Skip to content
LahanBasah

LahanBasah

TERDIAM DALAM TAKDIR (PART35)

Posted on June 4, 2025 By admin

TERDIAM DALAM TAKDIR (PART35)

Isi Postingan:

TERDIAM DALAM TAKDIR PART35

…CERITADEWASA…

.

.

.

Seharian ini kami habiskan

dengan mengajak Sila ke taman

bermain yang dulu sering kami

kunjungi sepekan sekali tepatnya saat

hari libur.

Aku menghampiri mas Arman

yang tengah beristirahat di bangku

taman, lalu menyodorkan sebotol air

mineral di hadapannya.

..

Terima kasih, ucapnya.

Aku tersenyum dan duduk di

sampingnya.

Sila terlihat begitu bahagia.

netraku menatap lurus pada putri kami

yang tengah asyik bermain perosotan

bersama anak pengunjung lainnya.

Putriku Sila adalah anak yang

sangat lincah dan aktif, kata mama

sangat mirip denganku waktu kecil

dulu.

Apa … Hari ini kau juga bahagia?

Dari ekor mata, aku bisa melihat

mas Arman menatapku sekilas, lantas

ia kembali mengikuti arah pandangku

yang tertuju pada buah cinta kami

yang tengah tertawa riang sambil

meluncur.

..

Hening, tak ada jawaban yang

keluar dari mulutnya.

Kuhela napas pelan, berusaha

melonggarkan sesak saat

membayangkan perpisahan yang kian

mengganjal di dadaku.

Tidak ada manusia di dunia ini

yang bahagia saat akan berpisah

dengan orang yang dia cintai,

imbuhnya.

Sontak membuatku menoleh

padanya. Kalau begitu, kita jangan

bercerai saja. Kita hadapi masalah ini

bersama, kita akan perjuangkan

pernikahan kita.

Namun, belum sempat mas

Arman menjawab, Sila berlari ke arah

kami dan mengajak bermain tutup

mata. Mau tak mau aku dan mas

Arman mengikuti keinginannya.

Sila mendapat giliran pertama

yang harus tutup mata. Aku dan mas

Arman berjalan pelan di sekitarnya

tanpa mengeluarkan suara.

Abi, Umi di mana? ucapnya

sambil berjalan dengan kedua

lengannya di gerak-gerakkan ke depan

berusaha meraih sesuatu.

Aku terkikik pelan melihatnya.

Tiba-tiba terlintas sebuah ide konyol di

kepalaku. Kudorong mas Arman ke

hadapan Sila dan ia tertangkap oleh

putriku.

..

Ya… Abi kena, deh! seru mas

Arman dengan mimik muka sedih

yang di buat-buat.

Sekarang Abi yang jaga, ayo Sila

sini sama Umi, ucapku, lantas meraih

tangan putriku menjauh dari mas

Arman yang tengah menutup kedua

matanya dengan kain panjang kecil.

Sila, Umi, di mana kalian?

Aku dan Sila terus menghindar

dari jangkauannya tanpa bersuara.

Tiba-tiba putriku melepaskan

tangannya dari genggamanku.

Abi, Sila di belakang Abi!

teriaknya. Membuat mas Arman

lantas berbalik menghadapku.

– Kemudian tanpa kuduga Sila

mendorong tubuh Abi nya dari

belakang. Otomatis tubuh tegap

suamiku menubrukku yang tak

sempat menghindar.

…

Kedua tangannya membelit

pinggngku dan kedua lenganku

bertumpu di depan dda bidangnya.

Aku mendongak menatapnya yang

masih menggunakan penutup mata. 1

Kemudian dengan cepat mas

Arman membuka tutup mata, lantas

kami pun saling bertatapan,

menyelami perasaan satu sama lain.

Entah apa yang membuatnya

bergerak memajukan wajahnya

semakin dekat ke wajahku dan degup

jantungku mulai tak beraturan. Lantas

aku memejamkan kedua mata dan

bersiap menantikan sentuhannya.

…

Abi, Umi! Udah dong

pelukannya! sergah Sila tiba-tiba.

Cepat aku membuka mata dan

menemukan wajah mas Arman yang

sama kagetnya sepertiku.

Dengan tergesa kami pun

melepaskan diri masing-masing,

seperti dua remaja yang terciduk

warga tengah melakukan perbuatan

tak senonoh.

Baiklah, sekarang Umi yang jaga,

kata mas Arman biasa-biasa saja,

seolah tadi tak terjadi apa-apa.

Berbeda denganku yang begitu gugup

dan malu.

Ah, iya, Umi yang jaga, timpalku

tersenyum canggung saat bertatapan

kembali dengannya. Semoga saja ia

tak menyadari wajahku yang

sepertinya bersemu merah.

Kebersamaan bersama seharian

ini telah usai, bersamaan dengan

berhentinya motor yang di kendarai

kami di depan rumah orang tua mas

Arman.

…

Aku turun dari boncengan sambil

menggendong Sila yang tengah

terlelap. Berjalan menuju rumah yang

dulu pernah kutempati.

Meletakkan Sila di kamar tempat

dulu kami tidur bersama. Kuusap

kepalanya lembut dan mencium

keningnya, seketika rasa sedih

menerjang batinku. Perpisahan yang

tak pernah aku harapkan akhirnya

akan segera terjadi. Hatiku berdenyut

nyeri saat membayangkan harus jauh

dari putriku, dan mengubur cinta yang

masih utuh untuk mas Arman.

Segera aku melepas kecpan, dan

dengan cepat berjalan keluar sambil

menahan lsak yang bisa saja pecah di

kamar ini.

Namun, langkahku terhenti di

depan teras, menatap punggung tegap

suamiku di sana.

Mas, jangan lupa besok kita

bertemu di pengadilan.

Usai mengatakan itu tanpa

menunggu reaksinya, aku segera

melangkah pergi dan tak menoleh

sama sekali padanya.

Setelah menaiki taksi Online yang

aku pesan baru kemudian terisak di

sana.

….

Maaf Mbak, ini? Siapa tahu Anda

membutuhkannya,’ ucap sopir taksi

menyodorkan tisu.

Kuraih tisu itu dan mengelap air

mataku yang harus aku paksa

beshenti, karena malu di perhatikan

pria yang tengah fokus menyetir.

Keesokan harinya aku terbangun

dengan mata sembab, semalaman

menangis benar-benar membuat

penampilanku menyeramkan saat

bangun di pagi hari.

Melangkah gontai masuk ke

kamar mandi. Usai membersihkan diri

aku lantas turun ke bawah untuk

menyusul mama sarapan.

Pagi, Ma? sapaku, lantas

menarik kursi di hadapannya dan

mendaratkan bokongku di sana.

Kamu sakit? tanyanya, saat

menatap wajahku yang kusut.

…

Aku menggeleng sambil

menggigit roti bakar kesukaanku.

Usai menghabiskan sepotong roti

dan segelas susu, kami lantas

beranjak keluar menaiki mobil menuju

pengadilan agama.

Dalam perjalanan aku hanya

terdiam menatap pemandangan luar

dari jendela. Aku tersenyum saat di

tengah kemacetan menatap pasangan

suami istri yang tengah menaiki motor

bersama kedua anaknya, satu di

tengah dan satu lagi di gendong

karena masih balita.

Sekilas aku teringat pada buah

hatiku yang telah tiada sebelum

menatap dunia, sakit kehilangan yang

begitu merobek hatiku, dan hari ini aku

juga akan kehilangan suamiku.

Hati kecilku ingin sekali berteriak,

jika aku tak mau kehilangan orang

yang aku sayangi lagi, cukup kedua

orang tua kandungku dan jannku saja.

Namun, apalah dayaku, di balik

keinginanku ada hati lain yang

menderita dan aku tak bisa egois.

Tanpa terasa bulir bening lolos

dari mataku, rasa sesak semakin

mengimpit kala mobil yang

kutumpangi sudah sampai di

pelataran sebuah bangunan

bertuliskan pengadilan agama.

Tangan mama menyentuh pundakku

lembut, sebagai tanda memberitahu

untuk segera turun. Kuhapus jejak air

mata di ppi dan membuka pintu.

…

Saat turun dari mobil langkahku

terhenti ketika mataku menemukan

sosok mas Arman tengah berjalan

menggandeng seorang wanita yang

sangat kukenal.

Mbak Sari? ucapku membuat

keduanya menoleh.

Mbak Sari menatapku nanar dan

dengan cepat ia menghambur dalam

pelukanku. Terdengar isak tangis dari

bibirnya sambil mengatakan

permintaan maaf dan ucapan terima

kasih. Aku pun ikut menangis dalam

pelukannya. Dalamn hati aku berharap

ada keajaiban dari sang Khaliq agar

tak jadi bercrai.

Usai berplukan dengan mbak

Sari, lantas aku menatap wajah

suamiku yang juga terlihat

menyedihkan sepertiku. Mangkinkah

ia semalam juga tak bisa tidur

sepertiku.

….

Mas, sebelum kita resmi

berpisah, izinkan aku memelukmu

untuk yang terakhir kalinya, pintaku.

Mas Arman masih menatapku,

lantas tanpa kuduga dengan cepat

tangannya menarikku dalam

pelukannya. Aku pun membalas

pelukannya erat, sembari terisak. Aku

berharap ini hanya mimpi, ketika

terbangun mas Arman dan Sila berada

di sisiku untuk selamanya.

Namun, saat mas Arman dengan

cepat melepaskan pelukannya dariku

menyadarkanku jika ini bukan mimpi.

Mas Arman berbalik

memunggungiku, lantas ia melangkah

masuk. Akan tetapi langkahnya

terhenti setelah suara mama

memanggilnya.

Pria yang mengenakan kemeja

biru langit itu pun berbalik. Mama

bergerak menghampirinya lantas

menampar wajah mas Arman

 

Aku terbelalak kaget melihat apa

yang mama lakukan barusan pada

mas Arnman yang sama kagetnya

denganku. Ayah dari putriku itu

memegangi pipinya bekas tamparan

mama yang cukup keras.

Ma_ mama mengangkat

tangannya ke hadapanku, agar aku

tidak bicara apa-apa.

Hai, kau, apa kau benar-benar

mencintai putriku? tanya mama

tajam. Jika kubatalkan pengajuan

perceraian kalian, apa … Kau bisa

membahagiakan putriku? Dan tak lagi

memberinya penderitaan? Lanjutnya.

Mas Arman terdiam, ia terlihat

bingung dengan apa yang mama

katakan barusan.

Jawab, kenapa diam! Jadi, benar

kau tak sanggup membahagiakan

putriku? cecar mamah. Membuat

mas Arman lantas bersuara.

Mungkin, untuk saat ini saya

belum bisa membahagiakan putri

Anda dengan kehidupan yang nyaman

dan berlimpah harta, tapi saya janji

akan selalu berusaha

membahagiakannya, jawab mas

Arman yakin.

…..

Kau yakin? tanya mama, yang

diangguki oleh mas Arman.

Jika seperti itu, kembalilah hidup

bersama putriku, bahagiakan dia

selamanya, ucap mama, lantas

menunduk dan terisak.

Maksud Anda … kami? tanya

mas Arman memastikan.

Mama mengangguk

membenarkan keseriusan mengenai

apa yang barusan ia katakan.

Mas Arman tersenyum haru,

begitu pun aku yang tak percaya

dengan perkataan mama, ikut

menangis haru. Benarkah ini, sungguh

keajaiban dari Allah. Jika la sudah

berkehendak maka apa pun akan

terjadi.

Allah maha membolak-balikkan

hati manusia, hati mama yang keras

karena menginginkan aku bercerai

akhirnya dapat melunak.

‘Alhamdulillah, terima kasih ya

Allah’ gumamku disertai tangis haru.

Aku bergerak menghampiri mama

lantas memeluknya. Terima kasih,

M, aku sayang Mama.

Maafkan Mama, tidak bisa

menjadi ibu yang baik.

Enggak, Mama adalah ibu yang

terbaik bagiku.

Sana, kembali pada suamimu.

Mama mengurai pelukannya.

Aku mengangguk dan berbalik

menghampiri mas Arman. Matanya

menampakkan binar kebahagiaan

yang begitu dalam.

….

Mas Arman menarikku dan

membawaku ke dalam pelukannya.

Sungguh aku bahagia bisa

memeluknya kembali untuk

selamanya. Semoga setelah ini, kami

akan terus bersama sampai ajal

menjeput.

Setelah adegan penuh haru di

depan pengadilan tadi yang

mengundang banyak perhatian dari

petugas dan orang-orang di sana,

kami pun menuju kediaman mertuaku,

sekalian menjemput Sila. Sebelumnya

mama mengajukan sebuah

permintaan pada mas Arman. Beliau

meminta agar mas Arman

membawaku dan Sila tinggal di

rumahnya. Pria yang dagunya mulai

ditumbuhi bulu-bulu halus itu pun

menyanggupi permintaan dari sang

mertua.

Syukurlah, suamiku tak berkeras

hati untuk hal itu. Biasanya ia akan

menolak bantuan dari siapa pun.

Prinsipnya ia tak ingin bergantung

pada keluarga atau pun orang lain.

Bukan hanya itu mama juga

memberikan semua tanggung jawab

perusahaan pada mas Arman.

Suamiku itu sempat menolak karena

merasa tak mampu, apalagi latar

belakang pendidikannya hanya strata

satu pendidikan bukan bisnis.

Lantas selain sama kamu, Mama

percayakan pada siapa lagi.

Baiklah, jika kamu tak mau,

Mama akan serahkan tanggung jawab

itu pada Danu saja, ucap Mama

kembali.

Seketika wajah mas Arman

berubah tegang, mendengar nama

kakak iparnya itu di sebut.

Baiklah, Arman sanggup Ma!

sergahnya tiba-tiba, membuat wanita

tua di sampingnya menoleh tak

percaya.

…..

Serius, kamu siap? tanya mama

kembali menegaskan.

Mas Arman mengangguk

mengiyakan perkataannya.

Bagus! Itu baru menantu Mama.

Mama tersenyum bangga, sembari

tangannya menepuk pundak mas

Arman.

Tiga tahun kemudian.

Nasib seseorang siapa yang tahu,

jika tuhan sudah berkehendak maka

apa pun akan terjadi. Seperti halnya

saat ini aku benar-benar tak

menyangka dalam waktu tiga tahun

setengah mas Arnman sudah bisa

menyelesaikan S1 bisnisnya. Aku

benar-benar kagum dengan

kecerdasan dan keuletan yang ia

miliki. Di kantor. pun ia cepat sekali

belajar mengenai seluk beluk

perusahaan.

….

Aku kagum sama kamu, Mas.

Kamu cepat sekali belajar, tahu gitu

kenapa enggak dari dulu aku kenalin

kamu sama Mama, candaku.

Kamu baru sadar, jika suamimu

ini bisa lebih baik dari pria sombong

itu! timpalnya, membuatku

mengerutkan kening bingung.

Pria sombong? Danu

maksudnya? tanyaku.

Tentu siapa lagi pria di kantor

yang berani terus menatapmu dengan

tatapan memuja! Sungutnya.

Membuatku mengerti jika suamiku ini

mulai cemburu.

Cieee, ada yang cemburu,

godaku.

Enggak, siapa yang cemburu.

Aku hanya tidak suka saja, saat dia

memperhatikanmu, padahal di

sampingnya ada Mbak Salma. Mas

Arman menglus prutku yang mulai

membesar. Aku tersenyum

mengetahui jika suamiku ini cemburu.

Dulu ketika acara makan malam

keluarga, mama mengundang Danu

dan mbak Salma, sekalian

memberitahu kakak iparku itu jika mas

Arman akan menjadi direktur utama

perusahaan.

Saat di dapur sendirian Danu

menghampiriku dan menanyakan

kabar. Namun, suara deheman mas

Arman membuatnya menyingkir dari

hadapanku.

….

Saat berpapasan terlihat

keduanya saling menatap tajam.

Berhenti mendekati istriku, tekan

mas Arman. Sambil menunjuk dada

Danu dengan telunjuknya.

Dengan kasar pria dengan kemeja

putih garis-garis hitam itu

menyingkirkan telunjuk mas Arman.

Lantas keduanya bersiap untuk saling

melayangkan bogemnya

masing-masing, kalau saja mama tak

berteriak menghentikan mereka

mungkin saat itu salah satu di antara

mereka harus masuk rumah sakit,

atau mungkin keduanya.

Saat itu pula mama memberikan

nasihat panjang lebar pada keduanya.

Supaya bersikap profesional saat

memimpin perusahaan nanti, jangan

bawa-bawa masalah pribadi.

keduanya hanya mengangguk

mengerti.

Ah, iya. Mengenai

kesalahpahaman mbak Salma waktu

itu, aku sudah menjelaskannya jika

aku tak ada hubungan apa pun

dengan suaminya, begitu pun aku tak

pernah menyimpan perasaan pada

Danu.

…..

la pun mengerti dan percaya

dengan apa yang aku jelaskan.

Walaupun aku tak yakin melihat

wajahnya yang terlihat murung saat

mengetahui suaminya masih

menyimpan perasaan terhadapku.

Semoga saja hubungan mereka

baik-baik saja.

Mas sudah tak sabar menanti

Arman junior lahir, ucap pria yang

masih betah mengelus dan mengecup

perutku.

Sabar, baru juga lima bulan,

kekehku.

‘Sehat-sehat ya, Nak. Kembali ia

mendaratkan kecupan pada perutku,

lantas ke keningku yang ditumbuhi

rambut halus.

Ayok, kita bobok, Abi udah

enggak sabar pengen nengokin Arman

junior, ucapnya, membuatku

mendaratkan cubitan di pinggangnya.

Mas Arman mengaduh kesakitan.

kan udah lima bulan boleh

dong? godanya sambil mengedipkan

sebelah matanya nakal.

Membuatku kembali ingin

mencubitnya. Namun, tangannya

dengan cepat menarikku dalam

pelukannya.

….

Aku sangat bahagia, katanya

masih memeluk erat tubuhku.

Jadi, bagaimana? Boleh ‘kan?

Aku mengangguk mengiyakan.

Namun, tiba-tiba suara pintu digedor

dari luar, beriringan dengan teriakan

bocah kecil.

Mas Arman bergegas

membukanya, lantas bocah laki-laki

berusia tiga tahun itu pun lari

menghampiriku setelah pintu terbuka.

Lantas ia menaiki kasur di mana aku

tengah berada.

Malik mau bobok sama umi,

ucapnya polos.

Lantas ia merebahkan diri di

sampingku sambil memeluk bantal

kartun mobil yang dibawanya.

Malik, boboknya sama nenek

aja, ucap mas Arman.

….

Enggak! Malik mau bobok sama

Umi, jawab Malik telak. Membuatku

tertawa geli melihat mas Arman mulai

frustrasi dengan anaknya.

Sudahlah, Mas, biarkan Malik

tidur sama kita dulu malam ini,

iimbuhku

Mas Arman mendesah kasar dan

berucap.

Puasa lagi malam ini, katanya

lantas naik ke atas ranjang

menyusulku dan Malik.

.

Note L..i..k..e..mu penyemangat Mimin


Related: Explore more posts

Kisah Menarik Tags:Cerita Basah, Cerita Dewasa, Cerita Panas, Cerita Seru, Kisah Basah, Kisah Seru

Post navigation

Previous Post: TERDIAM DALAM TAKDIR (PART36)
Next Post: TERDIAM DALAM TAKDIR (PART34)

Related Posts

JANGAN OM (PART60) Kisah Menarik
TETANGGA MENGGODA (PART24) Kisah Menarik
ADIK IPAR PELIPUR LARA (PART14) Kisah Menarik
*** FREDDY S. *** WOW……… Kisah Menarik
JANGAN OM (PART75) Kisah Menarik
Nostalgia di Kamar Mandi Kisah Menarik

Recent Posts

  • Judul : Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Judul: Rahasia di Balik Ruang Meeting
  • Judul: “Rahasia di Balik Ruang Meeting”
  • ***ENNY ARROW ***

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • June 2025

Categories

  • Kisah Menarik

Copyright © 2025 LahanBasah.

Powered by PressBook Grid Dark theme