Skip to content
LahanBasah

LahanBasah

TERDIAM DALAM TAKDIR (PART1)

Posted on June 4, 2025 By admin

TERDIAM DALAM TAKDIR (PART1)

Isi Postingan:

TERDIAM DALAM TAKDIR PART1

…Ceritadewasa…

.

.

Lilis seorang wanita hebat dan tangguh

menghadapi perilaku kakak iparnya yang

bermulut pedas seperti mercon. Ia juga

seorang wanita yang penuh dengan rahasia.

Maklumlah, Bu. Adik ipar saya ini emang

jarang makan enak. Jadi, sekalinya makan

sama anaknya di sini kayak orang rakus, ucap

mbak Sari kala itu, membuatku hampir

tersedak saat mengunyah nasi dan ceker sisa

besek.

.

.

Awal kisah

.

Lis, beseknya udah selesai

belum? tanya mbak Sari kalem.

Iya, Mbak. Ini udah selesai,

jawabku tersenyum. Sambil merapikan

baskom bekas rendang dan sayur

nangka.

Ya udah, kalau gitu. Kamu makan

gih! titahnya perhatian, lalu

tersenyum santun pada tetangganya

yang tadi ikut membungkus besek

bersamaku.

Jika bukan di depan orang-orang

mana mungkin ia menawariku.

Jangankan makan, minum juga tidak

pernah.

Setiap aku datang, silaturahmi ke

rumah orang tua mas Arman yang

kebetulan satu rumah dengan mbak

Sari. Muka wanita itu selalu terlihat

masam dan ketus terhadapku.

Berbeda dengan keluarganya yang

lain, kedua mertua dan mbak Salma

yang selalu ramah menyambut

kedatanganku.

.

.

.

Enggak usah, Mbak. Lilis masih

kenyang, kebetulan tadi sebelum

berangkat ke sini makan dulu di

rumah, dustaku. Padahal perut ini

sedari tadi keroncongan.

Sengaja aku berangkat siang agar

tak terlalu lama di rumah Mbak Sari,

mengisi perut terlebih dulu di

rumah–supaya tak cepat lapar, tapi

nyatanya tetap saja lambung ini

meminta jatah. Mungkin karena terlalu

lama mencium bau rendang yang

aromanya sangat menggoda saat

kubungkusi ke dalam plastik

seperempat sebagai isian besek.

Sebenarnya malas makan di

rumah Kakak iparku ini. Bukan karena

malu atau geli, tapi jika makan di sini

saat selamatan bersama anakku

maka ia akan mengeluarkan

sindirannya di depan para tetangga

sekitar, seakan-akan aku tak pernah

makan enak.

Maklumlah, Bu. Adik ipar saya ini

memang jarang makan enak. Jadi,

sekalinya makan sama anaknya di sini

kayak orang rakus, ucapnya kala itu,

membuatku hampir tersedak saat

menelan nasi.

Gegas kuraih air minum dan

menenggaknya perlahan agar

makanan yang sudah di kerongkongan

tak keluar lagi.

.

.

.

Kusudahi kegiatan makanku yang

baru beberapa suap karena sudah tak

berselera lagi. Kini hanya putriku yang

kusuapi dengan nasi dan ayam sayur

sisa dari isian besek, itu pun hanya

kepala dan ceker.

Bu Sari memang baik, ya? royal

sama saudara sendiri, ucap Bu Ida

tetangga sebelah rumah Mbak Sari.

Iya, benar. Bu Sari baik banget,

ya? timpal wanita paruh baya di

sebelah Bu Ida.

Ah, Ibu ini biasa aja, ya …

Namanya kita saudara jadi harus

saling bantu. Adik saya Arman kan

penghasilannya enggak kayak suami

saya. Jadi, mereka makan seadanya

terus tiap hari, ungkapnya enteng tak

menghiraukan perasaanku yang sakit

mendengar penuturannya di depan

para tetangga yang masih belum

beranjak pulang.

.

.

.

Aku tahu hidupku susah. Suamiku

Mas Arman bekerja sebagai guru

honorer yang hanya berpenghasilan

sebulan di bawah satu juta yang tak

bisa mencukupi kebutuhan hidup

selama tiga puluh hari.

Untuk menambah penghasilan,

suamiku juga mengajar les dari siang

sampai malam. Mas Arman adalah

pria pekerja keras yang mandiri, tak

mau mendapatkan batuan apa pun

dari keluarganya yang kaya dan

sukses. la ingin berhasil karena

usahanya sendiri.

Pernah suatu ketika ia di tawari

suami Mbak Sari jadi manajer

keuangan di perusahaannya. Namun,

mas Arman menolaknya, ia ingin

sukses karena prestasinya sendiri.

Mbak Sari sempat tersinggung

saat mas Arman menolak tawarannya.

Mungkin itu salah satu pemicu ia

selalu menghinaku, baik di depan

tetangga maupun saat sendiri.

Aku tersentak kaget saat Sila

menarik pinggiran gamis yang

kukenakan.

.

.

.

Mi, Sila lapar Mi, rengeknya.

Badanku membungkuk agar

sejajar dengannya lalu berbisik pelan

agar tak di dengar orang.

Sila, nanti ya, kita makannya di

rumah aja bareng Abi, oke? ucapku

berharap ia mengerti. Sekarang, Sila

minum aja dulu, ya?

Bocah empat tahun itu

mengangguk patuh. Lantas ia kembali

bermain dengan Dela putri mbak Sari

yang usianya dua tahun lebih tua dari

putriku.

Aku jadi merasa berdosa sudah

membiarkan putriku kelaparan, tapi

mau bagaimana lagi, jika kami makan

di sini mbak Sari pasti akan mengejek

kami rakus lagi. Ah, lebih baik

menahan lapar. Walaupun miskin

begini juga, aku masih punya harga

diri. D

Usai riungan tepat sebelum isya

selesai. Aku bersiap untuk pulang.

Membangunkan Sila yang masih

tertidur setelah jajan susu kotak dan

roti tadi sore. la kembali merengek,

karena tak tahan lapar. Untung saja

uang kembalian ongkos angkot tadi

siang masih sisa lima ribu lagi,

sehingga putriku bisa mengganjal

perutnya untuk sementara.

Sambil menunggu mas Arman

jemput aku bantu-bantu merapikan

bekas riungan. Menggulung tikar,

menyapu lantai dan memunguti gelas

plastik bekas air mineral yang

geletakkan di atas tikar.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya

mas Arman jemput, cepat kupanggil

Sila dan sekalian berpamitan pada

mbak Sari.

.

.

.

Aduh, maaf, ya, Lis. Beseknya

kehabisan, kue-kue juga udah pada

abis. Kamu pulang enggak bawa

besek enggak apa-apa ya? Lagi pula…

Kamu kan pasti udah makan banyak di

sini, ucapnya merasa bersalah, dan

apa katanya? Aku makan banyak di

sini?

Iya, Mbak. Enggak apa-apa. Aku

menjawab sambil menahan kesal

dalam hati. Lalu pergi usai

berpamitan.

Sepanjang jalan menuju rumah

aku hanya terdiam, Sila kembali

tertidur di pangkuanku sambil

memeluk punggung Abinya yang

sedang fokus mengendarai motor.

Mas Arman tumben tak ada

suaranya. Biasanya dia suka

berceloteh jika sedang berkendara

denganku. Mungkinkah, ia juga

sedang menahan lapar Sepertiku? Ah,

entah sudah ke mana rasa laparku itu

di ganti dengan rasa kesal pada

wanita yang selalu berpenampilan

bagai toko mas berjalan itu.

Tiba di rumah, setelah

.

.

.

menidurkan Sila di kamarnya, aku

menuju dapur membuka tutup

saji–mencari sisa nasi tadi siang.

Syukurlah masih ada, aku bisa

menggorengnya untuk kami makan

malam ini.

Dek, emang enggak dapat

besek? tanya mas Arman di

belakangku.

Enggak, udah keabisan! ketusku

sambil mengiris bawang tanpa

menoleh.

.

.

.

NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin


Related: Explore more posts

Kisah Menarik Tags:Cerita Basah, Cerita Dewasa, Cerita Panas, Cerita Seru, Kisah Basah, Kisah Seru

Post navigation

Previous Post: TERDIAM DALAM TAKDIR (PART2)
Next Post: BALADA BESAN DAN MENANTU (PART69)

Related Posts

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART68) Kisah Menarik
ADIK IPAR PELIPUR LARA(PART20) Kisah Menarik
TERDIAM DALAM TAKDIR (PART13) Kisah Menarik
TERDIAM DALAM TAKDIR (PART35) Kisah Menarik
TERDIAM DALAM TAKDIR (PART32) Kisah Menarik
JANGAN OM (PART39) Kisah Menarik

Recent Posts

  • Judul : Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Judul: Rahasia di Balik Ruang Meeting
  • Judul: “Rahasia di Balik Ruang Meeting”
  • ***ENNY ARROW ***

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • June 2025

Categories

  • Kisah Menarik

Copyright © 2025 LahanBasah.

Powered by PressBook Grid Dark theme