Tetangga idaman (PART40)
Isi Postingan:
Tetangga idaman PART40
… True story…
.
.
.
Entah sudah berapa lama aku menangis. Aku sudah tidak bisa memendam semua ini sendirian. Aku pun keluar mencari Angga, meminta bantuannya untuk mengantarku
mencari Mas Nata.
.
.
Ngga… Angga…. Suaraku nyaris tidak terdengar.
Kucari di setiap sudut, tapi Angga tidak kutemukan. Melihat bulatan jam yang menempel di dinding. Ah, sepertinya Angga sudah berangkat kuliah.
Ditelepon pun juga tidak bisa. Angga ke mana-mana suka membawa handphone, tapi jika dihubungi jarang sekali mau mengangkat.
Handphonenya disibukkan oleh mobile legends.
Satu-satunya yang masih bisa diharapkan adalah nomor yang berfoto profil cowok berkaos merah dengan jam melingkar di tangan yang gambar wajahnya hanya kelihatan
separuh-Arif Pradipta.
.
.
Di bawah foto profil tersebut Sudah muncul tulisan berdering, tapi sampai bunyi tuut berhenti, teleponku belum juga diangkat oleh Arif.
Halo assalamualaikum. Akhirnya suara Arif terdengar, setelah beberapa kali aku menekan icon gagang telepon.
Beberapa detik berlalu, tapi belum mampu menyuarakan apa alasanku meneleponnya. Rasa ddaku masih sesak sekali.
.
.
Mbak? Mbak Rif baik-baik aja, ‘kan? Suara Arif sedikit ada penekanan. Aku ingin sekali mengadukan apa yang dilakukan Mas Nata padaku. Namun, yang keluar justru isak tangis.
.
.
Mbak, kenapa? Apa yang membuat, Mbak menangis?
Sepertinya Arif semakin panik mendengar isakku. Aku menutup sambungan telepon
begitu saja. Mungkin lebih baik jika aku berbicara langsung padanya. Semoga dia masih ada di rumah. Gegas, aku bertolak ke rumah Arif. Padahal rumahku dan rumah Arif
hanya berjarak lima langkah, tapi rasanya seperi sangat jauh. Kabut hitam menutupi hatiku. Semburat matahari pagi membuatku silau. Aku
tetap berjalan, meski rasa pusing menguasai kepala. Mungkin ini efek kelamaan menangis.
Aku bisa melihat bayangan seseorang di teras warung kelontong Bulek Siti. Aku mendekatinya. Rasa pusing itu semakin lama semakin tak
tertahankan. Reflek tangan berpegang pada tiang penyangga di teras warung kelontong, hingga akhirnya limbung dan pandanganku menggelap.
.
.
Mataku masih terpejam, tapi lamat-lamat indra dengarku bisa menangkap suara.
Udah dikasih minyak angin,
Mak? Itu adalah suara pemuda yang kukenal-Arif.
Sudah, tadi.
Wedang panas?
Belum sempat, emak terlalu khawatir, jadi bingung apa yang harus dilakukan.
Terasa sapuan lembut kulit tangan pada pipi. Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang masih silau dengan cahaya luar.
Wajah seorang ibu yang kurindukan
memenuhi pupil ketika aku menbuka
mata dengan sempurna.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Lanjut
Related: Explore more posts