Tetangga menggoda (PART12)
Isi Postingan:
Tetangga menggoda PART12
… TRUESTORY…
.
.
.
Di sepanjang perjalanan, kami lebih banyak diam.
Aku lebih fokus ke jalanan, daripada menuruti
kecanggungan yang tercipta.
Gak begitu banyak kendaraan yang melewati
aspal ini, perjalanan kami pun begitu tenang
sebelum tiba-tiba ada seorang ibu-ibu berjilbab
lebar yang membelokkan kendaraannya ke kanan,
padahal lampu seinnya mengarah ke kiri.
Sial, aku yang gak menduga sebelumnya, jadi
kehilangan keseimbangan.
Untungnya, dengan cepat aku bisa
mengendalikan kepanikan yang sempat
menguasai otak.
Segera kututup gas dengan cepat, dan tarik rem
depan hingga penuh. Dalam jeda sepersekian
detik, aku langsung menekan rem belakang
hingga penuh sebelum memastikan kondisi
motor dan posisi ban sedang lurus, agar motor
gak ngesot.
Kuda besi yang kukendarai berhenti dengan
cepat, membuat penumpang di belakang ikut
terdorong maju. Dengan cekatan, kedua lengan
Mbak Rifani mendekap perutku. Reflek yang
pintar, dengan begitu penumpang di belakang gak
akan jatuh.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Aku
merasakan ada benda empuk yang menempel di
punggungku. Oh astaga, apakah itu… buah.
mangga? Otakku mendadak beku ketika
menyadarinya.
Jedak-jeduk jantungku semakin gak beraturan,
mengalahkan getaran rasa takut ketika kami
hampir kecelakaan lalu lintas tadi dan itu.
membuatku semakin frustasi. Jangan sampai
dedek ikut terbangun karena merasa terusik. Oh
Tuhan, aku harus bagaimana?
Rif, aku takut. Hiks hiks. Kulihat dari kaca spion,
mata Mbak Rifani masih terpejam. Aku bisa
merasakan detak jantungnya juga terpompa lebih
cepat. Sepertinya dia benar-benar ketakutan.
Aku segera menepi dan memasang penyangga
kaki motor.
Maaf ya, Mbak. Aku gak sengaja ngerem
mendadak. Kuputar tubuh dan segera
merengkuh tubuh berisi itu. Berharap perempuan
milik orang ini segera tenang. Bagaimanapun
juga, aku yang menyebabkannya ketakutan
seperti ini.
Mas Nata, ampun Mas. Semoga kamu gak
melihat kejadian ini. Percayalah, aku memeluk
istrimu hanya untuk membuatnya tenang. Bukan
untuk merebutnya darimu. Haish, aku berbicara
dengan diriku sendiri, karena kenyataannya Mas
Nata gak ada di tempat ini.
Setelah hati Mbak Rifani kembali tenang, kami
melanjutkan perjalanan hingga berhenti di
parkiran sebuah supermarket yang ada di kota ini.
Mbak Rifani gak membiarkanku menunggu di
parkiran, dia mengajakku masuk, Saya nggak
nyaman kalo di dalam sendirian, kelihatan banget
kalo nggak punya temen, ujarnya dengan
tampang memelas.
Ok lah, kali ini biar kutemani dia. Anggap saja
sebagai permintaan maafku yang hampir
membuatnya celaka.
Mbak Rifani mengambil kereta dorong,
sementara aku hanya kowah-kowoh tanpa tahu
apa yang harus kulakukan.
Melewati lorong yang di samping kanan kirinya
tertata berbagai kebutuhan rumah tangga, tangan
Mbak Rifani dengan cekatan mengambil barang-
barang yang ia perlukan.
Kamu mau beli apa, Rif? Ambil aja, gapapa, ujar
Mbak Rifani di sela-sela kesibukannya.
Ah, iya Mbak. Namun, aku gak mengambil
apapun, sadar kalau dompetku gak ada isinya.
Oh iya, boleh minta tolong dorongin ini? Udah
mulai berat. Hihi, pintanya dengan suara yang
begitu manis. Sepertinya dia sudah melupakan
kejadian yang membuatnya takut tadi, syukurlah.
Oh, tentu saja, jawabku dengan memamerkan
deretan gigi.
Kata pak ustaz, jika tidak mampu beramal
dengan harta, maka perbanyaklah tersenyum,
karena senyum di depan orang lain merupakan
sedekah. Alibiku sebagai seorang tuna dompet
tebal. Haha.
Aku pun mendorong kereta yang mulai penuh
dengan barang-barang. Kami berjalan beriringan.
Beberapa pasang mata, menatap kami dengan
ceria. Pasti mereka berpikir jika aku dan Mbak
Rifani adalah sepasang pengantin baru yang
sedang romantis-romantisnya. Yaelah, kumat
kepedeanku.
Aku berpamitan menunggu di luar, ketika Mbak
Rifani mengantre di kasir, dan perempuan baik
hati itu mengiyakannya.
Pasti rasanya malu sekali, ketika perempuan
mengeluarkan kartu kredit, sementara si lelaki
hanya bengong di belakangnya.
Rif, mampir ke tempat makan itu dulu, yuk. Saya
lapar.
Modiar, di kantongku hanya tersisa dua puluh ribu
yang rencananya mau kubelikan pertalite. Mana
cukup untuk beli makanan di tempat semewah
itu?
Oh, aku menunggu di sini aja lah, Mbak. Mbak
Rifani bisa ‘kan ke sana sendiri? Aku menolaknya
dengan tetap memamerkan senyum.
Udah, ayok. Tenang aja, nanti saya yang bayar,
ucap Mbak Rifani to the point, seolah sudah
mengerti alasanku menolak ajakannya.
Aku udah kenyang loh, Mbak. Beneran. Kapan-
kapan deh, kita makan bareng, kilahku, agar gak
malu-malu amat.
Ayoklah…. Mbak Rifani gak mengindahkan
penolakanku. Tangannya dengan santai
menggenggam lenganku agar menyeimbangkan
langkahnya.
Akhirnya di sinilah kami berada, di tempat makan
mewah-menurut kantongku yang tipis.
Mbak Rifani duduk di hadapanku dengan meja
bundar di tengahnya, setelah memesan makanan.
Entah apa yang dipesannya. Aku sih nurut saja,
Iha wong ditraktir juga.
Kami berbincang-bincang sambil menunggu
pesanan makanan datang, sesekali menyeruput
minuman masing-masing. Gak pakai acara
cheers, karena ini bukan dinnernya sepasang
kekasih. Jiiaah.
Seorang pelayan membawa dua piring makanan
dan mempersilakannya pada kami. Ternyata
Mbak Rifani pesan nasi goreng spesial pakai
toping telur ceplok dan sosis.
Kamu suka telur nggak, Rif?
Suka. Suka kamu, lanjutku dalam hati.
Astagfirullah.
Aku melongo ketika tiba-tiba Mbak Rifani
menyendok telurnya dan menaruhnya dalam
piringku.
Biar tambah spesial. Hihi, ujarnya.
Aku memandangi piringku. Dua telur satu sosis?
Aku ‘kan jadi membayangkan yang nganu-nganu.
Apa yang kita pikirkan saat ini, sama, Mbak?
Related: Explore more posts