JANGAN OM (PART64)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART64
…
..
.
Setelah keluar dari rumah
Juan, Aryo segera melajukan
mobilnya dengan cepat.
Pikirannya masih dipenuhi oleh
fakta mengejutkan tentang
ibunya, yang ternyata selama ini
memiliki kelakuan tak jauh
berbeda dari Siska. Namun, di
tengah perjalanan, sebuah
ingatan muncul di benaknya,
membuatnya memutar arah
mobil menuju suatu tempat.
Mobil Aryo berhenti di
depan sebuah gedung dengan
plang bertuliskan Kantor
Pengacara Sadam Rekan. Itu
adalah kantor milik Pak Sadam,
pengacara keluarga Hermawan
sekaligus anak dari rekan lama
almarhum kakeknya Aryo.
Dengan langkah cepat, Aryo
memasuki ruangan.
….
Selamat siang, Om Sadam,
sapa Aryo dengan nada formal.
Pak Sadam, seorang pria
paruh baya dengan rambut yang
mulai memutih dipelipisnya,
mendongak dari dokumen di
meja kerjanya. Siang, Aryo.
Tumben kamu datang ke sini.
Ada apa? tanyanya sambil
melipat tangannya di meja.
Aryo menarik kursi dan
duduk di hadapannya. Aku ada
urusan penting, Om, katanya
serius. Aku ingin tanya soal
warisan Nenek Lasmi. Kapan
surat wasiatnya akan dibacakan
?
Pak Sadam mengerutkan
dahi sejenak sebelum menjawab.
Lusa, kalau tidak ada halangan.
Memangnya kenapa?
Aryo mencondongkan
tubuhnya ke depan, suaranya
menekan. Aku ingin tahu isi
wasiat itu sekarang, Om.
Ekspresi Pak Sadam
berubah. Tidak bisa, Aryo. Isi
wasiat baru boleh dibuka di
hadapan semua ahli waris sesuai
prosedur hukum.
Aryo menghela napas
panjang, berusaha menahan
frustrasi. Om Sadam, aku tahu
ini tidak sesuai prosedur. Tapi
aku punya alasan kuat. Aku
yakin kematian Nenek Lasmi
adalah bagian dari konspirasi.
Ada yang tidak beres, dan aku
perlu Om membantuku untuk
mengungkapnya.
Pak Sadam memandang
Aryo dengan tajam, mencoba
membaca keseriusan pemuda
itu. Konspirasi apa maksudmu
?
Aryo pun mulai bercerita.
Dengan suara rendah tapi penuh
emosi, dia menjelaskan berbagai
kejanggalan yang ia temukan
belakangan ini. Hubungan
antara ibunya, om David dan
dugaan keterlibatan mereka
dalam tragedi yang menimpa
Nenek Lasmi. Pak Sadam
mendengarkan dengan seksama,
wajahnya perlahan berubah
menjadi serius.
…
Kalau yang kamu katakan
benar, ini masalah besar,
gumam Pak Sadam akhirnya.
Dia menghela napas berat.
Baiklah, Aryo. Aku tidak bisa
memperlihatkan semuanya
sekarang, tapi aku akan
memberimu sedikit petunjuk.
Namun, ingat, ini sangat
rahasia.
Aryo menganggukmantap.
Terima kasih, Om. Aku akan
berhati-hati.
Pak Sadam membuka laci
meja, mengambil sebuah map
cokelat tebal, lalu menyodorkan
dokumen tertentu kepada Aryo.
Baca ini. Tapi jangan ada yang
tahu kamu sudah melihatnya,
terutamna keluargamu.
Aryo menerima dokumen
itu dengan tangan gemetar, rasa
penasaran bercampur takut
membanjiri pikirannya.
Ternyata benar, apa yang
selama ini dikatakan oleh Nenek
Lasmi terbukti. Seluruh aset
kekayaan keluarga Hermawan
jatuh ke tangan Aryo, sementara
Pak Bambang, ayahnya, hanya
diberikan hak untuk
menikmatinya selama hidupnya
saja. Aryo membaca isi
dokumen itu dengan hati-hati,
lalu terdiam sejenak. Pikirannya
berputar. Mengapa neneknya
tidak mnewariskan sedikit pun
harta kepada Bapaknya?
Bukankah Pak Bambang adalah
anak kandungnya?
Selama ini Aryo mengira
ucapan neneknya itu hanyalah
sekadargurauan. Namun,
setelah melihat surat wasiat itu
sendiri, ia sadar semuanya
benar. Ada alasan kuat di balik
keputusan Nenek Lasmi. Setelah
beberapa saat termenung, Aryo
menutup dokumnen itu
rapat-rapat dan menatap Pak
Sadam dengan sorot mata
penuh tekad.
…
Om Sadam, bisakah aku
minta bantuanmnu? tanyanya
pelan.
Pak Sadam mengangguk,
meski ragu. Bantuan apa yang
kamu butuhkan, Aryo?
Aryo mendekat, suaranya
hampir berbisik. Aku ingin Om
merubah isi surat wasiat ini.
Pak Sadam terkejut. Apa?
Itu tidakmungkin, Aryo! Surat
wasiat adalah dokumen legal
yang tidak bisa diubah
sembarangan. Jika aku
melakukannya, itu melanggar
hukum, ucapnya tegas.
Aryo terdiam. Ia tahu Om
Sadam adalah orang yang jujur
dan tidak mudah tergoda untuk
melakukan sesuatu yang ilegal.
Namun, ia punya rencana lain.
Aryo mengambil ponselnya,
membuka aplikasi video call,
lalu menghubungi seseorang.
Halo, Tuan, suara seorang
pria di seberang telepon
terdengar. Itu adalah Joni, salah
satu orang kepercayaan Aryo.
Halo, Jon. Bagaimana
kondisi Nenek? tanya Aryo.
Beliau sudah mulai stabil,
Tuan, jawab Joni.
Aryo mengangguk.
Arahkan kameramu ke ruang
perawatan, aku ingin
melihatnya.
…
Joni menuruti permintaan
Aryo dan mengarahkan kamera
ke tempat Nenek Lasmi dirawat.
Dalam layar, tampak Nenek
Lasmi yang masih terbaring
lemah di rumah sakit. Aryo lalu
menunjukkan layar ponselnya
kepada Pak Sadam.
Betapa terkejutnya Pak
Sadam melihat itu. Apa
maksudmu, Aryo? Jadi Bu Lasmi
… belum meninggal?
Aryo mengangguk dengan
tenang. Iya, Om. Nenek masih
hidup. Aku memang
memalsukan kematiannya
karena ada sesuatu yang tidak
beres. Aku tahu kecelakaan yang
dialami Nenek bukan
kecelakaan biasa. Itu adalah
konspirasi untuk
menyingkirkannya. Makanya
aku minta bantuan Om untuk
merubah wasiat ini, agar aku
bisa menjebak pelaku di balik
semua ini
Pak Sadam menatap Aryo
dalam diam, mencoba mencerna
semua informasi itu. Wajahnya
menunjukkan kebimbangan,
tetapi juga rasa penasaran.
Setelah beberapa saat berpikir,
ia akhirnya mengangguk
perlahan.
Baiklah, Aryo. Kalau ini
memang untuk kebaikan dan
demi mengungkap kebenaran,
aku akan membantumu, ucap
Pak Sadam dengan nada berat.
Aryo tersenyum lega.
Terima kasih, Om. Aku sangat
menghargainya.
…
Setelah mematikan
panggilan video dengan Joni,
Aryo bangkit dari kursinya dan
menjabat tangan Pak Sadam
dengan erat. Dalam hatinya, ia
tahu perjalanan untuk
mengungkap kebenaran masih
panjang, tetapi kini ia punya
sekutu yang bisa dipercaya.
Setelah keluar dari kantor
Om Sadam, Aryo memutuskan
untuk kembali ke kampus.
Sepanjang perjalanan,
pikirannya masih sibuk dengan
berbagai rencana yang harus ia
susun. Sampai di kampus, ia
membuka ponselnya dan
memeriksa pesan-pesan yang
belum sempat dibalas.
Dia mengetik pesan kepada
Kinan
Aku tadi bertemu dengan
Juan. Kamu sekarang ada di
mana?
Tak lama kemudian, Kinan
membalas.
Aku sudah di rumah, Mas.
Aryo membalas lagi dengan
cepat
Ya sudah, kalau begitu,
beristirahatlah. Aku akan
melanjutkan pekerjaanku di
kampus. Mungkin aku akan
pulang agak telat. Setelah ini,
aku ada urusan ke kantor.
Setelah mengirim pesan itu,
Aryo segera melangkah menuju
ruangannya. Sesampainya di
sana, ia menjatuhkan tubuhnya
di kursi kerja. Kepalanya terasa
berat. Ia memejamkan mata
sejenak, tangannya memijat
pelipisnya yang berdenyut.
Ya Tuhan, kenapa
semuanya jadi rumit seperti ini
?gumam Aryo pelan. Kenapa
aku dikelilingi oleh orang-orang
yang tamak akan harta dan
kekuasaan? Tidak bisakah
hidupku berjalan dengan aman
dan tenang?
…
Dalam kesunyian ruangan,
Aryo membiarkan pikirannya
melayang. la tahu tidak ada
waktu untuk meratapi keadaan.
Harta kekayaan keluarga
Hermawan, termasuk
perusahaan dan kampus ini,
adalah hasil jerih payah Nenek
dan Kakeknya. Semua itu
dirintis dengan penuh
perjuangan, dan Aryo tidak
akan membiarkan kerja keras
mereka jatuh ke tangan
orang-orang serakah, yang
hanya mementingkan
keuntungan pribadi.
Aryo mengepalkan
tangannya, tekadnya semakin
bulat. Ia harus
memperjuangkan apa yang
menjadi haknya. Bukan hanya
untuk dirinya sendiri, tetapi
juga untuk menjaga warisan dan
nama baik keluarga Hermawan.
Aku tidak akan menyerah,
bisiknya pada dirinya sendiri,
sebelum membuka laptop di
meja dan mulai bekerja lagi.
Meskipun beban yang ia pikul
berat, Aryo tahu ia harus tetap
melangkah maju. Semua ini
adalah tanggung jawab yang
harus ia selesaikan,
bagaimanapun caranya.
Beberapa hari kemudian,
seluruh anggota keluarga
Hermawan berkumpul di ruang
tamu besar rumah keluarga itu.
Di antara mereka ada Pak
Bambang, Ibu Kartika, Aryo,
Siska, dan Kinan. Wajah mereka
dipenuhi berbagai ekspresiada
yang gugup, ada yang penasaran,
dan ada yang jelas-jelas diliputi
ketegangan. Pak Sadam berdiri
di depan, membawa sebuah map
cokelat yang berisi surat wasiat.
Terima kasih kepada
semua yang sudah bersedia
hadir di sini hari ini, ujar Pak
Sadam membuka pembicaraan.
Sebagai pengacara keluarga
Hermawan, saya diberi amanah
oleh almarhumah Ibu Lasmi
untuk membacakan surat
wasiatnya kepada seluruh ahli
waris.
..
Semua orang
memperhatikan dengan
saksama. Aryo terlihat tenang,
meski pikirannya penuh dengan
rencana. Pak Bambang,
ayahnya, hanya duduk diam
dengan wajah tanpa ekspresi.
Sebaliknya, Ibu Kartika tampak
gelisah, sesekali melirik Siska
yang terlihat sama-sama tegang.
Pak Sadam membuka surat
di tangannya, menarik napas
dalam-dalam, dan mulai
membacakan isi surat tersebut.
Dengan ini, saya, Lasmi
Hermawan, menyatakan bahwa
seluruh aset dan kekayaan yang
saya miliki akan sepenuhnya
diberikan kepada cucu saya,
Aryo Hermawan. Putra saya,
Bambang Hermawan, dan
istrinya, Kartika, hanya berhak
menikmati aset keluarga
Hermawan selama hidup
mereka, tetapi tidak memiliki
hak kepemilikan atau
mewariskan kepada pihak lain.
Kata-kata itu membuat Ibu
Kartika terkejut dan marah,
meski ia berusaha
menyembunyikannya di balik
senyum palsu. Dalam hatinya, ia
menyesali perkataan mertuanya
yang dulu mengancam tidak
akan memberikan warisan
sedikit pun kepada suaminya.
Pak Sadam melanjutkan,
Namun, jika Aryo Hermawan
meninggal dunia, maka seluruh
harta kekayaan ini akan
diwariskan kepada anak Aryo,
yang saat ini masih dalam
kandungan Kinan. Jika, di masa
depan, anak yang dikandung
Kinan tidak selamat atau terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan,
maka seluruh harta kekayaan
akan diwariskan kepada analk
berikutnya dari Kinan. Namun,
jika Kinan nantinya tidak
memiliki keturunan sama sekali,
maka 50 dari harta kekayaan
ini akan diberikan kepada panti
asuhan, dan sisanya kepada
Kinan.
.
Ruangan mendadak sunyi.
Semua orang tampak terkejut.
Siska mengepalkan tangan di
pangkuannya, menahan marah
yang hampir tak terkendali.
Bagaimana mungkin nenek
Lasmi begitu mempercayai
Kinan dan anak dalam
kandungannya, sementara ia,
sebagai istri pertama Aryo tidak
diberi apa-apa?
Ibu Kartika juga
memendam rasa tidak
terimanya, tetapi ia hanya
tersenyum samar, seolah tidak
terjadi apa-apa. Dalam hatinya,
amarah menggelegak, tetapi ia
tahu ini bukan saatnya untuk
membuat keributan.
Aryo dan Pak Bambang
tetap tenang, seolah mereka
sudah mengetahui isi wasiat itu
sejak awal. Namun, bagi orang
lain, ketenangan mereka justru
terasa mencurigakan.
Setelah membacakan surat
itu, Pak Sadam menutup map
cokelatnya. Demikianlah isi
dari surat wasiat Ibu Lasmi.
Saya harap semua pihak dapat
menghormati keputusannya.
Jika ada yang ingin didiskusikan
lebih lanjut, silakan hubungi
saya di kantor.
Pak Sadam lalu berpamitan
dan pergi. Saat itu juga, Siska
berdiri dengan wajah marah.
Tanpa berkata apa-apa, ia
meninggalkan rumah tersebut
dengan langkah tergesa.
Ibu Kartika tetap duduk di
tempatnya. Ia menatap Aryo
dengan senyum yang
dibuat-buat, tetapi matanya
memancarkan sesuatu yang
dingin dan penuh rencana. Aryo
merasakan itu, tetapi ia tidak
menunjukkan reaksi apa pun.
Aryo hanya menatap ibunya
sejenak, lalu memalingkan
wajahnya kepada Kinan yang
tampak bingung. Dalam hati,
Aryo tahu, ini baru permulaan
dari konflik besar yang akan
terjadi. Ia harus bersiap untuk
melindungi warisan ini, bukan
hanya dari orang luar, tetapi
juga dari keluarganya sendiri.
Setelah semua orang
meninggalkan rumah keluarga
Hermavwan, Bu Kartika
memutuskan untuk
mendiskusikan rencananya
yang sudah ia susun diam-diam.
la mengarahkan mobilnya ke
sebuah vila terpencil, tempat
biasanya ia bertemu dengan Pak
Heri.
..
Sesampainya di sana, Bu
Kartika melihat Siska dan Pak
Heri sudah menunggunya. Siska
tampak gusar, mondar-mandir
di ruang tamu, sementara Pak
Heri duduk tenang dengan raut
wajah penuh perhitungan.
Begitu melihat kedatangan
Bu Kartika, Siska langsung
menghampirinya dengan wajah
penuh amarah.
Ibu, bagaimana ini? Apa
yang akan kita lakukan? Kita
tidak bisa membiarkan Kinan
menang! Sia-sia selama ini aku
menjadi istri Aryo, ternyata aku
tidak mendapatkan apa-apa!
seru Siska dengan suara
meninggi.
Bu Kartika menghela napas,
mencoba menenangkan Siska.
Tenanglah, Siska. Kita masih
punya rencana.
Siska menatap Bu Kartika
dengan penuh frustrasi.
Seharusnya Ibu menyingkirkan
wanita tua bangka itu sejak dulu!
Kalau saja Nenek Lasmi
meninggal dari dulu, semuanya
akan lebih mudah. Tapi
sekarang malah ada Kinan! Apa
yang akan kita lakukan?
Bu Kartika menepuk
pundak Siska dengan lembut,
mencoba menenangkan
anaknya itu. Tenang, Siska. Ibu
memang tidak menyangka Aryo
akan menikah lagi. Kehadiran
Kinan memang di luar rencana
kita, tapi itu bukan akhir dari
segalanya. Ibu dan Bapakmu
sudah memikirkan cara untuk
menguasai harta keluarga
Hermawan. Kamu hanya perlu
tenang dan mendengarkan
kami.
..
Pak Heri, yang sejak tadi
hanya diam, akhirnya angkat
bicara. Kuncinya adalah Aryo.
Kita harus memastikan dia
berada di pihak kita sebelum dia
benar-benar menceraikanmu,
Siska.
Siska memandang Pak Heri
dengan bingung. Maksud
Bapak apa? Bagaimana kita bisa
membuat Aryo berpihak pada
kita, sedangkan dia jelas-jelas
sudah sangat membenciku?
Bahkan dia sudah mengajukan
gugatan cerai ke pengadilan!
Bu Kartika tersenyum tipis,
matanya menyiratkan sesuatu
yang licik. la mendekatkan diri
ke Siska dan membisikkan
sesuatu di telinganya.
Mendengar rencana itu,
Siska membelalakkan matanya.
Ibu serius? Apa menurut Ibu ini
akan berhasil? tanyanya
dengan nada ragu, tetapi juga
penasaran.
Bu Kartika menatap Siska
dengan keyakinan penuh. Ibu
sangat yakin, Siska. Jika
rencana ini berjalan dengan
baik, Aryo tidak akan bisa
menghentikan kita. Ini
satu-satunya cara untuk
memastikan Kinan tidak
mendapatkan apa-apa.
Siska terdiam sejenak, lalu
mengangguk pelan. Meski
hatinya masih diliputi keraguan,
ia tahu bahwa Bu Kartika bukan
tipe orang yang akan berhenti
begitu saja. Dalam situasi ini, ia
tidak punya pilihan selain
mengikuti rencana ibunya.
Pak Heri hanya tersenyum
tipis, menikmati permainan
yang sedang dirancang oleh Bu
Kartika. Kalau begitu, kita akan
mulai rencana ini secepatnya.
Semuanya harus dilakukan
dengan hati-hati. Jangan
sampai ada yang mencium apa
yang sedang kita lakukan.
…
Bu Kartika dan Siska saling
pandang, kemudian
mengangguk. Mereka tahu
bahwa pertarungan ini baru saja
dimulai, dan mereka harus
memainkan setiap langkah
dengan cermat jika ingin
menang.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts