TERDIAM DALAM TAKDIR (PART7)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART7
…Ceritadewasa…
.
.
.
Siapa kau? tanya seseorang
tiba-tiba.
Mataku membulat saat menoleh
ke sumber suara, mas Arman. Pria itu
berdiri menjulang di ambang pintu
masuk, menatap tajam pada pria di
sebelahku.
Saat mas Arman mendekat,
dengan cepat kusembunyikan amplop
berisi uang tadi ke dalam kantong
daster.
Maaf, Anda siapa? suara mas
Arman mulai meninggi, karena tak
juga mendapat jawaban.
Lis, si-
Maaf saya salah kamar, tadi saya
pikir ini adalah kamar ponakan saya,
jawab pria yang masih berdiri di
sampingku.
Ah, iya Mas, bapak ini salah
kamar, timpalku, membenarkan
jawaban pria itu.
Mas Arman tak bersuara, hanya
matanya yang terus menatap ke arah
pria depannya dengan penuh selidik.
Usai kepergian pria tadi, kini
tatapan mas Arman berpindah
padaku. Matanya menatap penuh
curiga dan membuat diriku tak
nyaman.
Eh, Sila. Sudah bangun, Nak?
kataku mengalihkan, untunglah Sila
terbangun, jadi aku bisa menghindari
pertanyaannya yang akan membuatku
sulit untuk menjawab.
Sila mau minum? tanyaku
kembali, yang kemudian diangguki
bocah tiga tahun itu.
Mas Arman menghampiri Sila dan
mencim kening putrinya.
Sila sudah siap? sore si
cantiknya Abi sudah boleh pulang,
ucapnya sambil mencolek hidung
bangir milik Sila, lantas putriku
tersenyum senang.
.
.
.
Menyaksikan pemandangan
seperti ini sudah membuatku amat
sangat bersyukur, suami dan anakku
sehat itulah bahagiaku. ‘Maka nikmat
Rabb-mu yang manakah yang kau
dustakan? Bait ayat dari surah Ar
Rahman yang dulu sering almarhum
ibu dan bapak lantunkan selalu
tersimpan dalam benakku.
Karena sore ini Sila akan pulang,
aku mulai berkemas. Melipat baju dan
perlengkapan lainnya. Sementara mas
Arman terlihat tengah menghitung
tumpukan uang yang terdiri dari
pecahan lima ribuan yang ia keluarkan
dari kantong plastik hitam-pinjaman
dari celengan bapak-itu pun masih di
tagih oleh mbak Sari. Entah terbuat
dari apa hati wanita sombong itu,
sama sekali tak memiliki rasa iba
pada saudaranya sendiri. Keterlaluan!
Melihat mas Arman yang serius
menghitung uang recehan, batinku
terenyuh. Inilah kondisi kami, yang
hidup apa adanya. Jangankan
memiliki simpanan, gajinya saja tak
cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
.
.
.
Aku pernah meminta izin bekerja
untuk membantu perekonomian
keluarga. Namun, mas Arman tidak
mengizinkan. Katanya, jika aku kerja
siapa yang menjaga dan mendidik
Sila. Sementara ia tak mau putrinya itu
dititipkan pada orang tuannya apalagi
orang lain.
Ibu adalah madrasah pertama
untuk anaknya. Kata-kata itulah yang
selalu mengingatkanku untuk selalu
menjadi ibu yang baik bagi Sila.
Sini Mas, biar nanti Lilis saja
yang membayar ke bagian
administrasi, pintaku.
Mas Arman menoleh dan
menatapku tanpa banyak komentar ia
lantas memberikan uang yang sudah
kembali dibungkus oleh plastik itu ke
tanganku.
.
.
.
Saat berada di lobi, beruntung Sila
merengek meminta ayam goreng, dan
dengan terpaksa mas Arman
menurutinya dari pada putrinya itu
menangis di rumah sakit dan
mengganggu ketertiban di sini.
Aku lekas bergerak menuju
bagian administrasi, lantas dengan
cepat membayar biaya rumah sakit
dengan uang yang di bungkus amplop
cokelat. Untunglah tidak mengantre.
Lantas, uang yang tadi mas Arman
berikan aku masukan kembali ke
dalam tas besar tempat pakaian yang
enggak mungkin terjangkau suamiku
itu.
Selesai membayar tagihan biaya
rawat inap Sila. Gegas aku menyusul
keduanya di kantin. Mas Arman
terlihat tengah menyuapi putrinya.
Mana? mas Arman
menyodorkan tangannya meminta
kertas dengan keterangan Invoice
rawat inap itu yang sudah terlunasi.
Aku memberikan apa yang mas
Arman maksud. Setelah memeriksa
kertas yang sudah beralih ke
tangannya itu, kini matanya
menatapku dengan tatapan tak
terbaca sembari melipat kertas itu dan
mengantonginya.
.
.
.
Ayo, pulang! titahnya, berjalan
lebih dulu-keluar menuju area
parkiran. Entah apa yang sedang mas
Arman pikirkan, apa ia mulai curiga
kepadaku.
Kugendong Sila yang masih
duduk di kursi menikmati ayam
goreng, merapikannya lalu
membawanya keluar-menunggu mas
Arman yang masih mengantre di
parkiran.
.
.
.
Sila! Ayo, makan dulu terus
minum obat!
Mendengar perintahku, Sila keluar
kamar dengan berlari sambil
memegangi boneka beruang, lantas ia
duduk dihadapkanku dan mengangkat
kedua telapak tangannya hendak
berdoa, aksinya itu membuatku
tersenyum.
Di tengah kegiatanku, tiba-tiba
seseorang mengetuk pintu. Kuletakan
piring yang masih berisi beberapa
suap nasi lagi.
Mataku terbelalak saat menatap
siapa yang berdiri di hadapanku.
Kenapa kau kemari? tanyaku
sambil celingukan. Untunglah di luar
sepi.
Kau sudah mengingkari janjimu,
maka dari itu aku datang
menjemputmu, ucapnya bersedekap.
Bukannya ingkar janji, tapi aku
bingung harus memberikan alasan
apa pada suamiku,jika aku pergi. Aku
menjawab pelan, nyaris seperti
bisikan. Karena khawatir didengar
oleh para tetangga.
.
.
.
Ayo, ikut temui dia, ajaknya.
Atau dia sendiri yang akan datang
kemari dan membawamu pergi dari
kehidupan melarat seperti ini!
Akhirnya aku pun terpaksa ikut,
dengan membawa Sila. Sebelum pergi
terlebih dulu menghubungi mas
Arman untuk minta izin menggunakan
Handphone yang kupinjam dari
tetangga sebelah rumah.
Awalnya mas Arman tak
mengizinkan. Namun, dengan
beralasan pamanku sakit dan harus
segera ke sana menjenguknya menghampiriku. Langkahnya terhenti
setelah tepat berada di hadapanku.
Kedua sudut bbirnya membentuk
senyuman simpul dan seketika tangan
lembut itu melayangkan sebuah
tamparan.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts