Tetangga idaman (PART43)
Isi Postingan:
Tetangga idaman PART43
…. TRUE STORY…
.
.
.
Meski masih sedikit pusing, tapi aku berusaha untuk bangun. Tidak enak berada di kamar orang berlama-lama.
Keluar dari kamar Arif, langsung disambut oleh suara televisi yang menempel pada dinding ruang keluarga. Di depan televisi, Arif
bersandar pada sofa, matanya terpejam. Apa dia sedang tidur? Ah, tapi masa iya, pagi-pagi sudah tdur.
Aku bermonolog sendiri. Setelah ikut duduk di sofa dengan tetap menjaga jarak dengan pemuda itu, aku berdehem sekali. Mata elang
yang dinaungi alis tebal itu terbuka seketika.
.
.
Mbak Rifani sudah sehat? tanya pemuda itu sambil mengucek mata.
Iya, sudah. Makasih banyak, ya,Rif. Oh iya, saya tadi kesini sebenarnya mau minta bantuan ke, Arif. Bisa nggak, kamu mengantar
saya ke suatu tempat? Lanjutku. Mengungkapkan alasan yang sebenarnya hingga mencarinya ke sini tadi.
.
.
Memang, Mbak Rifani mau ke mana?
Puncak. Aku menyebut sebuah tempat yang kutangkap saat membaca percakapan chat seseorang dengan suamiku tadi.
Puncak? tanya Arif seperti tidak percaya. Pasalnya, kami membutuhkan waktu sekitar tiga jam perjalanan untuk bisa sampai sana.
.
.
Iya, Rif. Saya butuh ke sana. Urgent, jelasku sambil merunduk. Teringat chat Mas Nata yang sempat kubaca tadi, hati kembali teriris.
Tapi ‘kan, Mbak lagi kurang enak badan?
Saya sudah baikan, kok, tolong ya Rif, ujarku memelas.
Arif tidak serta merta menyetujui permintaanku. Dia tampak berpikir keras. Bulek Siti yang keluar dari dapur, langsung bergabung dengan
kami. Di tangannya sudah tertenteng plastik yang membungkus kotak makan ukuran kecil, Ini, Neng, bulek sudah siapkan bakwan jagungnya.
Makasih banyak, Bulek. Oh iya, Bulek, Rifani boleh pinjam, Arifnya dulu?
Mungkin Arif bimbang mengantarku, karena tidak berani meminta izin pada ibunya, maka biar aku saja yang minta izin langsung pada Bulek Siti.
He? Wanita sepuh itu mengernyitkan alis, sepertinya belum paham dengan permintaanku yangmemang masih belum terucap semua.
Itu, Bulek. Saya pinjam Arif untuk
mengantar saya ke Puncak, menyusul
suami.
.
.
Oalah… aye kira dipinjam buat apaan. Hehe, tapi apa, Neng Rifani ndak kecapekan kalo ke Puncak dibonceng pakai sepeda motor?
Apalagi, Neng baru pingsan.
Pasti kuat, Bulek. Ini mendesak sekali. Saya harus segera menyusul ke sana.
.
.
Oh, ya sudah gapapa. Hati-hati di Jalan, Rif. Jangan ngebut-ngebut.
Iya, Mak. Aku siap-siap dulu.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
LANJUT PART 44
Related: Explore more posts