TERDIAM DALAM TAKDIR (PART1)
Isi Postingan:
TERDIAM DALAM TAKDIR PART1
…Ceritadewasa…
.
.
Lilis seorang wanita hebat dan tangguh
menghadapi perilaku kakak iparnya yang
bermulut pedas seperti mercon. Ia juga
seorang wanita yang penuh dengan rahasia.
Maklumlah, Bu. Adik ipar saya ini emang
jarang makan enak. Jadi, sekalinya makan
sama anaknya di sini kayak orang rakus, ucap
mbak Sari kala itu, membuatku hampir
tersedak saat mengunyah nasi dan ceker sisa
besek.
.
.
Awal kisah
.
Lis, beseknya udah selesai
belum? tanya mbak Sari kalem.
Iya, Mbak. Ini udah selesai,
jawabku tersenyum. Sambil merapikan
baskom bekas rendang dan sayur
nangka.
Ya udah, kalau gitu. Kamu makan
gih! titahnya perhatian, lalu
tersenyum santun pada tetangganya
yang tadi ikut membungkus besek
bersamaku.
Jika bukan di depan orang-orang
mana mungkin ia menawariku.
Jangankan makan, minum juga tidak
pernah.
Setiap aku datang, silaturahmi ke
rumah orang tua mas Arman yang
kebetulan satu rumah dengan mbak
Sari. Muka wanita itu selalu terlihat
masam dan ketus terhadapku.
Berbeda dengan keluarganya yang
lain, kedua mertua dan mbak Salma
yang selalu ramah menyambut
kedatanganku.
.
.
.
Enggak usah, Mbak. Lilis masih
kenyang, kebetulan tadi sebelum
berangkat ke sini makan dulu di
rumah, dustaku. Padahal perut ini
sedari tadi keroncongan.
Sengaja aku berangkat siang agar
tak terlalu lama di rumah Mbak Sari,
mengisi perut terlebih dulu di
rumah–supaya tak cepat lapar, tapi
nyatanya tetap saja lambung ini
meminta jatah. Mungkin karena terlalu
lama mencium bau rendang yang
aromanya sangat menggoda saat
kubungkusi ke dalam plastik
seperempat sebagai isian besek.
Sebenarnya malas makan di
rumah Kakak iparku ini. Bukan karena
malu atau geli, tapi jika makan di sini
saat selamatan bersama anakku
maka ia akan mengeluarkan
sindirannya di depan para tetangga
sekitar, seakan-akan aku tak pernah
makan enak.
Maklumlah, Bu. Adik ipar saya ini
memang jarang makan enak. Jadi,
sekalinya makan sama anaknya di sini
kayak orang rakus, ucapnya kala itu,
membuatku hampir tersedak saat
menelan nasi.
Gegas kuraih air minum dan
menenggaknya perlahan agar
makanan yang sudah di kerongkongan
tak keluar lagi.
.
.
.
Kusudahi kegiatan makanku yang
baru beberapa suap karena sudah tak
berselera lagi. Kini hanya putriku yang
kusuapi dengan nasi dan ayam sayur
sisa dari isian besek, itu pun hanya
kepala dan ceker.
Bu Sari memang baik, ya? royal
sama saudara sendiri, ucap Bu Ida
tetangga sebelah rumah Mbak Sari.
Iya, benar. Bu Sari baik banget,
ya? timpal wanita paruh baya di
sebelah Bu Ida.
Ah, Ibu ini biasa aja, ya …
Namanya kita saudara jadi harus
saling bantu. Adik saya Arman kan
penghasilannya enggak kayak suami
saya. Jadi, mereka makan seadanya
terus tiap hari, ungkapnya enteng tak
menghiraukan perasaanku yang sakit
mendengar penuturannya di depan
para tetangga yang masih belum
beranjak pulang.
.
.
.
Aku tahu hidupku susah. Suamiku
Mas Arman bekerja sebagai guru
honorer yang hanya berpenghasilan
sebulan di bawah satu juta yang tak
bisa mencukupi kebutuhan hidup
selama tiga puluh hari.
Untuk menambah penghasilan,
suamiku juga mengajar les dari siang
sampai malam. Mas Arman adalah
pria pekerja keras yang mandiri, tak
mau mendapatkan batuan apa pun
dari keluarganya yang kaya dan
sukses. la ingin berhasil karena
usahanya sendiri.
Pernah suatu ketika ia di tawari
suami Mbak Sari jadi manajer
keuangan di perusahaannya. Namun,
mas Arman menolaknya, ia ingin
sukses karena prestasinya sendiri.
Mbak Sari sempat tersinggung
saat mas Arman menolak tawarannya.
Mungkin itu salah satu pemicu ia
selalu menghinaku, baik di depan
tetangga maupun saat sendiri.
Aku tersentak kaget saat Sila
menarik pinggiran gamis yang
kukenakan.
.
.
.
Mi, Sila lapar Mi, rengeknya.
Badanku membungkuk agar
sejajar dengannya lalu berbisik pelan
agar tak di dengar orang.
Sila, nanti ya, kita makannya di
rumah aja bareng Abi, oke? ucapku
berharap ia mengerti. Sekarang, Sila
minum aja dulu, ya?
Bocah empat tahun itu
mengangguk patuh. Lantas ia kembali
bermain dengan Dela putri mbak Sari
yang usianya dua tahun lebih tua dari
putriku.
Aku jadi merasa berdosa sudah
membiarkan putriku kelaparan, tapi
mau bagaimana lagi, jika kami makan
di sini mbak Sari pasti akan mengejek
kami rakus lagi. Ah, lebih baik
menahan lapar. Walaupun miskin
begini juga, aku masih punya harga
diri. D
Usai riungan tepat sebelum isya
selesai. Aku bersiap untuk pulang.
Membangunkan Sila yang masih
tertidur setelah jajan susu kotak dan
roti tadi sore. la kembali merengek,
karena tak tahan lapar. Untung saja
uang kembalian ongkos angkot tadi
siang masih sisa lima ribu lagi,
sehingga putriku bisa mengganjal
perutnya untuk sementara.
Sambil menunggu mas Arman
jemput aku bantu-bantu merapikan
bekas riungan. Menggulung tikar,
menyapu lantai dan memunguti gelas
plastik bekas air mineral yang
geletakkan di atas tikar.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya
mas Arman jemput, cepat kupanggil
Sila dan sekalian berpamitan pada
mbak Sari.
.
.
.
Aduh, maaf, ya, Lis. Beseknya
kehabisan, kue-kue juga udah pada
abis. Kamu pulang enggak bawa
besek enggak apa-apa ya? Lagi pula…
Kamu kan pasti udah makan banyak di
sini, ucapnya merasa bersalah, dan
apa katanya? Aku makan banyak di
sini?
Iya, Mbak. Enggak apa-apa. Aku
menjawab sambil menahan kesal
dalam hati. Lalu pergi usai
berpamitan.
Sepanjang jalan menuju rumah
aku hanya terdiam, Sila kembali
tertidur di pangkuanku sambil
memeluk punggung Abinya yang
sedang fokus mengendarai motor.
Mas Arman tumben tak ada
suaranya. Biasanya dia suka
berceloteh jika sedang berkendara
denganku. Mungkinkah, ia juga
sedang menahan lapar Sepertiku? Ah,
entah sudah ke mana rasa laparku itu
di ganti dengan rasa kesal pada
wanita yang selalu berpenampilan
bagai toko mas berjalan itu.
Tiba di rumah, setelah
.
.
.
menidurkan Sila di kamarnya, aku
menuju dapur membuka tutup
saji–mencari sisa nasi tadi siang.
Syukurlah masih ada, aku bisa
menggorengnya untuk kami makan
malam ini.
Dek, emang enggak dapat
besek? tanya mas Arman di
belakangku.
Enggak, udah keabisan! ketusku
sambil mengiris bawang tanpa
menoleh.
.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts