Skip to content
LahanBasah

LahanBasah

JANGAN OM (PART29)

Posted on June 4, 2025 By admin

JANGAN OM (PART29)

Isi Postingan:

JANGAN OM PART29

.

.

.

Kinan duduk di ruang tamu

rumah ibunya, matanya sembab

setelah menangis sepanjang

perjalanan. Pak Danang dan

Joni menunggu diluar rumah,

memberi Kinan ruang untuk

berbicara dengan ibunya. Wajah

ibunya berubah khawatir begitu

melihat kondisi putrinya yang

jelas tidak biasa.

Kinan, ada apa? Kenapa

kamu terlihat seperti ini? tanya

ibunya sambil menggenggam

tangan Kinan.

Kinan menunduk, air mata

kembali mengalir. Dengan suara

bergetar, ia akhirnya bicara. Bu,

aku… aku nggak tahu harus

mulai dari mana. Semuanya

terasa berat, seperti aku tidak

punya jalan keluar.

Ibunya menatap Kinan

dengan penuh kelembutan,

mencoba memberi kekuatan

lewat pandangannya. Apa yang

terjadi, Nak? Ceritakan

semuanya pada Ibu. Ibu di sini

untukmu.

…

Kinan menarik nafas

panjang dan berkata, Istri

pertama Mas Aryo, sekarang

sedang hamil, Bu. Aku baru saja

bertemu dengannya. Dia… dia

terlihat sangat bahagia,

sedangkan aku… aku juga hamil

. Suaranya pecah, tangisnya

kembali pecah tanpa bisa

ditahan.

Ibunya tertegun sejenak,

lalu memeluk Kinan erat. Lalu,

apa yang kamu takutkan Kinan?

Aku takut, Bu… Takut Mas

Aryo nggak mau nerima anakku

dan aku takut kalau dia malah

menyuruhku menggugurkan

anak ini, ujar Kinan di sela

tangisnya. Mas Aryo pasti lebih

memilih anak dari Mbak Siska,

Bu, karena dia adalah istri

pertamanya.

Ibunya mengusap lembut

punggung Kinan. Kamu sudah

terlalu banyak memikul beban,

Nak. Sekarang biarkan Ibu yang

membantu. Kita cari jalan

keluarnya bersama. Tapi satu

hal yang harus kamu ingat, anak

ini adalah tanggung jawabmu

juga, darah dagingmu. Jangan

pernah berpikir untuk

mengorbankannya hanya

karena tekanan dari orang lain.

Kinan mengangguk pelan,

meskipun rasa takutnya masih

besar. Setidaknya, ada sedikit

kelegaan karena ia tidak lagi

sendirian menghadapi

semuanya. Ia tahu, bersama

ibunya, ia akan menemukan

cara untuk melewati badai ini.

Kinan memandang ibunya

dengan mata yang masih basah

oleh air mata. Bu, bagaimana

kalau kita pergi saja dari sini?

Kita memulai hidup baru di kota

lain. Aku nggak mau dicap

sebagai perusak rumah tangga

Mas Aryo dan Mbak Siska.

Biarlah aku mengurus anakku

sendiri, Bu. Aku nggak ingin

Mas Aryo tahu tentang

kehamilanku, katanya dengan

suara lirih namun penuh tekad.

Bu Yati, ibunya,

memandang Kinan dengan

penuh kasih sayang. Ia tahu

keputusan ini tidak mudah bagi

putrinya. Apa kamu sudah

yakin, Nduk? Ini bukan

keputusan kecil, tanya Bu Yati

lembut, ingin memastikan

Kinan benar-benar siap.

Kinan mengangguk

perlahan. Aku yakin, Bu. Lebih

baik aku menjauh sekarang. Aku

ingin Mas Aryo bahagia dengan

Mbak Siska, tanpa aku di

tengah-tengah mereka.

Bu Yati menggenggam

tangan Kinan erat, mencoba

menyampaikan rasa

dukungannya lewat sentuhan

itu. Ibu menurut saja, Nduk.

Apapun keputusanmu, Ibu akan

 

ikut denganmu. Kalau ini yang

membuatmu lebih tenang dan

bahagia, Ibu tidak akan

melarang. Kita bisa memulai

dari awal di tempat lain,

katanya sambil menatap Kinan

dengan penuh keyakinan.

Kinan tersentuh mendengar

kata-kata ibunya. Ia memeluk

Bu Yati erat, seolah mencari

kekuatan dari pelukan itu.

Terima kasih, Bu. Aku nggak

tahu apa yang harus kulakukan

tanpa Ibu, ucapnya pelan.

 

…

Setelah merenung sejenak,

Kinan mengambil ponselnya

dan memberanikan diri

menghubungi Siska. Ia sadar,

meskipun berat, ini adalah

langkah yang harus diambil

untuk menyelesaikan semuanya.

Ketika telepon tersambung,

suara Siska terdengar di

seberang sana, lembut namun

tegas. Kinan? Ada apa?

tanyanya.

Kinan menarik napas

dalam-dalam sebelum berbicara.

Mbak Siska, aku sudah

memutuskan. Aku akan pergi

dari kehidupan Mas Aryo. Aku

nggak mau jadi penghalang

kebahagiaan kalian. Tapi aku

punya satu permintaan. Tolong

pastikan Mas Aryo tidak akan

pernah menemukan aku lagi.

..

Aku ingin memulai hidup baru,

jauh dari semua ini.

Ada jeda sejenak sebelum

Siska menjawab, suaranya

terdengar lebih lembut. Aku

menghargai keputusanmu,

Kinan. Kalau itu yang kamu

inginkan, aku akan memastikan

Aryo tidak mencari kamu lagi.

Aku akan melakukan apa yang

bisa aku lakukan untuk

membantumu.

Kinan merasa beban di

dadanya sedikit terangkat.

Terima kasih, Mbak Siska. Aku

hanya ingin kalian bahagia,

tanpa aku di antara kalian,

ujarnya dengan suara lirih.

Setelah percakapan itu

selesai, Kinan menatap ibunya.

Bu, semuanya sudah kuurus.

menatap langit malam. Ada

perasaan tak nyaman yang

mengganggunya sejak tadi. Ia

menghela napas panjang, lalu

meraih ponselnya. Jemarinya

sempat mengetik nama Kinan di

daftar kontak, berniat untuk

meneleponnya.

…

Namun, saat ia melihat jam

di layar ponselnya, Aryo

menyadari bahwa di tempat

Kinan sekarang pasti sudah

tengah malam. Ah, mungkin

dia sudah tidur, gumam Aryo

pelan. Ia memutuskan untuk

menunggu hingga pagi sebelum

menghubungi Kinan.

Meski begitu, perasaan

gelisah itu tidak hilang. Aryo

mencoba menenangkan

pikirannya, tapi bayangan

Kinan terus muncul di

benaknya. Apa dia baik-baik

saja? tanyanya pada dirinya

sendiri. Tanpa ia sadari, rasa

cemas itu perlahan-lahan

berubah menjadi kekhawatiran

yang lebih dalam.

 

 

Keesokan paginya, Kinan

bangun lebih awal dari biasanya.

Ia menyiapkan barang-barang

yang diperlukan dengan

hati-hati. Tak ingin

menimbulkan kecurigaan,

Kinan hanya membawa

beberapa pakaian dan barang

penting dalam sebuah ransel. Ia

memastikan tidak ada yang

menyadari apa yang sedang

direncanakannya, terutama

Mbok Sumi dan para bodyguard.

Saat keluar kamar, ia

tersenyum seperti biasa kepada

Mbok Sumi. Mbok, aku mau ke

kampus dulu ya. Hari ini ada

acara, jadi aku bawa baju ganti,

katanya sambil mengangkat

ransel yang terlihat agak besar.

Mbok Sumi mengangguk

sambil tersenyum. Hati-hati di

jalan, Nduk. Jangan lupa makan

kalau di kampus, ya.

Iya, Mbok, jawab Kinan

dengan nada tenang, meskipun

hatinya berdebar. Ia tahu ini

mungkin terakhir kalinya ia

berada di rumah ini.

Seperti biasa, Pak Danang

sudah menunggu di mobil untuk

mengantar Kinan ke kampus.

Perjalanan berlangsung seperti

hari-hari sebelumnya, tanpa ada

tanda-tanda yang

mencurigakan. Setibanya di

kampus, Kinan melihat sekilas

pada Pak Danang sebelum mobil

itu melaju pergi. Ia menghela

napas panjang, memastikan Pak

Danang benar-benar telah pergi,

lalu mengambil ponselnya

untuk menghubungi Siska.

…

Mbak Siska, aku sudah di

kampus. Aku tunggu di sini,

katanya pelan, berusaha agar

suaranya tidak terdengar terlalu

tegang.

Tak lama kemudian, sebuah

mobil mewah berhenti di depan

Kinan. Siska keluar dari mobil

bersama seorang pria yang

tampak seperti anak buahnya.

Wajah Siska tampak tenang,

tapi senyumnya menyimpan

sesuatu yang sulit dibaca.

Sudah siap, Kinan? tanya

Siska sambil melihat ransel di

tangan Kinan.

Sudah, Mbak. Tapi kita

harus ke rumah ibu saya dulu.

Saya perlu menjemput ibu dan

adik saya, jawab Kinan tegas.

Siska berpikir sejenak, lalu

mengangguk. Baiklah, kita ke

sana dulu.

Mereka pun masuk ke mobil

dan meluncur menuju rumah

Bu Yati. Sepanjang perjalanan,

Kinan hanya diam,

memandangi jalanan yang

terasa lebih panjang dari

biasanya. Hatinya campur aduk,

antara lega karena akan pergi

dari kehidupan Aryo dan sedih

karena harus meninggalkan

semuanya.

Sesampainya di rumah Bu

Yati, Kinan segera turun dan

mengetuk pintu. Bu Yati

membuka pintu dengan wajah

yang penuh harap, sementara

adik kinan, Dimas, berdiri di

belakang ibunya dengan ransel

kecil di punggungnya.

…

Kami sudah siap, Nduk?

ucap Bu Yati dengan lembut.

Kinan mengangguk. Iya,

Bu. Kita harus pergi sekarang.

Bu Yati memeluk putrinya

sebentar sebelum mereka masuk

ke dalam mobil. Dimas,

meskipun masih kecil, tampak

mengerti bahwa ini adalah

perjalanan yang penting.

Mereka semua duduk di kursi

belakang, sementara Siska

mengatur semuanya dari kursi

depan, senyum samar di

wajahnya.

Mobil melaju pergi,

membawa Kinan, Bu Yati, dan

Dimas menuju awal baru yang

belum mereka tahu akan seperti

apa. Namun, di dalam hati

Kinan, ia hanya berharap bahwa

keputusannya untuk pergi

adalah yang terbaik bagi mereka

semua.

Mobil Siska berhenti di

depan terminal keberangkatan

bandara. Kinan, Bu Yati, dan

Dimas keluar dari mobil dengan

perasaan campur aduk. Kinan

memandang Siska yang keluar

menyusul mereka, sambil

membawa amplop dan tiga tiket

pesawat.

Siska menatap Kinan

dengan senyum tipis. Kamu

akan pergi ke luar kota, cukup

jauh dari sini. Di sana, sudah

ada seseorang yang akan

menjemput kalian dan

mengantar kalian ke rumah

baru. Aku harap kamu bisa

memulai hidup baru dan

melupakan semuanya.

Kinan hanya mengangguk

pelan. Ia terlalu lelah untuk

berpikir atau berdebat, hanya

ingin segera menyelesaikan ini

dan memulai babak baru dalam

hidupnya.

….

Siska kemudian

menyerahkan tiket pesawat dan

sebuah amplop tebal kepada

Kinan. Ini tiket kalian, dan ini.

.., ia menunjuk amplop itu, …

modal untuk kehidupan barumu

di sana.’

Kinan menggeleng,

menolak pemberian itu. Tidak

usah, Mbak. Aku tidak ingin

uang darimu, katanya,

suaranya terdengar tegas

meskipun lembut. Aku hanya

ingin pergi dengan cara yang

baik tanpa perlu merasa

berhutang apa-apa.

Siska memaksa amplop itu

ke tangan Kinan. Terima saja,

Kinan. Aku tidak mau dikatakan

jahat karena menyuruhmu pergi

begitu saja, tanpa memikirkan

nasibmu kedepannya.

Setidaknya, ini bisa membantu

kamu dan keluargamu memulai

sesuatu yang baru.

Kinan terdiam sejenak, lalu

menghela napas panjang. Ia

akhirnya mengangguk kecil,

menerima amplop itu. Terima

kasih, Mbak. Aku akan ingat

kebaikanmu ini, ucapnya

dengan tulus, meskipun di

dalam hatinya ada rasa perih

yang tak bisa diungkapkan

dengan kata-kata.

Siska tersenyum lega.

Selamat jalan, Kinan. Aku harap

kamu bahagia di sana.

Kinan menunduk sedikit,

tanda hormat sekaligus ucapan

perpisahan, lalu menggandeng

tangan Bu Yati dan Dimas.

Mereka bertiga berjalan masuk

ke bandara tanpa menoleh lagi

ke belakang.

…

Siska berdiri di tempatnya,

mengamati punggung Kinan

yang semakin jauh. Saat mereka

akhirnya menghilang di balik

pintu masuk, senyuman di

wajah Siska berubah menjadi

seringai puas. Akhirnya selesai

, gumamnya pelan. Aryo

sekarang hanya milikku, dan

Kinan tidak akan pernah

kembali lagi.

Dengan langkah ringan,

Siska kembali ke mobilnya,

merasa lega karena telah

berhasil menyingkirkan

ancaman terbesar dalam

hidupnya. Sementara itu, di

dalam bandara, Kinan mencoba

menguatkan dirinya untuk

perjalanan yang akan datang.

Meski berat, ia yakin bahwa

keputusan ini adalah yang

terbaik untuk dirinya dan

keluarganya.

NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin


Related: Explore more posts

Kisah Menarik Tags:Cerita Basah, Cerita Dewasa, Cerita Panas, Cerita Seru, Kisah Basah, Kisah Seru

Post navigation

Previous Post: JANGAN OM (PART30)
Next Post: JANGAN OM (PART28)

Related Posts

BALADA BESAN DAN MENANTU (PART81) Kisah Menarik
Tetangga menggoda ( part3 ) Kisah Menarik
ADIK IPAR PELIPUR LARA (PART7) Kisah Menarik
JANGAN OM (PART15) Kisah Menarik
ADUK IPAR PELIPUR LARA (PART4) Kisah Menarik
Tetangga menggoda (PART9) Kisah Menarik

Recent Posts

  • Judul : Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Malam Pertama di Kos-Kosan
  • Judul: Rahasia di Balik Ruang Meeting
  • Judul: “Rahasia di Balik Ruang Meeting”
  • ***ENNY ARROW ***

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • June 2025

Categories

  • Kisah Menarik

Copyright © 2025 LahanBasah.

Powered by PressBook Grid Dark theme