TERDIAM DALAM TAKDIR (PART35)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART35
…CERITADEWASA…
.
.
.
Seharian ini kami habiskan
dengan mengajak Sila ke taman
bermain yang dulu sering kami
kunjungi sepekan sekali tepatnya saat
hari libur.
Aku menghampiri mas Arman
yang tengah beristirahat di bangku
taman, lalu menyodorkan sebotol air
mineral di hadapannya.
..
Terima kasih, ucapnya.
Aku tersenyum dan duduk di
sampingnya.
Sila terlihat begitu bahagia.
netraku menatap lurus pada putri kami
yang tengah asyik bermain perosotan
bersama anak pengunjung lainnya.
Putriku Sila adalah anak yang
sangat lincah dan aktif, kata mama
sangat mirip denganku waktu kecil
dulu.
Apa … Hari ini kau juga bahagia?
Dari ekor mata, aku bisa melihat
mas Arman menatapku sekilas, lantas
ia kembali mengikuti arah pandangku
yang tertuju pada buah cinta kami
yang tengah tertawa riang sambil
meluncur.
..
Hening, tak ada jawaban yang
keluar dari mulutnya.
Kuhela napas pelan, berusaha
melonggarkan sesak saat
membayangkan perpisahan yang kian
mengganjal di dadaku.
Tidak ada manusia di dunia ini
yang bahagia saat akan berpisah
dengan orang yang dia cintai,
imbuhnya.
Sontak membuatku menoleh
padanya. Kalau begitu, kita jangan
bercerai saja. Kita hadapi masalah ini
bersama, kita akan perjuangkan
pernikahan kita.
Namun, belum sempat mas
Arman menjawab, Sila berlari ke arah
kami dan mengajak bermain tutup
mata. Mau tak mau aku dan mas
Arman mengikuti keinginannya.
Sila mendapat giliran pertama
yang harus tutup mata. Aku dan mas
Arman berjalan pelan di sekitarnya
tanpa mengeluarkan suara.
Abi, Umi di mana? ucapnya
sambil berjalan dengan kedua
lengannya di gerak-gerakkan ke depan
berusaha meraih sesuatu.
Aku terkikik pelan melihatnya.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide konyol di
kepalaku. Kudorong mas Arman ke
hadapan Sila dan ia tertangkap oleh
putriku.
..
Ya… Abi kena, deh! seru mas
Arman dengan mimik muka sedih
yang di buat-buat.
Sekarang Abi yang jaga, ayo Sila
sini sama Umi, ucapku, lantas meraih
tangan putriku menjauh dari mas
Arman yang tengah menutup kedua
matanya dengan kain panjang kecil.
Sila, Umi, di mana kalian?
Aku dan Sila terus menghindar
dari jangkauannya tanpa bersuara.
Tiba-tiba putriku melepaskan
tangannya dari genggamanku.
Abi, Sila di belakang Abi!
teriaknya. Membuat mas Arman
lantas berbalik menghadapku.
– Kemudian tanpa kuduga Sila
mendorong tubuh Abi nya dari
belakang. Otomatis tubuh tegap
suamiku menubrukku yang tak
sempat menghindar.
…
Kedua tangannya membelit
pinggngku dan kedua lenganku
bertumpu di depan dda bidangnya.
Aku mendongak menatapnya yang
masih menggunakan penutup mata. 1
Kemudian dengan cepat mas
Arman membuka tutup mata, lantas
kami pun saling bertatapan,
menyelami perasaan satu sama lain.
Entah apa yang membuatnya
bergerak memajukan wajahnya
semakin dekat ke wajahku dan degup
jantungku mulai tak beraturan. Lantas
aku memejamkan kedua mata dan
bersiap menantikan sentuhannya.
…
Abi, Umi! Udah dong
pelukannya! sergah Sila tiba-tiba.
Cepat aku membuka mata dan
menemukan wajah mas Arman yang
sama kagetnya sepertiku.
Dengan tergesa kami pun
melepaskan diri masing-masing,
seperti dua remaja yang terciduk
warga tengah melakukan perbuatan
tak senonoh.
Baiklah, sekarang Umi yang jaga,
kata mas Arman biasa-biasa saja,
seolah tadi tak terjadi apa-apa.
Berbeda denganku yang begitu gugup
dan malu.
Ah, iya, Umi yang jaga, timpalku
tersenyum canggung saat bertatapan
kembali dengannya. Semoga saja ia
tak menyadari wajahku yang
sepertinya bersemu merah.
Kebersamaan bersama seharian
ini telah usai, bersamaan dengan
berhentinya motor yang di kendarai
kami di depan rumah orang tua mas
Arman.
…
Aku turun dari boncengan sambil
menggendong Sila yang tengah
terlelap. Berjalan menuju rumah yang
dulu pernah kutempati.
Meletakkan Sila di kamar tempat
dulu kami tidur bersama. Kuusap
kepalanya lembut dan mencium
keningnya, seketika rasa sedih
menerjang batinku. Perpisahan yang
tak pernah aku harapkan akhirnya
akan segera terjadi. Hatiku berdenyut
nyeri saat membayangkan harus jauh
dari putriku, dan mengubur cinta yang
masih utuh untuk mas Arman.
Segera aku melepas kecpan, dan
dengan cepat berjalan keluar sambil
menahan lsak yang bisa saja pecah di
kamar ini.
Namun, langkahku terhenti di
depan teras, menatap punggung tegap
suamiku di sana.
Mas, jangan lupa besok kita
bertemu di pengadilan.
Usai mengatakan itu tanpa
menunggu reaksinya, aku segera
melangkah pergi dan tak menoleh
sama sekali padanya.
Setelah menaiki taksi Online yang
aku pesan baru kemudian terisak di
sana.
….
Maaf Mbak, ini? Siapa tahu Anda
membutuhkannya,’ ucap sopir taksi
menyodorkan tisu.
Kuraih tisu itu dan mengelap air
mataku yang harus aku paksa
beshenti, karena malu di perhatikan
pria yang tengah fokus menyetir.
Keesokan harinya aku terbangun
dengan mata sembab, semalaman
menangis benar-benar membuat
penampilanku menyeramkan saat
bangun di pagi hari.
Melangkah gontai masuk ke
kamar mandi. Usai membersihkan diri
aku lantas turun ke bawah untuk
menyusul mama sarapan.
Pagi, Ma? sapaku, lantas
menarik kursi di hadapannya dan
mendaratkan bokongku di sana.
Kamu sakit? tanyanya, saat
menatap wajahku yang kusut.
…
Aku menggeleng sambil
menggigit roti bakar kesukaanku.
Usai menghabiskan sepotong roti
dan segelas susu, kami lantas
beranjak keluar menaiki mobil menuju
pengadilan agama.
Dalam perjalanan aku hanya
terdiam menatap pemandangan luar
dari jendela. Aku tersenyum saat di
tengah kemacetan menatap pasangan
suami istri yang tengah menaiki motor
bersama kedua anaknya, satu di
tengah dan satu lagi di gendong
karena masih balita.
Sekilas aku teringat pada buah
hatiku yang telah tiada sebelum
menatap dunia, sakit kehilangan yang
begitu merobek hatiku, dan hari ini aku
juga akan kehilangan suamiku.
Hati kecilku ingin sekali berteriak,
jika aku tak mau kehilangan orang
yang aku sayangi lagi, cukup kedua
orang tua kandungku dan jannku saja.
Namun, apalah dayaku, di balik
keinginanku ada hati lain yang
menderita dan aku tak bisa egois.
Tanpa terasa bulir bening lolos
dari mataku, rasa sesak semakin
mengimpit kala mobil yang
kutumpangi sudah sampai di
pelataran sebuah bangunan
bertuliskan pengadilan agama.
Tangan mama menyentuh pundakku
lembut, sebagai tanda memberitahu
untuk segera turun. Kuhapus jejak air
mata di ppi dan membuka pintu.
…
Saat turun dari mobil langkahku
terhenti ketika mataku menemukan
sosok mas Arman tengah berjalan
menggandeng seorang wanita yang
sangat kukenal.
Mbak Sari? ucapku membuat
keduanya menoleh.
Mbak Sari menatapku nanar dan
dengan cepat ia menghambur dalam
pelukanku. Terdengar isak tangis dari
bibirnya sambil mengatakan
permintaan maaf dan ucapan terima
kasih. Aku pun ikut menangis dalam
pelukannya. Dalamn hati aku berharap
ada keajaiban dari sang Khaliq agar
tak jadi bercrai.
Usai berplukan dengan mbak
Sari, lantas aku menatap wajah
suamiku yang juga terlihat
menyedihkan sepertiku. Mangkinkah
ia semalam juga tak bisa tidur
sepertiku.
….
Mas, sebelum kita resmi
berpisah, izinkan aku memelukmu
untuk yang terakhir kalinya, pintaku.
Mas Arman masih menatapku,
lantas tanpa kuduga dengan cepat
tangannya menarikku dalam
pelukannya. Aku pun membalas
pelukannya erat, sembari terisak. Aku
berharap ini hanya mimpi, ketika
terbangun mas Arman dan Sila berada
di sisiku untuk selamanya.
Namun, saat mas Arman dengan
cepat melepaskan pelukannya dariku
menyadarkanku jika ini bukan mimpi.
Mas Arman berbalik
memunggungiku, lantas ia melangkah
masuk. Akan tetapi langkahnya
terhenti setelah suara mama
memanggilnya.
Pria yang mengenakan kemeja
biru langit itu pun berbalik. Mama
bergerak menghampirinya lantas
menampar wajah mas Arman
Aku terbelalak kaget melihat apa
yang mama lakukan barusan pada
mas Arnman yang sama kagetnya
denganku. Ayah dari putriku itu
memegangi pipinya bekas tamparan
mama yang cukup keras.
Ma_ mama mengangkat
tangannya ke hadapanku, agar aku
tidak bicara apa-apa.
Hai, kau, apa kau benar-benar
mencintai putriku? tanya mama
tajam. Jika kubatalkan pengajuan
perceraian kalian, apa … Kau bisa
membahagiakan putriku? Dan tak lagi
memberinya penderitaan? Lanjutnya.
Mas Arman terdiam, ia terlihat
bingung dengan apa yang mama
katakan barusan.
Jawab, kenapa diam! Jadi, benar
kau tak sanggup membahagiakan
putriku? cecar mamah. Membuat
mas Arman lantas bersuara.
Mungkin, untuk saat ini saya
belum bisa membahagiakan putri
Anda dengan kehidupan yang nyaman
dan berlimpah harta, tapi saya janji
akan selalu berusaha
membahagiakannya, jawab mas
Arman yakin.
…..
Kau yakin? tanya mama, yang
diangguki oleh mas Arman.
Jika seperti itu, kembalilah hidup
bersama putriku, bahagiakan dia
selamanya, ucap mama, lantas
menunduk dan terisak.
Maksud Anda … kami? tanya
mas Arman memastikan.
Mama mengangguk
membenarkan keseriusan mengenai
apa yang barusan ia katakan.
Mas Arman tersenyum haru,
begitu pun aku yang tak percaya
dengan perkataan mama, ikut
menangis haru. Benarkah ini, sungguh
keajaiban dari Allah. Jika la sudah
berkehendak maka apa pun akan
terjadi.
Allah maha membolak-balikkan
hati manusia, hati mama yang keras
karena menginginkan aku bercerai
akhirnya dapat melunak.
‘Alhamdulillah, terima kasih ya
Allah’ gumamku disertai tangis haru.
Aku bergerak menghampiri mama
lantas memeluknya. Terima kasih,
M, aku sayang Mama.
Maafkan Mama, tidak bisa
menjadi ibu yang baik.
Enggak, Mama adalah ibu yang
terbaik bagiku.
Sana, kembali pada suamimu.
Mama mengurai pelukannya.
Aku mengangguk dan berbalik
menghampiri mas Arman. Matanya
menampakkan binar kebahagiaan
yang begitu dalam.
….
Mas Arman menarikku dan
membawaku ke dalam pelukannya.
Sungguh aku bahagia bisa
memeluknya kembali untuk
selamanya. Semoga setelah ini, kami
akan terus bersama sampai ajal
menjeput.
Setelah adegan penuh haru di
depan pengadilan tadi yang
mengundang banyak perhatian dari
petugas dan orang-orang di sana,
kami pun menuju kediaman mertuaku,
sekalian menjemput Sila. Sebelumnya
mama mengajukan sebuah
permintaan pada mas Arman. Beliau
meminta agar mas Arman
membawaku dan Sila tinggal di
rumahnya. Pria yang dagunya mulai
ditumbuhi bulu-bulu halus itu pun
menyanggupi permintaan dari sang
mertua.
Syukurlah, suamiku tak berkeras
hati untuk hal itu. Biasanya ia akan
menolak bantuan dari siapa pun.
Prinsipnya ia tak ingin bergantung
pada keluarga atau pun orang lain.
Bukan hanya itu mama juga
memberikan semua tanggung jawab
perusahaan pada mas Arman.
Suamiku itu sempat menolak karena
merasa tak mampu, apalagi latar
belakang pendidikannya hanya strata
satu pendidikan bukan bisnis.
Lantas selain sama kamu, Mama
percayakan pada siapa lagi.
Baiklah, jika kamu tak mau,
Mama akan serahkan tanggung jawab
itu pada Danu saja, ucap Mama
kembali.
Seketika wajah mas Arman
berubah tegang, mendengar nama
kakak iparnya itu di sebut.
Baiklah, Arman sanggup Ma!
sergahnya tiba-tiba, membuat wanita
tua di sampingnya menoleh tak
percaya.
…..
Serius, kamu siap? tanya mama
kembali menegaskan.
Mas Arman mengangguk
mengiyakan perkataannya.
Bagus! Itu baru menantu Mama.
Mama tersenyum bangga, sembari
tangannya menepuk pundak mas
Arman.
Tiga tahun kemudian.
Nasib seseorang siapa yang tahu,
jika tuhan sudah berkehendak maka
apa pun akan terjadi. Seperti halnya
saat ini aku benar-benar tak
menyangka dalam waktu tiga tahun
setengah mas Arnman sudah bisa
menyelesaikan S1 bisnisnya. Aku
benar-benar kagum dengan
kecerdasan dan keuletan yang ia
miliki. Di kantor. pun ia cepat sekali
belajar mengenai seluk beluk
perusahaan.
….
Aku kagum sama kamu, Mas.
Kamu cepat sekali belajar, tahu gitu
kenapa enggak dari dulu aku kenalin
kamu sama Mama, candaku.
Kamu baru sadar, jika suamimu
ini bisa lebih baik dari pria sombong
itu! timpalnya, membuatku
mengerutkan kening bingung.
Pria sombong? Danu
maksudnya? tanyaku.
Tentu siapa lagi pria di kantor
yang berani terus menatapmu dengan
tatapan memuja! Sungutnya.
Membuatku mengerti jika suamiku ini
mulai cemburu.
Cieee, ada yang cemburu,
godaku.
Enggak, siapa yang cemburu.
Aku hanya tidak suka saja, saat dia
memperhatikanmu, padahal di
sampingnya ada Mbak Salma. Mas
Arman menglus prutku yang mulai
membesar. Aku tersenyum
mengetahui jika suamiku ini cemburu.
Dulu ketika acara makan malam
keluarga, mama mengundang Danu
dan mbak Salma, sekalian
memberitahu kakak iparku itu jika mas
Arman akan menjadi direktur utama
perusahaan.
Saat di dapur sendirian Danu
menghampiriku dan menanyakan
kabar. Namun, suara deheman mas
Arman membuatnya menyingkir dari
hadapanku.
….
Saat berpapasan terlihat
keduanya saling menatap tajam.
Berhenti mendekati istriku, tekan
mas Arman. Sambil menunjuk dada
Danu dengan telunjuknya.
Dengan kasar pria dengan kemeja
putih garis-garis hitam itu
menyingkirkan telunjuk mas Arman.
Lantas keduanya bersiap untuk saling
melayangkan bogemnya
masing-masing, kalau saja mama tak
berteriak menghentikan mereka
mungkin saat itu salah satu di antara
mereka harus masuk rumah sakit,
atau mungkin keduanya.
Saat itu pula mama memberikan
nasihat panjang lebar pada keduanya.
Supaya bersikap profesional saat
memimpin perusahaan nanti, jangan
bawa-bawa masalah pribadi.
keduanya hanya mengangguk
mengerti.
Ah, iya. Mengenai
kesalahpahaman mbak Salma waktu
itu, aku sudah menjelaskannya jika
aku tak ada hubungan apa pun
dengan suaminya, begitu pun aku tak
pernah menyimpan perasaan pada
Danu.
…..
la pun mengerti dan percaya
dengan apa yang aku jelaskan.
Walaupun aku tak yakin melihat
wajahnya yang terlihat murung saat
mengetahui suaminya masih
menyimpan perasaan terhadapku.
Semoga saja hubungan mereka
baik-baik saja.
Mas sudah tak sabar menanti
Arman junior lahir, ucap pria yang
masih betah mengelus dan mengecup
perutku.
Sabar, baru juga lima bulan,
kekehku.
‘Sehat-sehat ya, Nak. Kembali ia
mendaratkan kecupan pada perutku,
lantas ke keningku yang ditumbuhi
rambut halus.
Ayok, kita bobok, Abi udah
enggak sabar pengen nengokin Arman
junior, ucapnya, membuatku
mendaratkan cubitan di pinggangnya.
Mas Arman mengaduh kesakitan.
kan udah lima bulan boleh
dong? godanya sambil mengedipkan
sebelah matanya nakal.
Membuatku kembali ingin
mencubitnya. Namun, tangannya
dengan cepat menarikku dalam
pelukannya.
….
Aku sangat bahagia, katanya
masih memeluk erat tubuhku.
Jadi, bagaimana? Boleh ‘kan?
Aku mengangguk mengiyakan.
Namun, tiba-tiba suara pintu digedor
dari luar, beriringan dengan teriakan
bocah kecil.
Mas Arman bergegas
membukanya, lantas bocah laki-laki
berusia tiga tahun itu pun lari
menghampiriku setelah pintu terbuka.
Lantas ia menaiki kasur di mana aku
tengah berada.
Malik mau bobok sama umi,
ucapnya polos.
Lantas ia merebahkan diri di
sampingku sambil memeluk bantal
kartun mobil yang dibawanya.
Malik, boboknya sama nenek
aja, ucap mas Arman.
….
Enggak! Malik mau bobok sama
Umi, jawab Malik telak. Membuatku
tertawa geli melihat mas Arman mulai
frustrasi dengan anaknya.
Sudahlah, Mas, biarkan Malik
tidur sama kita dulu malam ini,
iimbuhku
Mas Arman mendesah kasar dan
berucap.
Puasa lagi malam ini, katanya
lantas naik ke atas ranjang
menyusulku dan Malik.
.
Note L..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts