TERDIAM DALAM TAKDIR (PART16)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART16
…Ceritadewasa..
.
.
.
Detik kemudian aku baru paham,
dan tiba-tiba muncul ide konyol di otak
cerdasku ini untuk menggodanya.
Yang… Mana, ya? tanyaku
pura-pura tak tahu.
Danu bergeming, mataku
menangkap tangannya meremas setir.
Sepertinya ia tengah kesal.
Oooh … Maksudmu, Mbak
Salma? kataku. Dia udah di jemput
sama kakaknya, dan entah besok atau
kapan ia akan segera menikah,
terangku mencoba
memanas-manasinya. Aku tahu pria
suruhan wanita yang paling kucintai ini
menyimpan rasa ketertarikannya pada
mbak Salma.
Danu masih terdiam dengan
wajah datarnya, sedatar tembok
rumahku yang catnya sudah mulai
luntur dan di penuhi coretan hasil
karya Sila.
Mengingat Sila aku jadi
merindukan anak itu. Masihkah ia
terlelap atau malah menangis karena
mencariku. Semoga saja mas Arman
bisa mengurusnya.
.
.
.
Melihat Danu diam dan sepertinya
tak berminat merespons, aku pun
memilih untuk bersandar dan
memejamkan mata. Jujur aku sangat
lelah, dari tadi siang tenaga dan
pikiranku sudah terkuras.
Apa kau akan terus bertahan
bersama pria miskin itu? Danu
kembali membuka suara dengan topik
lain.
Kenapa kau menanyakan hal itu,
aku sudah pernah bilang berkali-kali,
aku tidak akan pernah meninggalkan
mas Arman! tegasku, rasanya emosi
jika mendengar ia kembali memanggil
mas Arman dengan sebutan pria
miskin.
.
.
Aku heran apa yang membuatmu
terus bertahan dengan pria mis_
Arman, namanya Arman. Ingat
itu! sergahku, kesal. Enak saja ia
menghina suamiku. Sekali lagi
kudengar ia memanggil mas Arman
dengan sebutan itu, lihat saja apa
yang aku lakukan.
Danu terlihat menarik sebelah
sudut bibirnya, membentuk senyum
meremehkan. Masih banyak pria
yang lebih baik darinya, tapi kau lebih
menilih hidup dengannya.
Maksudnya, pria itu kau, yang
lebih baik, begitu? tuntutku sebal.
Sebaiknya tutup saja mulutmu, dan
jangan mengurusi urusan orang lain!
Wajah Danu terlihat menahan
marah. Sepertinya ia tersinggung.
Namun, pria berusia hampir empat
puluh itu tak lagi bersuara sampai tiba
di kediamanku.
Danu menghentikan mobil d
depan rumah. Aku turun dan
menyuruh pria itu untuk cepat pergi
sebelum ada yang melihatnya.
Pria dengan gaya rambut yang
selalu kelimis itu mengangguk, lantas
kendaraan roda empat yang ia
kendarai putar arah dan melaju pergi.
.
.
.
Aku melangkah gontai, rasanya
capek sekali setelah melalui hari yang
begitu menegangkan, aku ingin segera
merebahkan diri di kasur kapukku,
yang keras jika tak rajin kujemur.
Namun, belum sempat tangan ini
mengetuk pintu yang mulai usang itu,
tiba-tiba suara mas Arman
mengagetkanku.
Siapa pria itu? tanyanya dengan
wajah dingin. Aku terkesiap dan
menoleh pada mas Arman yang
muncul dari balik tembok samping
rumah.
Jawab! Siapa dia? teriaknya
membuatku berjingkat kaget. Tidak
biasanya mas Arman membentakku
seperti ini.
.
.
Apakah dia, pria yang dulu
menemuimu di rumah sakit? dia yang
membebaskanmu dari gugatan
Juragan Darma? Dan … dia juga yang
tadi pagi menjemputmu yang entah ke
mana, yang pastinya bukan ke rumah
pamanmu. lya kan? cecarnya.
Jawab! kembali mas Arman
berteriak, membuat nyaliku seketika
menciut.
Hening, tak sepatah kata pun
terlontar dari mulutku. Sungguh aku
bingung harus menjawab apa. Apakah
harus jujur, tapi ini bukan waktunya.
Dan satu lagi, ini apa? Apa pria
itu yang memberikannya untukmu?
todongnya, Sambil mengangkat gawai
milikku yang selama ini aku
sembunyikan darinya.
.
.
.
Aku terkesiap, menatap benda
pipih di tangannya. Haruskah aku jujur
sekarang? Tapi aku bingung harus
menjelaskan dari mana dulu.
Hitu- ucapanku terpotong saat
deringan ponsel dari dalam berbunyi.
Mas Arman lantas masuk dan
mengangkat panggilan tengah malam
seperti ini.
Mbak Salma, ucapnya setelah
melihat nama pemanggil yang tertera
di layar datar itu.
Gegas aku mendekat, dan mas
Arman menekan tombol lost speaker,
agar aku dapat mendengarnya juga.
Man, tolong mbak. Lusa mbak
Sari mau menikahkan mbak sama
Yanto. Mbak mohon sama kamu,
tolong mbak, agar pernikahan itu tidak
terjadi! adu mbak Salma sambil
terisak di seberang sana, membuatku
ikut merasakan kesedihan yang
tengah ia alami. Kasihan kakak iparku
itu, menjadi alat untuk memperbanyak
kekayaan dan ketenaran sebagai
orang terpandang.
Mbak, tenang dulu. Nanti aku
bicara pada Mbak Sari, ucap mas
Arman menenangkan.
.
.
.
Lantas mas Arman menutup
panggilan yang lebih dulu dimatikan
oleh mbak podcast hiburan Salma, dan bergegas
mengambil jaket serta kunci motor
yang tergantung di tembok.
Urusan kita belum selesai,
sekarang aku akan perai ke rumah
bapak untuk membujuk mbak Sari
agar membatalkan perjodohan itu!
peringatnya sembari meletakkan
handphone milikku di sembarang
tempat.
.
.
Dan tetap di rumah, aku tak
mengizinkan kamu pergi ke mana
pun! lanjutnya yang hanya kuangguki,
tak berani membantah karena hatinya
masih di selimuti amarah.
Usai kepergian mas Arman kuraih
Handphone yang ia letakkan barusan,
kucek benda pipih itu dan… Kartu SIM
di dalamnya sudah tak ada, pun
dengan nomor kontak lenyap.
Aku mendesah kasar sambil
memegangi kepala.
.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts