JANGAN OM (PART68)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART68
…
..
.
Setelah menyelesaikan
semua nmasalah yang terjadi di
kantor, Aryo dan Juan segera
menuju rumah sakit untuk
memeriksakan kondisi Aryo
yang masih belum membaik. Di
ruang pemeriksaan, Aryo
dengan wajah penuh
kekhawatiran bertanya kepada
dokter, Bagaimana, Dok?
Kenapa kaki saya masih lemas
dan sulit digerakkan?
Dokter spesialis saraf yang
memeriksanya mengangguk
pelan, lalu menjelaskan dengan
tenang, Ini semua akibat dari
obat yang sempat disuntikkan
ke tubuh Anda, Pak Aryo. Obat
itu menmiliki dosis yang sangat
tinggi dan biasanya digunakan
sebagai obat penenang untuk
hewan. Untungnya, Anda hanya
mendapatkannya beberapa kali
dan segera diberilkan vitamin
penunjang. Jadi, kerusakan
sarafnya tidak terlalu parah.
…
Aryo menarik napas lega
meski raut wajahnya masih
menyimpan kecemasan. Jadi,
kapan saya bisa sembuh total
Dok?
Dokter tersenyum tipis,
berusaha menenangkan. Yang
perlu Anda lakukan hanyalah
istirahat total selama beberapa
hari. Selain itu, rutin minum
obat dan vitamin yang sudah
kami resepkan. Dengan begitu,
kondisi Anda akan pulih seperti
sediakala dalam beberapa hari.
Aryo mengangguk mantap,
meskipun pikirannya sudah
melayang jauh. Begitu keluar
dari rumah sakit, ia segera
menoleh ke Juan yang setia
menemaninya. Juan, tolong
antar alku ke villa. Aku
merindukan Kinan, dan aku
juga ingin melihat kondisi
Bapak.
Juan hanya mengangguk
patuh. Baiklah Aryo. Kita
berangkat sekarang. Tanpa
banyak bicara lagi, mereka pun
meluncur menuju villa, tempat
Kinan tinggal. Hanya ditempat
itulah, Aryo dapat menemukan
ketenangan di tengah semua
kekacauan yang baru saja
terjadi.
Sesampainya di villa, Kinan
yang melihat Aryo datang
langsung berlari
menghampirinya, melupakan
bahwa dirinya sedang hamil. Air
matanya sudah menggenang
sebelum dia mendekat, Jangan
lari Kinan, kamu sedang hamil,’
tegur Aryo yang
mengkhawatirkan Kinan.
Namu Kinan tidak
menanggapinya. Kinan dengan
cepat memluk Aryo yang
duduk di kursi roda.
Mas Aryo ke mana aja?
Kinan kangen, ucap Kinan
dengan suara bergetar sambil
terisak. Kenapa Mas Aryo
nggak ngabarin Kinan?
Aryo terdiam sejenak,
merasa bersalah. Kinan
kemudian melepaskan
pelkannya, lalu jongkok di
depan Aryo, memegang
tangannya dengan erat. Mas
Aryo kenapa? Apa Mas Aryo
benar-benar lumpuh? tanyanya
cemas, suaranya penuh
kekhawatiran.
Aryo tersenyum lembut,
berusaha menenangkan. Aku
nggak apa-apa, Kinan. Kakiku
cuma lumpuh sementara. Kata
dokter, sebentar lagi juga bakal
pulih, jawabnya pelan.
Kinan menghela napas lega,
tetapi tangisnya belum
sepenuhnya reda. Syukurlah,
Mas Aryo nggak kenapa-napa.
Aku sangat cemas memikirkan
kondisi Mas beberapa hari ini,
ucapnya sambil mengusap air
matanya sendiri.
Aryo mengulurkan tangan,
mengusap pipi Kinan untuk
menghapus sisa air matanya.
Jangan nangis lagi, Kinan. Aku
sudah pulang sekarang. Nggak
ada yang perlu kamu takutkan
lagi, katanya dengan nada
lembut.
….
Di belakang kursi roda Aryo,
Juan yang melihat momen haru
itu merasa jengah. Dia
berdehem pelan, berusaha
mencairkan suasana. Ehem…
Apakah kalian akan terus
bermesraan di depanku seperti
ini? sindirnya sambil melipat
tangan di dada.
Aryo mendecih kecil,
menahan tawa. Kenapa, kamu
iri? Makanya, sana nikah.
Bukannya kamu bilang sudah
dijodohkan dengan tetanggamu
?
Lalu Juan menghela napas
panjang. Dia masih bocah.
Kuliah aja baru semester dua,
masa disuruh nikah sekarang?
jawabnya santai.
Kinan yang mendengar itu
menatap Juan tajam. Kamu
nyindir aku, Juan? tanyanya
dengan nada sedikit kesal.
Pasalnya Kinan juga masih
kuliah semester dua.
Juan buru-buru
menggeleng. Bukan begitu,
Kinan. Runa itu masih bocah.
Sikapnya aja kayak anak kecil.
Bukannya kamu juga kenal dia?
Kinan mengerutkan dahi,
menatap Juan dengan bingung.
Runa? Maksud kamu Runa
teman kuliahku? tanyanya
curiga.
Juan mengangguk santai.
Ya, dia itu perempuan yang
dijodohkan denganku.
Mendengar itu, Kinan
langsung tertawa terbahak.
Wah, aku nggak nyangka!
Ternyata Runa yang polos dan
ceria itu seleranya om-om juga!
godanya sambil terus tertawa.
Juan hanya mendengus
kesal, tapi memilih diam dan
tidak membalas. Dengan tenang,
dia mendorong kursi roda Aryo
menuju kamar lewat lift.
…
Setelah sampai di kamar, Juan
membantu Aryo berbring di
tempat tdur.
Baiklah, kalau begitu aku
pergi dulu. Aku masih harus ke
kantor polisi untuk
menyerahkan bukti kejahatan
Siska dan komplotannya, ujar
Juan sebelum pamit.
Aryo dan Kinan bersamaan
mengucapkan, Terima kasih,
Juan.
Juan hanya mengangguk,
lalu meninggalkan kamar
dengan langkah cepat,
meninggalkan Aryo dan Kinan
yang mulai merasa lebih tenang
setelah semua yang terjadi.
Aryo yang sedang berbaring
di tempat tdur menoleh ke
Kinan dan bertanya pelan,
Bapak gimana kondisinya,
Kinan?
Kemudian Kinan duduk
disamping Aryo dan tersenyum
tipis. Bapak udah baikan, Mas.
Sekarang sedang istirahat. Tadi
habis minum obat, jawabnya
menenangkan.
…
Setelah itu, Kinan menatap
Aryo dengan serius dan penuh
rasa ingin tahu. Mas, aku
pengen tahu apa yang
sebenarnya terjadi beberapa
hari ini. Apa yang mbak Siska
lakukan sama Mas Aryo, sampai
bisa lumpuh begini?
Aryo menghela napas
panjang, matanya menerawang.
Dia mulai menceritakan
semuanya. Awalnya aku nggak
curiga apa-apa waktu ketemu
Siska. Tapi waktu itu, aku
tiba-tiba merasa pusing dan
lemas. Ternyata dia sudah
menyemprotkan semacam
pewangi ruangan yang
mengandung obat bius. Saat aku
nggak sadar, dia menyuntikkan
cairan ke tubuhku yang
membuat saraf-sarafku lumpuh
sementara. Setelah itu, Ibuku
datang dan mulai menceritakan
semuanya.
Aryo berhenti sejenak,
mencoba menahan emosi. Bu
Kartika bilang kalau selama ini
dia hanya berpura-pura baik
kepada keluargaku. Tujuan
utamanya adalah menguasai
semua harta kekayaan keluarga
Hermawan. Bahkan, dia tega
menyusun rencana untuk
menyingkirkan Nenekku karena
warisan itu,
Kinan mnendengar itu
dengan mata berkaca-kaca. Aku
nggak nyangka, Mas… Bu
Kartika bisa sejahat itu sama
kamu dan keluargamu,
ucapnya sambil menggelengkan
kepala. Padahal selama ini aku
lihat dia sangat perhatian
padamu dan juga Nenek Lasmi.
Ternyata itu semua cuma
pura-pura…
Aryo mengusap wajahnya
kasar. Aku juga nggak nyangka,
Kinan. Aku pikir dia
benar-benar tulus
menyayangiku walaupun dia
hanya ibu tiriku. Tapi ternyata
dia hanya mengincar harta
keluargaku. Dan bukan cuma
itu. Aku juga baru tahu kalau
Siska sebenarnya anak kandung
Bu Kartika bersama Pak Heri.
Kinan terkejut, matanya
membelalak. Apa? Maksud Mas
Aryo, Mbak Siska itu anak
kandung Bu Kartika?
Aryo mengangguk pelan.
Iya. Sebelum menikah dengan
Bapak, ternyata Ibu pernah
menjalin hubungan dengan Pak
Heri. Dia hamil Siska, tapi
keluarga Pak Heri nggak setuju
karena Ibu berasal dari keluarga
miskin. Setelah itu, Ibu
menyeralhkan Siska pada pak
Heri dan menikah dengan
Bapak. Dia bertekad menguasai
seluruh harta keluarga
Hermawan. Tapi begitu dia tahu
kalau Nenek memberikan
semua warisannya ke aku, dia
dan Pak Heri menyusun rencana
baru. Mereka menikahkan aku
dengan Siska, supaya harta itu
tetap bisa mereka kuasai.
….
Kinan terdiam, mencerna
semuanya. Setelah beberapa
saat, dia mengangguk pelan dan
berkata, Pantas saja selama ini
aku merasa Ibumu lebih
membela Mbak Siska daripada
kamu. Ternyata ini alasannya…
Aryo hanya bisa menatap
Kinan dengan tatapan lelah.
Semua kebenaran yang
terungkap membuatnya merasa
hancur, tapi setidaknya dia tahu
Slapa yang benar-benar peduli
padanya.
Sore harinya, Kinan dengan
telaten membantu Aryo menuju
kamar mandi. Langkahnya
tertatih, namun Kinan tetap
setia mendampinginya.
Sesampainya di sana, Kinan
membantu Aryo duduk di kursi
mandi. Dengan lembut, Kinan
menanggalkan satu per satu
pakaian Aryo lalu
membantunya membersihkan
tubuh.
Setelah selesai, Kinan
mengeringkan tubuh Aryo
dengan handuk lembut.
Untungnya, kaki Aryo sudah
mulai bisa digeralkkan, meski
masih terasa berat. Kinan
membantu Aryo kembali ke
kamar dan membaringkannya
di atas kasur. Saat
mengeringkan bagian bawah
tubuh Aryo, sebuah pertanyaan
muncul di benak Kinan. Apa
punya Mas Aryo juga ikut
lumpuh? tanya Kinan
penasaran, matanya tak sengaja
menangkap bagian tubuh Aryo
yang terkulai lemas.
…
Aryo menggeleng pelan.
Aku juga tidak tahu, Kinan. Coba
saja kamu pegang dan urut
perlahan, mungkin saja bisa
bangun.
Dengan rasa penasaran yang
membuncah, Kinan menurut.
Jari-jarinya mulai mengelus dan
mengurut pelan milik Aryo,
memberikan sentuhan lembut.
Tak berapa lama, keajaiban
terjadi. Bagian tubuh Aryo yang
tadi lemas kini menegang dan
bereaksi.
Kinan tersenyum lega.
Alhamdulillah, ternyata masih
normal, Mas. Kirain ikut
lumpuh juga.
Lalu Aryo menatap Kinan
dalam. Naiklah ke atas, Kinan.
Kinan mengerjap bingung.
Buat apa, Mas? tanyanya polos.
Aryo tersenyum tipis.
Lepas bajumu dan naiklah.
Kamu harus bertanggung jawab
sudah membangunkan milikku.
Kinan tertegun sejenak. Ia
mulai mengerti maksud Aryo.
Dengan ragu, Kinan
menanggalkan pakaiannya lalu
naik ke atas tubuh Aryo. Apa
nggak apa-apa, Mas? tanya
Kinan lagi, memastikan.
Aryo menggeleng. Tidak
apa-apa, Kinan. Aku baik-baik
saja.
Kinan memejamkan mata,
membiarkan bibirnya bertemu
dengan bibir Aryo. Ciuman
mereka semakin dalam, penuh
gairah. Tangan Aryo
menjelajahi tubuh Kinan
dengan lembut,
membangkitkan desir yang tak
tertahankan.
…
Aku menginginkan kamu,
Kinan, bisik Aryo di telinga
Kinan.
Kinan tersenyum, tubuhnya
bergetar. Dengan lembut, Aryo
membimbing miliknya masuk
ke dalam tubuh Kinan. Kinan
merasakan sensasi baru yang
begitu menyenangkan.
Ah… Mas…pelan-pelan,
rintih Kinan.
Aryo menyuruh Kinan
bergerak perlahan, membuat
Kinan mendesah semakin keras.
Keringat membanjiri tubuh
mereka, namun mereka tak
peduli. Yang ada di pikiran
mereka hanyalabh satu sama lain,
menuntuskan keinginan
mereka.
Cahaya matahari sore
semakin redup, namun
kehangatan di antara mereka
semakin membara. Kinan dan
Aryo tenggelam dalam lautan
kenikmatan, saling memberikan
dan menerima cinta.
Keringat membanjiri tubuh
mereka, mengkilat di bawah
cahaya remang-remang kamar.
Setiap hembusan nafas Kinar
membentur dada bidang Aryo,
menciptakan irama yang
menenangkan. Tubuh mereka
saling melengkapi, bergerak
dalam harmoni yang sempurna.
Kinan memejamkan mata,
menikmati sensasi hangat yang
mengalir di seluruh tubuhnya.
Tangan Aryo menjelajahi
lekuk tubuh Kinar dengan
lembut, membangkitkan desir
yang tak tertahankan. Setiap
sentuhannya seperti aliran
listrik yang menggetarkan
seluruh sarafnya. Kinar
mendesah pelan, merengkuh
tubuh Aryo lebih erat.
Mas…aku mau keluar
lirihnya, suaranya serak karena
menahan nikmat. Tak lama
mereka merasakan kenikmatan
bersamna.
Aryo tersenyum puas. Ia
mencium puncak kepala Kinan,
menghirup aroma rambutnya
yang harum. Aku sangat
mencintaimu, Kinan.
Kinar mnembuka matanya,
menatap dalam ke mata Aryo.
Aku juga, Mas.
Mereka kembali
melanjutkan aktivitas mereka
setelah beristirahat beberapa
saat. Kinan semakin mendalami
setiap sentuhan dan gerakan.
Kinan merasakan tubuhnya
melayang, seolah-olah sedang
berada di surga. Setiap desahan
Kinan semakin menjadi,
semakin membakar semnangat
Aryo. Mereka menumpahkan
kerinduan mereka selamna ini
hingga malam menjelang.
Berbeda dengan Aryo dan
Kinan yang sedang berbahagia,
di ruang tahanan kantor polisi,
Siska tampak gelisah. Sejak pagi,
dia menunggu ayahnya datang
untuk membebaskan mereka,
tetapi hingga malam hari, tidak
ada tanda-tanda kehadiran Pak
Heri. Sambil menggigit bibirnya
dengan cemas, Siska berkata,
Kemana Ayah, Bu? Kenapa dari
tadi pagi nggak datang juga?
Ayah bilang mau segera
membebaskan kita!
Bu Kartika yang sama
cemasnya menggelengkan
kepala, berusaha menenangkan
putrinya meski hatinya sendiri
kacau. Ibu nggak tahu, Siska.
Mungkin Ayah sedang sibuk
mengurus semuanya. Coba kita
telepon dia lagi.
Siska mengangguk cepat.
Iya, Bu. Aku sudah nggak tahan
di tempat ini. Aku ingin pulang,
katanya dengan suara penuh
emosi.
Bu Kartika memanggil salah
satu petugas polisi yang berjaga
di dekat sel. Pak, maaf. Saya
ingin meminta izin untuk
menelepon suami saya lagi. Saya
perlu meminta bantuannya,’
ucap Bu Kartika dengan nada
memohon.
Polisi itu mengangguk.
99
Tunggu sebentar, Bu. Saya akan
tanyakan dulu ke atasan.
99
Beberapa menit kemudian,
petugas itu kembali, membuka
pintu sel, dan mengantar Bu
Kartika ke kantor untuk
menggunakan telepon. Dengan
tangan gemetar, Bu Kartika
memutar nomor Pak Heri, tetapi
berkali-kali mencoba, nomor itu
tidak aktif. Wajahnya semakin
pucat. Sialan! Ke mana Mas
Heri? Kenapa ponselnya malah
mati? gumamnya kesal.
Tidak menyerah, Bu Kartika
mencoba menghubungi nomor
rumah Pak Heri. Setelah
beberapa kali nada sambung,
panggilan itu diangkat oleh
seorang wanita. Halo, selamat
malam, sapa suara lembut Bu
Ratna, istri Pak Heri.
Selamat sore, Bu Ratna. Ini
saya, Bu Kartika, ibunya Aryo,
jawab Bu Kartika, berusaha
terdengar tenang.
Oh, iya, Bu Kartika. Ada
apa ya? tanya Bu Ratna
ramahmenyapa. Bu Ratna
memang belum mengetahui
hubungan gelap suaminya
dengan wanita di seberang
telepon.
Saya ingin bertanya,
apakah Pak Heri ada di rumah?
Dari tadi saya coba hubungi
ponselnya, tapi tidak aktif, ujar
Bu Kartika dengan suara penuh
harap.
Namun, jawaban Bu Ratna
membuat jantungnya mencelos.
Saya juga nggak tahu, Bu. Tadi
siang, Mas Heri tiba-tiba pulang
ke rumah dalanm keadaan
terburu-buru. Dia mengemasi
barang-barangnya dan bilang
akan pergi jauh. Saya mencoba
bertanya ke mana dia pergi, tapi
dia tidak menjawab. Malah
bilang supaya saya tidak
mencarinya lagi. Mas Heri
membawa semua barang
berharganya, Bu. Sepertinya dia
nggak akan kembali dalam
waktu dekat, kata Bu Ratna
sambil menangis.
Mendengar itu, tubuh Bu
Kartika melemas. Tangannya
gemetar memegang gagang
telepon. Apa? Jadi Mas Heri
melarikan diri? tanyanya
dengan suara hampir tak
terdengar.
Bu Ratna yang bingung
dengan situasi itu bertanya,
Apa maksudnya, Bu? Mas Heri
melarikan diri dari apa? Apa
yang terjadi?
Namun, Bu Kartika tidak
menjawab. Dengan tangan
gemetar, dia menutup telepon
dan terduduk lemas.
Petugas polisi yang
mengawalnya segera
membantunya berdiri dan
mengantarnya kembali ke sel.
Sesampainya di dalam, Siska
langsung mendekat.
Bagaimana, Bu? Apa Ayah akan
segera kemari? tanyanya tidak
sabar.
Bu Kartika hanya diam,
kemudian terduduk di lantai
dan menangis. Melihat itu,
Siska panik. Ada apa, Bu?
Kenapa Ibu menangis? Katakan,
apa yang terjadi?
Setelah beberapa saat, Bu
Kartika akhirnya berkata
dengan suara parau, Ayahmu,
dia kabur, Siska. Dia melarikan
diri dan tidak akan membantu
kita. Dia memilih
menyelamatkan dirinya sendiri
99
Siska membelalakkan mata,
tubuhnya goyah. Tidak…
Tidak mungkin! Ayah tidak
mungkin seperti itu! Ayah pasti
menolongku! teriaknya sambil
jatuh terduduk di lantai.
Tangisnya pecah, menggema di
dalam sel yang dingin.
Kalau Ayah tidak
menolong kita, lalu bagaimana
nasib kita, Bu? tanya Siska
dengan suara gemetar.
Bu Kartika hanya
menggeleng, air mata terus
mengalir di wajahnya. Ibu
tidak tahu, Siska. Ibu
benar-benar tidak tahu…
isaknya sambil memeluk lutut,
tenggelam dalam rasa putus asa.
NoteL..i..k..e.mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts