TERDIAM DALAM TAKDIR (PART26)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART26
…CERITADEWASA…
.
.
.
Suara isakan seseorang
mengusik pendengaranku. Kubuka
mata lantas menoleh pada sumber
suara. Aku terkejut melihat punggung
bergetar mas Arman di sampingku.
Apa yang membuatnya
menangis? Apakah telah terjadi
sesuatu terhadapku? Aku masih
bergeming tak berniat menegurnya
yang masih terisak. Biarlah ia
menumpahkan air matanya hingga
tenang.
Usai menangis mas Arman
mengangkat kepalanya dan terkejut
saat mata kami bertemu. Dengan
cepat ia mengalihkan wajahnya
mencoba menyembunyikan mata
basahnya.
.
.
.
Kemudian ia menoleh kembali
setelah mengelap jejak-jejak air mata
setelah mengelap jejak-jejak air mata
yang masih kentara di pipinya.
Kamu sudah bangun? tanyanya
dengan senyum yang dipaksakan.
Aku balas tersenyum kemudian
bangun dan menyandarkan
punggungku sandaran tempat tdur.
Kuangkat tangan ini mengusap
sisa air mata yang masih menempel di
pipinya.
Jangan sembunyikan
kesedihanmu sendiri, Mas, kataku.
Disini ada aku yang siap
mendengarkan semua keluh
kesahmu.
la meraih tangan ini lalu
dikecpnya lembut.
Terima kasih, sudah setia berada
di sampingku, ucap mas Arman.
Aku mengangguk tersenyum.
Sudah seharusnya sebagai seorang
istri aku akan selalu berada di
sampingmu, dalam keadaan suka
maupun duka.
Ada rasa perih menyayat hati saa
menatap wajah suamiku yang
dipenuhi gurat kesedihan. Apakah
gerangan yang membuatnya sampai
seperti ini.
.
.
.
Kemudian tangan satunya yang
bebas menglus prut rataku.
Netranya menatap ke arahku, lantas
tersenyum.
Arman junior, ucapnya
membuatku tak percaya dengan apa
yang ia katakan barusan. Apa ini yang
membuatnya menangis.
Aku hmil? tanyaku, ia hanya
menjawab dengan anggukan.
Alhamdulillah. Aku lantas
menghambur dalam pelkannya.
.
.
.
Seminggu kemudian, hari-hariku
di rumah mertua kujalani dengan
ikhlas dan sabar. Menerima perilaku
mbak Sari yang mulai semena-mena
terhadapku.
Seperti pagi ini saat aku mencuci
pakaian mas Arman dan Sila, tiba-tiba
mbak Sari datang dan melempar
seonggok cucian kotor di hadapanku.
Sontak aku terkejut dengan apa
yang ia lakukan, bukankah biasanya
memakai jasa Laundry.
Sekalian, cuciin! titahnya
sembari menunjuk pakaian kotornya.
Aku menatapnya geram,
benar-benar tidak punya rasa kasihan
wanita di hadapanku ini.
Apa liat-liat! Cepetan cuci jangan
bengong, habis itu bikin sarapan!
tegurnya bertingkah layaknya nyonya
besar.
Kenapa aku yang harus
mencuci? Bukannya mbak sering
bawa cuciannya ke Loudry? elakku,
tidak bisa, mbak Sari tidak boleh
memperlakukanku seenaknya.
Heh, dengar ya, kamu di sini
makan dan tidur gratis, jadi, kerjakan
semua pekerjaan rumah, anggap itu
sebagai bayaran kamu numpang di
sini! jelasnya tajam. Lantas ia berlalu
begitu saja meninggalkanku dengan
cucian menggunung.
.
.
.
Apa yang mbak Sari katakan
barusan memang benar, aku, mas
Arman dan Sila di sini makan gratis.
Tiap hari ibu memasak makanan enak,
katanya agar aku dan calon bayiku
sehat. Pernah aku mendengar mbak
Sari protes sama ibu karena tak
biasanya wanita awal enam puluhan
itu tiap hari masak banyak makanan
yang terbilang mahal. Namun, tak
digubris oleh ibu.
Karena tak enak hati dengan
mendengar ocehan mbak Sari kala itu,
aku pun berkata pada ibu agar masak
seperti biasa saja tidak perlu mewah.
Namun, jawaban ibu sontak
membuatku terharu.
Ibu juga adalah ibumu. Jadi,
tolong biarkan ibu mengurus putri dan
calon cucu ibu dengan baik. Ibu
mengelus puncak kepalaku lembut.
Setelah itu aku tak sanggup lagi untuk
menolak kebaikannya.
.
.
.
Aku bersyukur memiliki mertua
yang sangat baik dan sayang
terhadapku. Sejak menikah dengan
mas Arman jika berkunjung kedua
mertuaku tak pernah lupa untuk
membawakan buah tangan.
Sebenarnya aku tak enak, tapi jika aku
menolaknya maka ibu akan
mengucapkan perkataan yang sama
seperti tadi. Ibu juga adalah ibumu.
Aku menghela napas, kembali
fokus melihat cucian yang tadi
diberikan mbak Sari padaku. Dengan
lapang dada dan ikhlas aku akan
mengerjakannya.
Namun, di tengah-tengah
kegiatanku, ibu datang menghampiri.
Lis, kok, lama bener nyucinya….
Ibu menjeda ucapannya saat matanya
menatap ke arah tumpukan pakaian
kotor di depanku. Kamu nyuci baju
siapa? banyak banget?
E, mbak Sari, Bu. Aku menjawab
sedikit ragu, karena khawatir ibu akan
marah pada kakak iparku itu yang
akan menimbulkan keributan.
Sudah jangan dicuci lagi, sini ibu
bawa ke Londry aja. Biasanya juga
Sari mencuci bajunya di sana. Ibu
mengangkut semua pakaian kotor
mbak Sari.
.
.
.
Tanpa mendengar protesku, ibu
terus memasukkan pakaian kotor itu
satu persatu ke dalam plastik besar
yang biasa digunakan untuk
mengantarkan cucian ke jasa Londry.
.
…
Nasi goreng apaan ini?! ucap
mbak Sari sambil memuntahkan Nasi
yang ia kunyah ke lantai.
Kamu bisa masak enggak, sih!
Benar-benar enggak enak! ejeknya.
Kemudian meraih segelas susu di
hadapannya lalu menenggaknya.
Sari, enggak boleh begitu, Lilis
udah capek-capek bikin, masa enggak
di hargai, tegur ibu mertuaku dengan
wajah tak enak.
Kenapa, sih, Bu? perempuan
miskin ini enggak becus apa-apa,
masih saja di bela! hardik mbak Sari
Aku hanya diam menyaksikan
perdebatan antara keduanya sambil
menyuapkan nasi goreng ke mulutku
dan Sila dengan santai tak terusik
sama sekali.
Biar saja, wanita itu mengomel
sampai berbusa aku tak peduli.
Lantas mbak Sari berdiri dan
beranjak pergi dengan membawa tas
mahalnya yang kutaksir senilai lima
ratus ribu.
Usai kepergian mbak Sari, kulihat
di panggil nenek oleh
wanita yang
putriku itu hendak menggapai piring
nasi goreng bekas putrinya itu yang
masih tersisa banyak karena tak di
makan.
.
.
.
Biar ibu habiskan saja bekas Sari,
sayang kalau di buang.
Ibu jangan! cegahku.
Loh, kenapa? tanya ibu heran.
I itu anu, mau Lilis kasih ayam,
Bu, jawabku gelagapan.
Ibu mengerutkan keningnya
heran.
Tadi Lilis lihat kena lelehan mbak
Sari, Bu, lanjutku, berharap ia
mempercayaiku.
Kemudian wanita tua di
hadapanku ini duduk kembali
ditempatnya dan melanjutkan sarapan
yang sempat tertunda.
Hampir saja, kalau sampai di
makan ibu mertuaku bisa ketahuan,
kalau nasi khusus di piring mbak Sari
sengaja kutaburi garam banyak. Biar
dia tahu rasa karena ia sudah
semena-mena padaku.
Subuh tadi saat hendak
mengambil air wudu, mbak Sari
sengaja mematikan lampu dan
mengunci kamar mandi dari luar.
Wanita itu marah, karena kemarin ibu
mengirimkan pakaian kotornya ke
Londry dan bukan aku yang
mencucinya.
.
.
.
Untunglah mas Arman cepat
datang saat mendengar teriakanku
dari dalam.
Usai menyelesaikan ibadah salat
subuh aku kembali ke dapur
membantu ibu membuat sarapan dan
entah setan apa yang merasuki hatiku.
Sehingga aku berani mengerjai mbak
Sari dengan menaburi banyak garam
ke dalam piring berisi nasi goreng
untuknya.
Alhamdulillah, anak Abi
makannya lahap banget, ujar mas
Arman yang baru datang dengan
seragam khas guru.
Nasi goreng buatan Umi enak,
ucap Sila sambil mengacungkan
jempol kanannya. Mas Arman tertawa
melihat tingkah putrinya itu.
Iya, benar kata Sila, tapi kenapa
Sari bilang enggak enak,ya? sahut ibu
lantas kembali membahas soal nasi
goreng bekas mbak Sari.
Memang kenapa nasi goreng
mbak Sari, Bu? tanya suamiku
menatap piring di sebelahnya.
Enggak tahu, tuh. Kakakmu itu
bilang jika nasi gorengnya enggak
enak, jelas ibu lantas berdiri menuju
dapur membawa piring kotor
bekasnya.
Mas Arman menatapku curiga,
tangannya terulur dan menvendok
nasi goreng yang masih teronggok di
sebelahnya. Lantas mencicipinya
dengan dahi mengerut.
.
.
.
Aku hanya diam pura-pura tenang
agar ia tak curiga padaku. Mas Arman
ini pandai sekali mencari kebohongan
pada seseorang hanya dengan melihat
mimik wajahnya saja.
Lain kali jangan lakukan lagi,
ucapnya menatapku yang masih sibuk
menyuapi Sila.
Aku bergeming tak menyangkal
perkataannya, karena percuma ia tak
akan mudah percaya dengan aktingku.
Sayang nasinya jadi ke buang,
Mubazir! jelasnya dengan
menekankan kata ‘mubazir’.
Umi? ucap Sila tiba-tiba di
tengah kecanggungan kami.
Aku menoleh padanya dan
bertanya.
Iya, Nak, kenapa?
Abi enggak percaya kalau Sila
punya Oma, katanya, sontak aku
membelalak, kemudian menatap ke
arah mas Arman yang juga tengah
menatap ke arahku tajam.
Sorot matanya seolah menuntut
penjelasan dari mulutku.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts