JANGAN OM (PART67)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART67
…
..
.
Satu jam sebelum rapat
dimulai, Siska tampak gelisah di
ruang tamu. Ia duduk di sofa,
meremas-remas tangannya
sambil melirik jam dinding yang
berdetakpelan. Di hadapannya,
Bu Kartika, ibunya, menatapnya
dengan senyum penuh
keyakinan.
Bu, apa Ibu yakin para
petinggi di perusahaan akan
menerimaku sebagai CEO baru?
tanya Siska, suaranya
mengandung keraguan yang
sulit disembunyikan.
Bu Kartika bangkit dari
tempat duduknya, mendekati
putrinya, lalu memegang kedua
bahunya dengan lembut. Tentu
saja, Sayang. Aryo adalah
pemilik 50 saham di
perusahaan keluarganya itu,
dan kamu, sebagai istrinya,
berhak menggantikannya,
jawab Bu Kartika dengan nada
meyakinkan.
…
Tapi… apa aku mampu?
Aku belum pernah bekerja di
perusahaan sebelumnya, balas
Siska, suaranya semakin pelan.
Bu Kartika tersenyum lebar.
Tenang saja, Sayang. Kamu
pasti bisa. Ada ayahmu yang
akan membantumu, ujarnya
penuh keyakinan.
Siska akhirnya mnengangguk
pelan. Meskipun hatinya masih
diliputi keraguan, ia mencoba
meyakinkan dirinya sendiri.
Sebelum pergi ke kantor, Siska
memutuskan untuk menemui
Aryo di kamarnya.
Ketika memasuki kamar
Aryo, ia terkejut melihat
seorang pembantu berdiridi
dekat meja obat yang biasa
digunakan Aryo.
Apa yang kamu lakukan?
tegur Siska dengan nada tajam.
Pembantu itu terkejut, lalu
berbalik menatap Siska dengan
wajah gugup. Saya sedang
membersihkan ruangan,
Nyonya, jawabnya sambil
menunjukkan lap di tangannya.
Siska memandangnya
curiga sejenak, lalu menghela
napas.Sudah, pergi sana,’
ucapnya sambil melambaikan
tangan.
Pembantu itu buru-buru
keluar dari kamar, tetapi tanpa
diketahui Siska, ia menyelipkan
botol obat ke dalam saku
bajunya sebelum pergi.
Setelah ruangan sepi, Siska
mendekati Aryo yang terbaring
lemah di tempat tidur. Ia
tersenyum sinis, menatap
suaminya dengan tatapan
penuh kemenangan.
Hari ini, aku akan
menguasai kantormu, Mas. Aku
akan menggantikan posisimu
sebagai CEO di sana, ucap Siska
dengan nada dingin.
Aryo menatapnya dengan
mata penuh kebencian. Dasar
wanita licik! Seharusnya aku
menceraikanmu sejak dulu,
wanita sialan! balasnya,
suaranya serak tapi penuh
amarah.
..
Lalu, Siska tertawa kecil.
Sayangnya, kamu tidak
melakukannya, Aryo. Aku tahu,
meskipun kamu membenciku,
kamu masih mencintaiku,
bukan? tanyanya dengan nada
mengejek.
Aryo menatapnya dengan
pandangan muak, tak
menjawab.
Oh ya, Sayang, lanjut
Siska dengan nada penuh
provokasi. Aku ingin
memberitahumu sesuatu. Aku
sudah mengusir bapakmu dari
rumahnya, dan aku berniat
menjual rumah peninggalan
nenekmu itu. Sekarang,
bapakmu terkena serangan
jantung setelah tahu istri yang
dicintainya bertahun-tahun
ternyata berkhianat.
Aryo mengepalkan
tangannya, seluruh tubuhnya
bergetar menahan amarah.
Namun, tubuhnya masih lemah
dan dia harus bersabar dulu.
Siska hanya tersenyum puas,
menikmati kemenangan
kecilnya di depan suaminya.
Setelah memberikan
suntikan kepada Aryo, Siska
meliriknya untuk terakhir kali
sebelum pergi. Ia kemudian
turun ke lantai bawah bersama
Bu Kartika. Sebelum
benar-benar meninggalkan
rumah, Siska memanggil salah
satu bodyguard yang telah ia
sewa untuk menjaga Aryo.
Jaga suamiku. Kalau ada
apa-apa, segera hubungi nomor
teleponku, ujar Siska dengan
nada serius.
Siap, Nyonya, jawab
bodyguard itu sambil
mengangguk.
Tanpa menoleh lagi, Siska
dan Bu Kartika melangkah
keluar rumah, masuk ke mobil,
dan menuju kantor Hermawan
Group.
Sementara itu, di kamar
Aryo, efek suntikan yang
diberikan oleh Siska ternyata
tidak seperti yang ia rencanakan.
Tubuh Aryo perlahan mulai
terasa lebih baik. Obat yang
seharusnya melemahkannya
telah digantikan dengan
turun ke lantai bawah bersama
Bu Kartika. Sebelum
benar-benar meninggalkan
rumah, Siska memanggil salah
satu bodyguard yang telah ia
sewa untuk menjaga Aryo.
Jaga suamiku. Kalau ada
apa-apa, segera hubungi nomor
teleponku, ujar Siska dengan
nada serius.
….
Siap, Nyonya, jawab
bodyguard itu sambil
mengangguk.
Tanpa menoleh lagi, Siska
dan Bu Kartika melangkah
keluar rumah, masuk ke mobil,
dan menuju kantor Hermawan
Group.
Sementara itu, di kamar
Aryo, efek suntikan yang
diberikan oleh Siska ternyata
tidak seperti yang ia rencanakan.
Tubuh Aryo perlahan mulai
terasa lebih baik. Obat yang
seharusnya melemahkannya
telah digantikan dengan
vitamin, berkat aksi diam-diam
pembantu setia Aryo.
Tak lama, Pembantu itu
masuk ke kamar sambil
membawa nampan berisi
sarapan. Tuan, bagaimana
kondisi Anda? tanyanya
lembut.
Aryo menggerakkan tangan
dan kakinya perlahan, lalu
tersenyum kecil. Aku merasa
lebih baik. Terima kasih,
jawabnya, nada suaranya mulai
terdengar lebih tegas.
Apakah aku boleh
meminjam ponselmu? Aku
ingin menghubungi sepupuku,
lanjut Aryo.
Pembantu itu segera
menyerahkan ponselnya tanpa
ragu. Aryo mengambilnya, lalu
menekan nomnor sepupunya,
Juan. Setelah beberapa detik,
panggilannya diangkat.
Halo, Juan. Kirim anak
buahmu kesini sekarang juga.
Siska dan ibunya sudah pergi ke
perusahaan. Kita harus segera
menghentikan mereka dan
membongkar kejahatan mereka
9
ujar Aryo dengan nada tegas.
Baiklah, Aryo. Lima belas
menit lagi anak buahku sampai
di sana, jawab Juan dengan
singkat namun penuh
keyakinan.
Setelah panggilan berakhir,
Aryo mengembalikan ponsel itu
kepada pembantu. Sebentar
lagi sepupuku dan anak
buahnya tiba di sini. Pasti akan
ada perkelahian. Lebih baik
kamu bersembunyi dulu.
…
Setelah aku keluar dari sini,
pergilah kealamat yang aku
berikan kemarin. Kamu bisa
kerja disana nantinya, ujar
Aryo memperingatkan.
Pembantu itu mengangguk,
menghormati perintah tuannya.
Iya, Tuan. Terima kasih mau
menerima saya bekerja lagi,
jawabnya.
Namun sebelum pergi,
pembantu itu memastikan Aryo
makan terlebih dahulu. Ia
membantu tuannya menikmati
sarapan dengan perlahan,
sambil terus waspada akan apa
yang akan terjadi. Di benaknya,
ia harus tetap setia dan
melindungi Aryo apa pun yang
terjadi, karena selama ini Aryo
lah yang sudah banyak
membantu dia dan keluarganya.
Juan memerintahkan anak
buahnya untuk segera
membebaskan Aryo yang
disekap di rumah Siska.
Sementara itu, dia sendiri
melaju menuju perusahaan
untuk menghentikan langkah
Siska. Saat tiba di sana, rapat
sudah dimulai, dan Siska tengah
mendeklarasikan dirinya
sebagai pengganti Aryo di posisi
CEO.
Juan membuka pintu ruang
rapat dengan langkah tegas.
Semua mata langsung tertuju
padanya.
Aku tidak menyetujui
keputusan ini, ucapnya lantang,
memecah suasana.
Siska dan Bu Kartika
serentakmenoleh ke arahnya,
mata mereka membelalak kaget.
Siska terlihat gugup, lalu
berkata, Juan? Bukankah kamu
sedang berada di London?
Bagaimana kamu bisa ada di
sini?
Juan hanya tersenyum tipis.
Dia berjalan perlahan menuju
salah satu kursi kosong, lalu
duduk dengan tenang.
Tatapannya tajam mengarah
pada Siska. Aku adalah pemilik
15 saham di perusahaan ini,
Siska. Jadi, aku berhak berada di
sini, ucapnya, suaranya dingin
namun penuh tekanan.
…
Siska gelagapan, tak mampu
menyembunyikan
kegugupannya di bawah tatapan
Juan. Bu Kartika, yang duduk di
sisi Siska, mencoba mengambil
alih situasi. Kamu tidak bisa
begitu saja menentang
keputusan ini, Juan. Siska
sekarang pemilik 50 saham di
perusahaan Hermawan. Itu
membuatnya berhak
menempati posisi CEO
menggantikan Aryo, katanya
dengan nada penuh keyakinan.
Juan kembali tersenyum,
namun kali ini ada nada
mengejek dalam sorot matanya.
Oh, begitu? balasnya datar,
namun penuh arti, seperti
menyimpan kartu as yang siap ia
keluarkan kapan saja.
Juan melirik ponselnya
ketika sebuah pesan masuk dari
salah satu anak buahnya. Pesan
itu singkat namun penuh arti
Misi berhasil. Juan tersenyum,
merasa yakin bahwa permainan
sudah mendekati akhirnya. Ia
harus mengulur waktu,
setidaknya sampai Aryo dan
polisi tiba di kantor.
Ia lalu menatap Siska
dengan pandangan menyelidik,
berusaha memancing emosi
wanita itu. Aku tidak percaya
Aryo memberikan posisinya
padamu begitu saja. Apa kamu
menjebaknya untuk
menandatangani surat kuasa
itu? tanyanya dengan nada
penuh sindiran.
Siska yang sejak awal
gelisah, tampak geram
mendengar ucapan itu. Jaga
ucapanmu, Juan. Aku istrinya,
dan dia sedang sakit. Jadi wajar
saja kalau Mas Aryo
memberikan kuasa kepadaku
untuk menggantikannya! balas
Siska dengan suara penuh emosi.
Namun sebelum suasana
mereda, salah satu peserta rapat
angkat bicara. Kalau begitu,
kenapa Anda tidak membawa
Tuan Aryo ke sini? Kalau
memang benar beliau
memberikan kuasa itu, kami
ingin mendengar langsung agar
bisa percaya bahwa Anda tidak
memaksanya, ucap pria itu
penuh curiga.
…
Siska dan Bu Kartika
tertegun. Mereka tak
menyangka situasi akan
berubah seperti ini, apalagi
dengan kehadiran Juan di ruang
rapat. Siska mencoba
memberikan alasan, berbicara
panjang lebar agar para
pemegang saham tetap percaya
padanya. Namun, keraguan
masih jelas terlihat di wajah
para peserta rapat.
Juan yang sejak tadi diam
hanya tersenyum tipis. Ketika
suasana semakin panas, ia
berdiri dan menatap semua
orang di ruangan. Maaf atas
kegaduhan ini, Bapak Ibu
sekalian, ujarnya dengan nada
santai. Tidak perlu
didengarkan ucapan dari
Nyonya Siska. CEO Hermawan
Group tetaplah Tuan Aryo.
Beliau masih sehat dan mampu
memimpin perusahaan ini ke
depannya.
Ucapan Juan membuat para
peserta rapat lega. Sebagian
besar tersenyum dan
mengangguk puas. Namun,
berbeda dengan Siska dan Bu
Kartika. Mereka menatap Juan
dengan kemarahan dan
kecemasan yang jelas tergambar
di wajah mereka.
Apa maksud ucapanmu,
Juan? Jelas-jelas Aryo sekarang
lumpuh dan tidak bisa apa-apa!
sergah Bu Kartika dengan suara
meninggi. Jangan asal bicara!
lanjutnya dengan nada
menggertak.
Juan tertawa kecil, lalu
menatap Bu Kartika dengan
tajam. Begitu kah tante? Kalau
begitu, kenapa Aryo bisa berada
di sini kalau dia benar-benar
tidak bisa apa-apa? tanyanya
retoris.
Tiba-tiba, pintu ruang rapat
terbuka. Semua orang yang
hadir menoleh ke arah pintu,
dan suasana menjadi hening
seketika. Nampak Aryo duduk di
kursi roda yang didorong oleh
salah satu anak buah Juan. Ia
terlihat rapi seperti biasa,
mengenakan setelan formal
yang sempurna. Meski kakinya
masih sedikit lemas akibat efek
obat yang sempat diberikan
padanya, wajahnya tampak
segar dan berwibawa.
Selamat pagi, semuanya,
maaf atas kegaduhan yang
disebabkan oleh Ibu dan juga
istri saya, ucap Aryo dengan
suara tegas namun hangat,
menyapa semua yang ada di
ruangan.
..
Para peserta rapat berdiri
dan memberikan hormat.
Ekspresi mereka dipenuhi rasa
hormat dan lega. Namun,
berbeda dengan Siska dan Bu
Kartika. Wajah mereka pucat
pasi, ketakutan jelas tergambar
di mata mereka saat melihat
Aryo hadir di tempat itu.
Aryo menatap tajam ke arah
Siska dan Bu Kartika. Matanya
memancarkan kekecewaan dan
kemarahan yang mendalam,
namun juga penuh kemenangan.
Ia menarik napas panjang
sebelum berbicara.
Maafkan aku, Ibu, Siska,
ucap Aryo dengan nada dingin.
Sepertinya aku menggagalkan
impian kalian untuk menguasai
perusahaan ini.
Siska tampak tergagap,
wajahnya penuh kebingungan
dan ketakutan. Mas Aryo…
bagaimana bisa kamu ada di
sini? Bukankah tubuhmu
seharusnya lumpuh total?
tanyanya, suaranya bergetar.
Aryo tertawa kecil, nada
tawanya mengandung ejekan
yang menusuk. Tidak perlu
kaget, Siska. Obat yang kalian
berikan seharusnya membuatku
lumpuh total, bukan? Tapi maaf,
rencana kalian gagal. Beberapa
hari terakhir, obat itu sudah aku
ganti dengan vitamin berkat
bantuan orang kepercayaanku.
Sekarang, kondisiku sudah jauh
lebih baik. Jadi, tenang saja,
suamimu ini tidak akan lumpuh
, ucap Aryo dengan sarkasme
yang tajam.
Mendengar ucapan Aryo,
Siska tampak panik. Ia melirik
ke arah Bu Kartika, berharap
ada jalan keluar dari situasi ini.
Bu Kartika, yang juga pucat pasi,
segera menarik tangan Siska.
Ayo kita pergi dari sini,
bisiknya dengan suara tertahan.
Namun, sebelum mereka
sempat melangkah keluar dari
ruang rapat, pintu kembali
terbuka. Beberapa polisi
berseragam masuk dengan
langkah tegas. Salah satu dari
mereka segera mendekati Siska
dan Bu Kartika, menunjukkan
surat penangkapan.
…
Siska dan Bu Kartika
langsung memberontak. Tidak!
Ini pasti ada kesalahan!
Lepaskan kami! teriak Siska
histeris, mencoba melepaskan
diri dari cengkeraman polisi.
Bu Kartika juga tidak kalah
panik. Kalian tidak punya
bukti! Ini semua fitnah!
serunya sambil terus mencoba
melawan.
Namun, usaha mereka
sia-sia. Polisi dengan cepat
mengamankan keduanya,
memborgol tangan mereka dan
membawa mereka keluar dari
ruang rapat. Para peserta rapat
hanya bisa memandang dengan
campuran keterkejutan dan
kelegaan, sementara Aryo tetap
duduk di kursi rodanya,
menatap kepergian Siska dan Bu
Kartika tanpa ekspresi.
Setelah suasana mulai
tenang, Aryo berbicara kepada
para peserta rapat. Maafkan
kekacauan yang terjadi hari ini.
Saya berjanji akan memastikan
perusahaan ini tetap berjalan
dengan baik ke depannya,
ujarnya tegas.
Semua peserta rapat
mengangguk, memberikan
dukungan penuh kepada Aryo,
yang kembali membuktikan
dirinya sebagai pemimpin sejati
Hermawan Group.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts