TERDIAM DALA TAKDIR (PART3)
Isi Postingan:
TERDIAM DALA TAKDIR PART3
…Ceritadewasa…
.
.
.
Sore hari bada Ashar aku tiba di
kediaman orang tua mas Arman,
keduanya menyambut kami dengan
baik, kecuali mbak Sari yang memang
mukanya selalu terlihat masam. Dan
itu sudah menjadi hal biasa. Kecuali
jika di depan para tetangganya, ia
akan memasang wajah semringah,
seolah-olah bahagia dengan
kedatanganku.
Ibu mertua langsung memluk
putriku Sila dengan penuh kasih
sayang. Melihat pemandangan seperti
itu, membuatku teringat seseorang.
Semenjak menikah dengan mas
Arman, aku tak pernah menghubungi
orang tua angkatku. Ah, betapa aku
sangat merindukannya. Nanti jika
waktunya memungkinkan aku janji
akan menemuinya.
.
.
.
Sementara Sila asyik bermain
dengan neneknya dan mas Arman
sibuk berbincang dengan bapak. Aku
memilih untuk pergi ke dapur, siapa
tahu ada yang bisa dikerjakan di sana.
Di dapur terlihat mbak Salma
begitu sibuk memasak untuk hidangan
nanti malam. Wanita yang masih
melajang itu tinggal serumah bersama
mbak Sari dan mertuaku.
Dari cerita yang kutahu mas
Arman dan mbak Salma hanya anak
angkat di keluarga ini, jadi semua
urusan mengenai apa pun diatur oleh
Mbak Sari. Semua penghasilan ladang
dan sawah ia yang mengatur. Begitu
pun mengenai masa depan adiknya,
termasuk mengenai jodoh.
Banyak pria di kampung ini yang
berniat melamar mbak Salma. Namun,
lamaran itu selalu di tolak oleh mbak
Sari, karena tidak memenuhi standar
keinginannya kata dan terpandang,
sehingga tak ada pria yang berani
melamar adik angkatnya itu.
.
.
.
Sini, mbak. biar Lilis bantu?
tawarku.
Eh, Lilis… Udah dateng? tanya
mbak Salma tersenyum ramah. Lalu ia
memberikan baskom berisi dua ekor
ayam yang di belah menyerupai
bekakak, lantas kubawa ke atas
wastapel untuk di bersihkan.
Selesai dicuci, aku meletakan
ayam itu atas di meja. Kemudian
kuraih wadah berisi berbagai macam
bumbu rempah. Aku akan
membumbuinya.
Lis, ngapain kamu? tanya mbak
Sari tiba-tiba muncul dengan nada
jutek.
Ini, Mbak, mau bumbui ayam
buat di ungkap, jelasku rikuh.
Enggak usah! biar Salma aja,
kamu urusin buat lalapnya
aja!titahnya. Lagi pula… Kamu
enggak bakal bisa. Orang sehari-hari
aja makan pake tempe tahu doang,
sok soan mau masak ayam, sindirnya
kemudian berlalu. Meninggalkan aku
dan mbak Salma yang menatap iba ke
arahku.
Kutinggalkan baskom berisi ayam
itu dan beralih pada sayuran yang
akan di jadikan lalapan selada dan
mentimun.
Sabar, ya, Lis! ujar mbak Salma
usai kepergian mbak Sari. Aku hanya
tersenyum menanggapi dengan
lapang dada.
Acara makan bersama pun di
mulai usai salat Magrib. Ayam bakar,
sambal serta lalapan tertata rapi di
atas permadani merah.
Semuanya sudah berkumpul
kecuali Mas Johan suami Mbak Sari
yang tidak bisa hadir karena sedang
tugas di luar kota mengurusi
bisnisnya.
.
.
.
Aku tidak terlalu akrab dengan
mas Johan jadi tak pernah tahu bisnis
seperti apa yang mereka jalani. Kalau
menurut cerita mas Arman
berhubungan dengan furniture.
Entahlah, lagi pula itu bukan urusanku.
Kuambilkan nasi untuk suamiku
berdua dengan Sila. Ia lebih senang
jika makan di suapi oleh mas Arman
ketimbang denganku.
Lis, kok, ambil nasinya dikit
banget? Yang banyak atuh. Terus itu
ayamnya juga ambil lagi, sayang kalau
nyisa! tegur ibu mertua saat melihat
isi piringku yang hanya berisikan
secentong nasi dan kepala ayam saja.
Enggak apa-apa, Bu. Lilis makan
sedikit karena masih kenyang, tadi
sebelum ke sini makan dulu di Rumah.
lya kan… Mas? dustaku yang
meminta pembenaran diri mas Arman.
Suamiku yang tengah asyik
melahap ayam bakar bersama Sila,
pun mengangguk cepat setelah
mendapat tatapan tajam dariku.
.
.
.
Oh, ya sudah, nanti di bawa aja
ya? ucapnya menawarkan.
Enggak, usah, Bu! sergahku
cepat.
Ih, enggak apa-apa, nanti bawa
aja.
Udah sih, Bu! enggak usah
repot-repot, biar mereka makan di sini
aja. Nanti ngelunjak, kalau setiap ke
sini maunya di kasih terus sama ibu!
sergah podcast hiburan mbak Sari tiba-tiba. Rasanya
ingin sekali kuremas mulut wanita sok
kaya itu. la pikir aku benalu apa, suka
minta-minta.
Sari… Enggak boleh bilang gitu,
ucap ibu menatapku tak enak.
Udah-udah! enggak baik ribut di
depan makanan! suara bapak
menginterupsi, agar keduanya
menghentikan perdebatan. Ibu dan
mbak Sari pun terdiam dan
melanjutkan makan kembali.
Sementara aku sudah tak lagi
berselera, rasa lapar menguap
seketika. Entah sampai kapan mbak
Sari bisa bersikap baik dan ramah
terhadapku. Bukan karena ingin
diperlakukan istimewa, tapi setidaknya
hargailah aku sebagai menantu di
keluarga ini.
.
.
.
Bi, nambah! rengek Sila, saat
nasi dan ayam di piring mas Arman
habis tak bersisa.
Mas Arman lantas mengambilkan
kembali nasi dan ayam. Namun,
gerakan tangannya terhenti saat mbak
Sari kembali berceloteh.
Dasar kampungan! sindirnya,
membuat sayatan tak kasat mata di
dada. Nasi yang kutelan seolah duri
yang menyangkut di kerongkongan.
Entah aku harus sabar dan menahan
perasaan muak terhadapnya.
Selesai makan, aku membantu
mbak Salma mencuci piring di dapur.
Sesekali kami tertawa menceritakan
hal lucu yang di sampaikan kakak
iparku itu.
Namun, samar kudengar suara
teriakan mbak Sari sambil
mengumpat, di susul suara tangisan
Sila yang sudah kuhafal. Aku berlari
menuju ruang tengah di mana Sila
berada.
Aku terbelalak saat menyaksikan
apa yang terjadi di depan mataku.
Mbak Sari memukul lengan Sila
sembari mengumpat tak jelas.
.
.
.
Lepas, Mbak! aku menarik
paksa tangan mbak Sari, dan
mengempaskannya. Wanita bertubuh
gempal itu terhuyung.
Kurang ajar kamu, ya! teriaknya
tak terima. Lantas ia kembali
mengangkat tangannya hendak
menamparku. Namun, dengan sigap
aku menangkisnya dan mendorong
tbuhnya hingga tersungkur ke lantai.
Hentikan!
.
.
NoteL..i..k..e .mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts