TERDIAM DAPAM TAKDIR (PART4)
Isi Postingan:
TERDIAM DAPAM TAKDIR PART4
…Ceritadewasa…
.
.
.
Kurang ajar kamu, ya! teriaknya
tak terima. Lantas mbak Sari kembali
mengangkat tangannya hendak
menmparku. Namun, dengan sigap
aku menangkisnya dan kembali
mendrongnya hingga tersungkur ke
lantai.
Hentikan!
Aku menoleh ke sumber suara,
begitu pun dengan mbak Sari.
Ada apa ini? tanya bapak
menatap kami bergantian.
Mas Arman terlihat membantu
mba Sari yang kesusahan berdiri.
Namun, di tangkis olehnya sembari
berkata tajam.
.
.
.
Ajari istrimu, agar tidak berlaku
kurang ajar!
Coba jelaskan ada apa
sebenarnya?! suara bapak mulai
meninggi.
Kemudian aku mulai menjelaskan
apa yang terjadi. Setelah mendengar
penjelasan dariku mengenai mbak Sari
yang memukuli Sila, bapak cukup
terkejut mendengarnya.
Beliau tidak membenarkan
perbuatan mbak Sari yang telah
berbuat kasar pada Sila. Hanya karena
masalah rebutan mainan antara
putriku dan anaknya Dela. Dan itu
hanya masalah kecil yang tidak harus
di perbesar. Namun, mbak Sari tetap
saja tak mau mengerti. Dan tetap
mempermasalahkannya.
Mainanan itu Bapak yang belikan
untuk Sila, ungkap bapak. Kemudian
lelaki tua itu meminta kami untuk
berdamai.
Sebenarnya aku malas jika
dengan mudahnya harus memaafkan
orang yang sudah berbuat kasar pada
putriku, tapi demi bapak, mau tak mau
kembali aku harus berbesar hati.
Namun, saat aku mengulurkan
tangan untuk berdamai dengan mba
Sari, ia justru menolaknya. Kakak
iparku itu tak mau berdamai, karena
tak terima dengan bapak yang
menurutnya lebih membelaku, padahal
pria renta itu hanya berusaha berlaku
bijak.
.
.
.
Aku nggak peduli, asal kalian
tahu. Di sini semua milikku, aku yang
bekerja, aku yang berkuasa!
tandasnya tanpa memandang bapak
sebagai orang tua. Sedangkan bapak
mertuaku hanya diam tak berdaya, jika
mbak Sari sudah mengungkit masalah
harta.
Entah terbuat dari apa hati dan
otak wanita ini? Masalah anak-anak
saja harus di besar-besarkan seperti
ini. Kalau bukan karena memandang
bapak, mungkin sudah kuhajar wanita
itu.
Aku nggak sudi, minta maaf
sama orang miskin seperti kamu.
Perempuan dengan latar belakang
nggak jelas sepertimu, tak layak
mendapatkan maaf dariku.
Tudingnya. Aku heran, Arman mau
menikahi orang sepertimu. Padahal,
adikku itu bisa menikahi perempuan
kaya dan terpandang! lanjutnya.
Mendengar penghinaan yang
terus ia lontarkan membuatku geram.
Kenapa ia bawa-bawa asal usul ku?
Benar-benar tidak waras ini orang.
Iya, aku memang bukan orang
berharta dan terpandang sepertimu,
tapi aku punya harga diri yang tidak
bisa di ukur dengan uang. Sementara
kau, di mana harga dirimu? Tak ada.
Kau tak memiliki harga diri, karena
harga dirimu hanya bisa di ukur
dengan nominal angka dan itu sangat
murah! tandasku, menumpahkan
semua unek-unek yang selama ini
kusimpan dalam hati.
Muka mba Sari terlihat begitu
marah,giginya bergemelatuk, dan
tangannya mengepal erat.
Lilis, Cukup! Mas Arman
berteriak.
Mas! Mbak Sari sudah
menghinaku dan berlaku kasar pada
anak kita, hanya karena masalah
sepele. Lantas, aku harus diam saja,
begitu? suaraku naik satu oktaf.
Enggak, Mas, aku enggak terima!
Lilis! Mas mohon sama kamu
cukup. Walau bagaimana pun mbak
Sari adalah kakaku, kita harus
menghormatinya.
Maaf, Mas. Rasa hormatku
sudah hilang setelah apa yang ia
lakukan pada putriku! tolakku tegas.
Kurang ajar! Pergi kamu dari
sini! usir mbak Sari yang tak terima
dengan apa yang aku ucapkan di
depannya.
Tanpa di usir pun aku akan pergi
dari sini! tandasku, tak lagi
memikirkan kesopanan di depan
bapak mertua. Gegas menggendong
Sila dan melangkah keluar.
.
.
.
Aku sudah berjalan cukup jauh,
dan mas Arman tak mengejarku.
Mungkin ia marah karena aku tak
mendengarkan ucapannya tadi.
Biarlah aku tak peduli, yang penting
sekarang bagaimana caranya aku
pulang, tak mungkin jalan kaki sampai
rumah sambil gendong putriku yang
mulai mengantuk. Kuraih Handphone
yang tak diketahui suamiku dalam tas
Sila lantas memesan taksi online.
Kita naik mobil ya Mi? tanya Sila
tiba-tiba saat kami sudah berada di
dalam mobil.
Iya, jawabku gelagapan.
Sila,jangan cerita ke Abi, ya? kalau
malam ini Sila naik mobil. Oke! la
mengangguk.
Tapi, nanti kita naik mobil lagi,
ya?pintanya, yang kuiyakan dengan
mengacungkan jempol seraya berkata
oke.
Sila memang tak pernah menaiki
mobil, paling-paling angkot jika ke
pasar bersamaku saat mas Arman tak
bisa mengantar. Anak itu sangat
antusias kalau kuajak menaiki
angkutan umum itu.
Katanya, kalau naik mobil itu enak
bisa duduk tanpa harus pegangan
sama Abi, terus kalau ngantuk bisa
bobo dengan tenang. Aku hanya
tertawa mendengar penuturannya itu.
Sila sangat mirip denganku, suka
tertidur saat menaiki kendaraan,
apalagi saat badan capek.
Tiba di rumah gegas kubayar
taksi lalu keluar dengan hati
ketar-ketir. Membuka pintu lalu masuk
dan menutupnya kembali. Menidurkan
Sila di kamarnya lanjut aku
membersihkan diri dan tdur.
.
.
.
Keesokan harinya aku terbangun
saat mendengar Adzan
berkumandang. Menoleh ke samping
tempat mas Arman, kosong. Suamiku
itu tidak pulang, apa ia benar-benar
marah.
Usai solat subuh aku melakukan
kegiatan ibu rumah tangga seperti
biasanya memasak, mencuci,
menyapu dan mengepel lantai.
Kulirik kembali jam di dinding,
sudah pukul delapan pagi. Namun,
mas Arman belum juga pulang.
Sebegitu marahnya kah ia terhadapku
yang melawan mbak Sari.
Selang beberapa menit kemudian,
seseorang yang sedari tadi kupikirkan,
tiba-tiba muncul. Aku menghentikan
gerakan tangan yang tengah
menggerakkan alat pengepel.
Kami saling beradu pandang, saat
mulutku terbuka untuk menyapanya.
Mas Arman berlalu melewatiku begitu
saja, kemudian pria itu menuju dapur.
Gegas aku menyusulnya di
belakang. Terlihat suamiku itu
menuangkan air ke dalam gelas dan
meminumnya perlahan.
.
.
.
Mau dibuatkan kopi? rayuku.
aku tahu pria itu tengah menahan
kesal.
Semalam kamu pulang naik apa?
Mas menyusulmu tapi kamu dan Sila
sudah tak ada? tanyanya penasaran.
Ngojek.
la mengerutkan kening heran.
Emang ada? Semalam Mas kejar
kamu sampai pangkalan usai
menenangkan bapak, tapi di sana
sepi, selidiknya.
Emang tukang ojek hanya ada di
pangkalan saja? Banyak kali Mas yang
lewat di jalan.
Mas Arman terdiam menatapku
lekat seolah memastikan jika tak ada
yang ku sembunyikan.
Maaf mas, aku berbohong. Aku
hanya ingin kau dan keluargamu
menerimaku apa adanya sebagai
Wanita miskin batinku
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts