapatkan nafkah lahir dan
batin sebaik yang bisa dia berikan.
.
.
.
Ketika langit berubah gelap, dan Ustaz Bidin
sibuk bermalam di rumah istri mudanya yang
lain, Idris melangkah ringan ke rumah Umi
Latifah. Di sanalah, dalam sunyi yang suci,
Idris menjelma menjadi suami yang penuh
kasih.
Plukannya untuk Umi Latifah adalah pelukan
seorang lelaki yang tidak meminta apa-apa
selain diizinkan untuk saling memuskan dan
mencintai. Senthannya sederhana, penuh
penghormatan. Dia tidak datang membawa
tuntutan, hanya kehadiran.
Mereka berbagi tawa kecil, percakapan pelan,
dan saling berbagi luka yang tak bisa
diungkapkan pada dunia. Tidak ada janji-janji
besar. Tidak ada mimpi-mimpi mewah. Yang
ada hanya satu kenyataan sederhana bersama
di saat mereka bisa, meski tak ada yang tahu
kapan dunia akan mermpas kebahagiaan itu.
Dan ketika fajar menyingsing, mereka kembali
menjalani peran mereka masing-masing. Idris
kembali menjadi pemuda pekerja keras di
ladang, menundukkan kepala seolah tak
pernah mengenal Umi Latifah lebih dari
sekadar ibu guru ngaji di kampung mereka.
.
.
.
Sementara Umi Latifah, dengan kerudung
putih bersih dan wajah tenang, kembali
memimpin pengajian, mengajar anak-anak
membaca Al-Qur’an, dan menunaikan
tugasnya sebagai istri Ustaz Bidin yang
dihormati.
Tak ada tatapan. Tak ada kata rahasia. Siang
hari, dunia milik orang lain. Malam hari, dunia
kecil itu milik mereka berdua saja.
Semuanya berjalan rapi dalam senyap, seakan
-akan cinta dan hubungan terlarang mereka
mereka tumbuh seperti akar pohon. Tak
terlihat, tapi menancap kuat jauh ke dalam
tanah.
.
.
Mengapa tidak sejak dulu aku mengenalmu,
Mas? Ucap Umi Latifah lirih, matanya yang
teduh menatap ke arah Idris, penuh dengan
perasaan yang tak mampu dirangkai dalam
kata-kata.
Idris tidak langsung menjawab. Dia hanya
tersenyum bahagia, senyum penuh syukur.
Karena jauh di dalam hatinya, dia pun
merasakan hal yang sama.
Andai saja waktu bisa diputar kembali,
mungkin mereka tak perlu melalui jalan hidup
yang penuh luka seperti ini. Tapi Idris tahu,
tidak ada gunanya menyesali takdir. Yang
terpenting adalah saat ini, saat di mana
mereka akhirnya dipertemukan dalam
keadaan mereka yang paling jujur dan paling
sederhana.
Dengan jemari kasarnya yang sedikit gemetar,
Idris menggenggam tangan Umi Latifah yang
halus dan hangat.
Di tengah hening yang hanya diisi detak
jantung mereka sendiri, keduanya saling
mengikat janji-janji tanpa suara, tanpa saksi
selain malam itu sendiri.
.
.
.
Kita tinggalkan semua masa lalu, gumam
Idris akhirnya, suaranya serak menahan
emosi.
Aku bukan lagi Idris yang dulu. Dan bagiku…
engkau pun bukan lagi Umi Latifah yang orang
lain kenal. Di hadapanku, engkau hanyalah
perempuan yang kucintai dengan segenap
hatiku.
Umi Latifah menunduk, airmatanya jatuh satu
-satu, membasahi tangan Idris. Bukan karena
sedih, tapi karena kelegaan yang begitu dalam.
Tak peduli seberapa kelam jalan yang pernah
mereka tempuh, malam itu mereka memilih
untuk saling menggenggam, melangkah ke
depan, dan membangun dunia kecil mereka
sendiri. Dunia di mana cinta mereka bisa
tumbuh tanpa rasa bersalah.
.
.
.
Waktu berjalan seperti biasa di kampung kecil
itu, perlahan, tenang, tanpa banyak gejolak.
Namun di balik kehidupan yang terlihat datar,
ada sebuah keajaiban kecil yang sedang
tumbuh dalam diam. Perut Umi Latifah mulai
menampakkan tanda-tanda kehidupan.
Dan ketika akhirnya ia menyadari, ada
kehidupan baru yang tumbuh di dalam dirinya,
hatinya dipenuhi rasa haru yang tak mampu
ia ungkapkan dengan kata-kata. Malam itu,
saat Idris diam-diam datang seperti biasa,
Umi Latifah memelknya erat, lebih erat dari
biasanya.
.
.
.
Mas… bisiknya, suara gemetar menahan
bahagia, Ada titipan dari Allah di dalam
tbuhku.
–
Idris terdiam. Dunia seolah berhenti berputar
sesaat. Lalu senyum perlahan merekah di
wajahnya senyum yang penuh syukur,
sekaligus keharuan yang tak terbendung.
Dia menempelkan telinganya ke prut Umi
Latifah, seakan ingin mendengar detak kecil
yang belum terdengar itu. Air mata, tanpa bisa
ditahan, menggenang di pelupuk matanya.
.
.
Alhamdulillah… gumamnya, nyaris tak
terdengar.
Mereka menyambut kabar itu dengan suka cita,
meski tahu dunia luar tak boleh tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Tak seorang pun bertanya,
dan tak seorang pun mencurigai.
Bagi semua orang di kampung, bayi itu
tetaplah anak sah dari seorang Ustaz Bidin
yang punya banyak istri. Tak ada yang tahu
siapa sesungguhnya ayah biolgis dari jbang
bayi itu.
Bagi Idris dan Umi Latifah, rahasia itu akan
mereka bawa sendiri dalam diam, dalam doa,
dalam setiap malam penuh kasih yang mereka
jalani tanpa janji dan pengakuan. Yang
mereka tahu, cinta mereka telah berbuah
menjadi kehidupan baru. Sebuah anugerah
yang lahir dari dua hati yang pernah terluka,
lalu saling menemukan, saling
menyembuhkan.
.
.
.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
Idris merasa benar-benar menjadi bagian dari
sesuatu yang yang sangat berarti. Bukan untuk
diakui dunia, tapi untuk disyukuri seumur
hidupnya. Aku telah menjadi ayah…
Bagaimana kehidupan warga kampung yang
lainnya, Pak Wira, Pak Amat, Amir, Pak
Dudung dan sebagainya?
Sampai berapa lama Umi Latifah dan Idris
bertahan?
Ikuti terus sampai tuntas….
.
.
NoteL..i..k..e..ku penyemangat Mimin
Related: Explore more posts