TERDIAM DALAM TAKDIR (PART25)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART25
…CERITADEWASA…
.
.
.
Arman terlihat begitu khawatir
menatap wajah pucat sang istri yang
kini terbaring lemah yang tengah di
periksa oleh seorang dokter wanita
dari klinik terdekat.
Dok, bagaimana keadaan istri
saya? tanyanya saat sang dokter
selesai memeriksa sang istri.
Selamat ya, Pak. Bu Lilis hamil,
dan usia kandungannya sudah
memasuki minggu kedua, jelas dokter
bernama Anita itu.
Istri saya, hamil, Dok? ulang
Arman tak percaya yang kemudian
diangguki oleh wanita paru baya di
depannya.
.
.
.
Dijaga baik-baik, jangan terlalu
capek dan banyak pikiran, yang
menimbulkan stres berat. Karena bisa
mengganggu kesehatan ibu dan
bayinya. Dokter Anita berpesan
sembari merapikan perlengkapannya.
Baik, Dok, terima kasih! balas
Arman semangat. Lantas ia
mengantar kepergian Dokter berhijab
itu sampai depan teras.
Usai kepergian Dokter Anita,
Arman kembali masuk ke kamarnya,
tak henti berucap syukur pada sang
Khaliq di mana ia di berikan amanah
kembali dengan memiliki seorang
anak.
Disentuhnya tangan sang istri,
kemudian turun ke perut yang masih
rata itu dengan lembut, rasa hangat
menyeruak dalam dadanya. Matanya
tak henti menatap wajah polos itu
dengan penuh cinta.
.
.
.
Melihat Lilis bergerak tak nyaman.
Arman pun melepas tangan sang istri.
Karena tak mau mengganggu ia pun
memutuskan untuk keluar kamar.
Bagaimana Lilis? tanya ibu
Aminah yang tengah menemani kedua
cucunya bermain di ruang keluarga.
Belum sadar masih tidur, Bu,
jawab Arman sembari mendaratkan
bokongnya di atas sofa single yang
berhadapan dengan sang ibu.
Lantas tangannya mengelus
kepala Sila yang kini berlari ke
arahnya.
Abi, kata nenek Sila mau punya
dedek, ya? tanya bocah kecil itu.
Arman tersenyum mengiyakan
pertanyaan dari bibir polos putrinya
itu.
Hore, Sila mau punya dedek,
ucap Sila riang membuat orang di
sekitarnya tertawa gemas melihat
aksinya.
Om juga pasti senang kalau tahu
Sila mau punya dedek, katanya
kembali, membuat Arman dan sang
nenek menghentikan tawanya
seketika.
Oma? ulang Arman heran.
Iya, Oma, kata Umi, aku enggak
boleh bilang ke Abi kalau Sila punya
Oma, jawabnya polos.
Arman dan ibunya saling tatap
satu sama lain.
Bukannya kedua orang tua Lilis
sudah meninggal? tanya Bu Aminah
penasaran.
.
.
.
Iya, jawabnya datar, tanpa
mengalihkan tatapannya dari Sila yang
kembali bermain boneka dengan Dela.
Melihat Arman seperti tak
berminat meneruskan percakapan itu,
Bu Aminah pun diam tak berani untuk
bertanya lagi pada sang anak.
Apa yang di katakan bocah
berusia tiga tahu lebih itu, membuat
Arman semakin yakin bahwa istrinya
menyimpan begitu banyak rahasia
yang tak ia ketahui.
Kepalanya mendadak pening di
penuhi dengan begitu banyak
pertanyaan tentang sang istri.
Lalu bagaimana ia akan
memaksa istrinya agar mengatakan
semua yang di tutupi darinya,
sementara kondisi Lilis sedang hamil
dan tidak boleh banyak tekanan yang
bisa membuat istri dan anaknya
terganggu.
.
.
.
Yuhuuu, senangnya hari ini bisa
Shopping, seru Sari yang baru tiba.
Arman dan sang ibu menoleh pada
wanita yang menenteng beberapa
Paper bag di tangannya.
Kemudian Sari mengerutkan
dahinya saat melihat Sila berada di
rumah orang tuanya. Lalu matanya
menatap sekeliling mencari adik ipar
yang tak pernah bisa akur dengannya
itu.
Arman berdehem dan mulai
beranjak masuk ke kamar untuk
kembali menemani sang istri yang
masih tidur. Namun, langkahnya
terhenti ketika Sari melontarkan
kata-kata yang membuatnya geram.
Heran, perempuan miskin itu
sudah di usir masih saja kembali ke
sini, ucapnya sambil membongkar isi
Paper bag berisi belanjaan.
Arman berbalik dengan wajah
kesal menatap Sari yang tengah asyik
dengan hasil buruannya di Mall.
Mbak, asal kamu tahu, selagi
bapak dan ibu masih hidup, aku masih
berhak tinggal di sini, kapan pun aku
mau! tukas Arman penuh penekanan.
Seketika gerakan tangan Sari
terhenti dan beralih menatap pada
adiknya itu dengan sorot tajam.
Apa! Hak? ulang Sari. Apa perlu
aku ingatkan lagi siapa dan dari mana
asalmu? Sari berdiri meninggalkan
belanjaannya dan mendekat pada
Arman.
.
.
.
Arman terdiam menahan amarah,
ia paham dengan maksud dari
perkataan kakaknya itu, jika ia tak
memiliki hak apa-apa. Posisinya di
rumah ini hanya sebagai anak angkat
dan tak akan pernah berubah.
Sari! Jaga ucapan kamu! tegur
wanita yang telah melahirkannya.
Kenapa, sih. Bu? Ibu selalu saja
membela anak tak berguna itu! teriak
Sari.
Ibu bukan membela, ibu hanya
ingin kamu lebih bisa menghargai dan
menyayangi adik kamu! jelas Bu
Aminah. Ibu sayang Arman dan
Salma, mereka anak ibu. Dan ibu tidak
pernah menganggap mereka anak
angkat, mereka anak ibu! lanjutnya,
sembari terisak.
Bu, Sari sudah bekerja keras
selama ini membantu ibu dan Bapak
bekerja di ladang untuk
membesarkannya, katanya. Tapi
balasan apa yang dia berikan untuk
kita, di suruh bantu di perusahaan Mas
Johan, menolak, di jodohkan dengan
Narti anak juragan Endang enggak
mau, malah memilih jadi guru dan
yang lebih buruk lagi menikahi wanita
miskin! balas Sari panjang lebar.
.
.
.
Arman hanya diam mendengar
dan menelan bulat-bulat perkataan
yang begitu menyakiti hatinya. Tak
ingin memperjerih suasana dan
beradu debat dengan Sari yang tak
ada habisnya, lantas ia pergi dari
hadapan wanita yang masih
menatapnya tajam.
Dasar tidak tahu di untung! cicit
Sari, yang masih bisa di dengar oleh
Arman.
Arman sadar jika dirinya bukanlah
anak yang bisa di banggakan di
keluarga ini. Ia menolak semua yang
di tawarkan kakaknya itu karena tak
ingin hidupnya di atur lebih jauh oleh
Sari, itu membuatnya tak nyaman dan
selamanya hanya akan membuatnya
berhutang budi seterusnya bahkan
mungkin selamanya.
Setelah ia menikah pun walau
susah hidup seadanya Arman lebih
memilih menghadapi keadaannya
sendiri, tak pernah meminta bantuan
apa pun pada keluarganya.
.
.
.
Arman memasuki kamar di mana
Istrinya masih tertidur pulas, di
tatapnya wajah yang tak lagi pucat itu.
Lantas ia menarik bangku ke sisi
tempat tidur sang istri. Mendaratkan
bokongnya di sana, lantas meraih
tangan wanita yang sangat ia cintai.
Netranya mulai menganak sungai,
kala mengulang kembali perkataan
Sari di memorinya. Ia merasa bodoh
dan tak berguna untuk anak dan
istrinya.
Maaf, aku tak pernah bisa
membahagiakanmu, tak bisa
memberikanmu kehidupan yang
layak, ucapnya lirih. Menundukkan
layak, ucapnya lirih. Menundukkan
kepalanya di samping tubuh sang istri
dan menangis di sana.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
selingkuh
foto
fotoai
text
gambar
foryou
Related: Explore more posts