TERDIAM DALAM TAKDIR (PART6)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART6
…CERITA DEWASA…
.
.
.
Melihatku yang begitu berani
padanya, ia mendekat lantas
mendaratkan sebuah tamparan.
Seketika rasa perih menjalar di pipi
bagian kiriku.
Aku menatapnya murka, entah
setan apa yang merasuki dengan
berani mengangkat tangan dan
menamparnya balik. Akhirnya
terjadilah aksi jambak menjambak di
antara kami.
panik
.
.
.
Tolong-tolong! teriak suster
Kemudian tiga orang suster
lainnya datang dan mencoba
memisahkan kami. Mbak Sari masih
terus meronta saat tbuhnya telah
ditahan oleh tiga suster, sementara
satu orang suster lagi menahanku.
Kuraih kerudungku di lantai yang
telah ditarik olehnya lantas
mengenakannya kembali. Beruntung
di sini tak ada laki-laki yang melihat
rambutku.
Perih di pipi bekas tamparan dari
mbak Sari cukup menyakitkan.
Sepertinya memar. Begitu pun wajah
wanita itu tak kalah tragis dariku.
Ujung bibirnya dan hidungnya
berdarah, karena tadi aku sempat
menyundul kan kepala pada wajahnya.
Dasar perempuan miskin, tak
tahu diri. Aku bunuh kau! teriaknya
murka.
Cukup! teriak mas Arman
tiba-tiba masuk dengan membawa
bungkusan plastik warna hitam di
tangannya.
Apa kalian berdua tidak malu,
jadi bahan tontonan seisi rumah sakit,
hah? kata mas Arman menahan
emosi. la berdiri di tengah-tengah dan
menatap ke arah kami bergantian.
Mbak Sari yang memulainya, dia
telah menamparku, ini. Lihatlah! aku
menunjukan pipi bekas tamparan
kakaknya itu.
Itu hukuman untuk perempuan
miskin kurangajar sepertimu! mbak
Sari menyahut sembari berdecih.
Kau yang kurang ajar, mbak!
Kau!
Kau!
Kau!
SUDAH CUKUP! mas Arman
berteriak.
Lalu dua orang security masuk.
Itu dia, pak, orangnya yang sudah
membuat keributan di sini! tunjukku
pada mbak Sari yang masih bernafsu
menyerangku.
Dua pria yang bertugas sebagai
penjaga keamanan di rumah sakit ini
pun menghampiri mbak Sari
membawanya.
.
.
.
Maaf, Ibu, mari ikut kami.
Awas, kamu. Urusan kita belum
selesai! tudingnya, lalu beranjak
keluar dengan di ikuti dua security di
belakangnya.
Mas Arman mendekat padaku,
lantas menyerahkan bungkusan
plastik hitam yang dibawanya.
Makanlah, Mas ngurus mbak Sari
dulu.
Lantas lelaki tiga puluh tahun itu
keluar dari ruang rawat Sila. Sadar jika
baru saja keributaa tadi membuat
yang lain terganggu, aku pun meminta
maaf pada pasien lainnya.
Untunglah, mereka pasien baik
hati dan mau berlapang dada
memaafkan. Kembali aku duduk di
samping brankar Sila. Mengelus
puncak kepalanya lembut. la masih
tertdur pulas, walau tadi sempat ada
keributan. Ah, mungkin efek obat.
Aku diam tak meresponnya,
hatiku masihsangat kesal dengan
perilaku mba Sari yang pelitnya luar
biasa itu.
Tak lama mas Arman kembali,
dengan membawa satu botol air
mineral kemasan satu liter, kemudian
meletakkannya di atas nakas sebelah
brankar.
Kenapa belum di makan, katanya
lapar? tanyanya, saat melihat nasi
bungkus yang dibawanya tadi masih
utuh.
Udah enggak berselera! jawabku
kesal.
Maaf, mas telat ke sininya, tadi
ada jadwal tambahan les, katanya.
Makanlah, setelah itu mas obati luka
kamu, lanjutnya membujuk. Padahal
bukan karena keterlambatannya yang
membuatku jadi tak berselera.
Melainkan semua karena mbak Sari
yang merusak semuanya.
Lilis kesal sama mbak Sari,
lanjutku. Kenapa, sih! Dia pelit banget
pada saudara sendiri, padahal yang
mas pinjam juga bukan uangnya dia,
tapi uang bapak!
Mas Arman menatapku sendu,
wajahnya menyimpan penuh
kesedihan yang selama ini ia rasakan
mengenai keluarganya.
la pun menceritakan bahwa
semenjak mbak Sari tahu jika suamiku
dan mba Salma hanyalah anak angkat
keluarga Hardiyanto. Lantas wanita
dengan mulut pedas bagai mercon itu,
mengambil alih semua kekayaan
orang tuannya.
Mbak Sari seperti ketakutan jika
suatu saat harta warisan keluarga
Hardiayanto di kuasai mas Arman dan
mbak Salma. Padahal suamiku dan
kakaknya itu bukanlah anak yang
rakus akan harta. Keduanya tidak
pernah banyak menuntut kepada
orang tua. Justru mencoba untuk
hidup mandiri tanpa belas kasih
keduanya.
.
.
.
Mas Arman rela menjadi guru
honorer setelah lulus kuliah dengan
gaji jauh dari kata cukup. Sebenarnya
bisa saja suamiku itu bekerja
mengurus ladang dan sawah orang
tuanya. Namun, karena tak ingin
dianggap selalu bergantung pada
orang tua ia pun memilih untuk
berusaha sendiri, walaupun harus
tertatih.
.
.
.
Satu pekan sudah Sila berada di
rumah sakit dan sore ini ia sudah di
izinkan pulang karena kondisinya
sudah membaik. Namun, aku masih
merasa khawatir tentang biaya yang
mas Arman pinjam pada bapak
mertuaku. Mba Sari tidak akan diam
begitu saja, sampai kapan pun pasti ia
akan menagihnya kembali.
Aku merogoh tas besar tempat
pakaian Sila. Mengambil gawai yang
kusembunyikan selama ini dari mas
Arman, lantas mengetikkan sesuatu di
sana dan mengirimkan chat pada
seseorang.
Satu jam kemudian seorang pria
masuk tanpa permisi-berjalan ke
arahku lalu pria dengan setelan jas
warna hitam itu menyodorkan amplop
berwarna cokelat padaku
Sesuai permintaanmu, ucapnya
datar.
Kuraih amplop yang berisi uang
lembaran berwarna merah itu dari
tangannya.
Aku heran, kenapa kau betah
hidup miskin seperti ini? ia menilai
penampilanku dengan daster dan
kerudung kumel yang kukenakan. D
Bukan urusanmu, jawabku tanpa
menoleh, netraku masih fokus
menghitung jumlah uang dalam
amplop yang kini berada ditangan.
Setelah ini kau harus
menemuinya! beritahunya.
Aku tahu.
Sepertinya kau terluka?
tanyanya hendak menyentuh pipiku.
Namun, Kutepis tangannya itu dengan
amplop.
itu?
Maaf, bukan mahram! tukasku.
Pria tinggi itu tertawa mengejek.
Sejak kapan kau paham akan hal
la bertanya masih dengan
tawanya yang menjengkelkan. Ah, iya,
aku lupa, sejak menikah dengan pria
miskin itu kan?lanjutnya, dengan
sisa-sisa tawanya.
Kutatap wajah pria yang masih
melajang di usianya yang hampir
menginjak kepala empat itu dengan
kesal.
.
.
.
Urusanmu sudah selesai, silakan
pergi! usirku bersedekap.
Baiklah, jangan lupa janjimu.
Datang temui dia!
Aku diam tak menjawab sama
sekali, karena sudah terlalu kesal
dengan pria yang pernah menaruh hati
padaku.
Siapa kau?
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
menantuidaman
istriidaman
selingkuh
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts