Tetangga idaman (PART45)
Isi Postingan:
Tetangga idaman PART45
… TRUE story…
.
.
.
Alhamdulillah, hasil dari sekolah tiga tahun, bisa diterapkan untuk membantu orang. Dia nyengir.
Kami gegas bertolak ke hotel, setelah gelas sudah sama-sama kosong. Ternyata, hotel itu tidak jauh dari cafe tempat kami beristirahat
sebentar tadi.
Dari luar, tampak sebuah pintu kupu tarung yang terbuat dari kaca. Melewati pintu yang tinggi dan lebar itu, hatiku semakin tidak karuan.
Antara penasaran ingin segera tahu kebenaran dan takut menerima kebenaran itu sendiri.
Setelah berada di dalam lobi, aku mengamati ruangan luas itu sebentar, lalu berjalan menuju meja resepsionis.
.
.
Permisi kak, suami saya menginap di hotel ini. Boleh saya tahu nomor kamarnya?
Maaf, Kak, kami tidak bisa
memberi tahu privasi tamu kami.Resepsionis tersebut menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
Tolong, Kak. Ini penting bagi saya. Atau kalau tidak, saya minta kunci cadangannya saja. Biar saya ke sana sendiri. Aku memelas, tapi
resepsionis itu teguh pada pendiriannya.
.
.
Jika benar suami Kakak menginap di hotel kami, silakan, Kakak menghubungi suami Kakak dan memintanya turun ke lobi untuk bertemu, jawab resepsionis tersebut mantap dan tetap memamerkan senyum termanisnya.
Aku tidak bisa menahan gemuruh di hatiku lagi. Kupegang dada sebelah kiri, sakit sekali rasanya. Entah sudah semerah apa mataku. Ternyata, niatku untuk menggerebek Mas Nata harus gagal oleh peraturan hotel.
.
.
Sebenarnya aku sudah tahu peraturan hotel berbintang yang setaraf internasional ini. Namun, kecemburuan membuatku hilang
kendali dan tidak bisa berpikir dengan jernih.
Sudah, Mbak. Kita duduk aja dulu. Mbak harus tenang. Arif menghampiri dan sedikit berbisik di
dekat telinga. Aku menurut, mencari tempat
untuk duduk. Pasti malu sekali jika menangis di depan resepsionis dan ditonton orang asing.
.
.
Aku memilih duduk di sofa yang berada di paling ujung, jauh dari resepsionis dan lalu lalang pengunjung hotel.
Di sini aku bisa menumpahkan air mata yang sejak tadi berdesak-desakan ingin keluar. Tidak peduli jika tangisku disaksikan bocah cilik itu. Rasa sakit di dada mengalahkan rasa malu. Lagipula, aku sudah menganggap Arif seperti adikku sendiri.
.
.
Mbak, Mbak jangan menangis seperti ini ya. Aku gak kuat melihatnya.
Mendengar ucapan Arif, tangisku malah semakin pecah.
Note L..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Lanjut
Related: Explore more posts