JANGAN OM (PART21)
Isi Postingan:
JANGAN OM PART21
…Ceritadewasa…
.
.
.
Siang itu, Aryo
memutuskan untuk bertemu
dengan Cecil, istri dari pemilik
agensi tempat Siska berenang.
Pertemuan berlangsung di
sebuah restoran VIP dengan
Suasana yang kental akan
ketegangan. Aryo duduk diam,
menatap Cecil dengan tajam,
sementara Cecil membalas
tatapannya dengan sorot mata
penuh kebencian.
…
Berapa yang kau minta?
tanya Aryo tanpa basa-basi.
Cecil mengernyitkan dahi,
matanya menyipit. Apa
maksudmu, Tuan Aryo?
jawabnya, nada suaranya tegas
dan dingin.
Tidak usah berbelit-belit,
Nyonya. Aku tahu kalian pasti
menginginkan uang dari Siska,
ucap Aryo tanpa ragu.
Cecil mendengus kesal, lalu
menatap Aryo lebih tajam.
Anda jangan memfitnah saya,
Tuan Aryo. Semua ini terjadi
karena kesalahan istrimu,
karena anda tidak bisa mendidik
istri dengan baik, balasnya,
nadanya penuh sindiran yang
menusuk.
Aryo tersenyum tipis, tapi
pandangannya tetap dingin. Itu
urusanku, Nyonya. Bagaimana
caraku mendidik istriku bukan
urusanmu. Sekarang katakan
apa yang kalian inginkan,
tuntutnya.
Cecil menyilangkan tangan
di depan dada, lalu menyatakan
dengan nada penuh dendam,
Aku hanya ingin karir istrimu
hancur.
….
Aryo terdiam sejenak,
menatap Cecil dengan ekspresi
datar. Oh, benarkah? ucapnya
perlahan, lalu melipat
tangannya didada Kalau begitu,
silakan saja virallkan berita itu.
Kita lihat siapa yang akan
hancur. Bukan hanya karir
istriku, tapi agensi milik
suamimnu juga akan hancur.
Cecil tertegun sesaat,
tatapannya menyiratkan
amarah yang sulit ia bendung.
Namun, Arya tetap tenang,
memperlihatkan ketegasan
yang tak tergoyahkan.
Ketegangan di antara merelka
terus menguap, seakan
memenuhi ruangan dengan
aura dingin yang menusuk.
Baiklah, sekarang katakan
berapa yang bisa kau berikan
untukku, ujar Cecil akhirnya,
suaranya terdengar lebih tenang
namun sarat dengan nada licik.
Arya tertawa kecil, menatap
Cecil dengan pandangan yang
penuh kemenangan. Sudah
kuduga, gumamnya pelan.
Berapa yang Anda inginkan?
tanyanya lagi, kali ini nada
suaranya sedikit mengejek.
Sepuluh miliar, jawab
Cecil tanpa ragu, matanya
menyala dengan harapan tinggi.
Arya hanya mengernyitkan
dahinya, lalu menatap Cecil
dengan pandangan yang tajam.
Jadi Anda ingin menjual suami
Anda dengan harga sepuluh
miliar? tanyanya dengan nada
sinis. Ia mencondongkan
tubuhnya sedikit ke depan,
menekankan maksudnya. Aku
akan beri Anda lima miliar.
Tidak lebih, tidak kurang. Entah
Anda mau atau tidak, hanya itu
yang bisa aku berikan.
….
Cecil mendengus, wajahnya
merah padam. Oh, jadi ini
suami dari Siska? Aku kira Anda
sangat kaya raya, hingga
kelakuan Anda begitu sombong.
Nyatanya Anda bahkan tidak
bisa memberiku sepuluh miliar,
balas Cecil dengan nada
mengejek.
Arya tertawa pelan, lalu
menggelengkan kepala. Anda
meminta sepuluh miliar? Ini
bukan hanya kesalahan istriku,
Siska, tapi juga suami Anda.
Jadi, sebaiknya lima miliarnya
lagi Anda minta pada suami
Anda, ucap Arya dengan tenang
namun menusuk.
Tanpa banyak bicara lagi,
Arya mengeluarkan sebuah
kartu ATM dari sakunya. Di
dalam sini ada lima miliar lebih,
anggap saja sisanya sebagai
amal. Aku anggap masalah ini
selesai. Terserah Anda mau
menerimanya atau tidak,
ujarnya, lalu meletakkan kartu
itu di meja, tepat di depan Cecil.
Setelah itu, Arya bangkit
dari tempat duduknya, memberi
Cecil satu pandangan terakhir
sebelum berbalik dan pergi
meninggalkan restoran. Cecil
hanya bisa terdiam, matanya
menatap tajam ke arah kartu itu,
sementara amarahnya
memuncak. Namun, ia tidak
berkata apa-apa, hanya
termenung dalam kekesalan
yang mendidih di dadanya.
….
Hari ini, Kinan
memutuskan meminta izin
kepada Aryo untuk pulang ke
kampung halamannya demi
menjenguk ibunya yang dirawat
di rumah sakit. Karena Aryo
tidak datang ke vila hari ini,
Kinan mengirimkan pesan
melalui ponsel.
Mas, hari ini aku ingin
pulang ke kampung menemui
Ibu. Kemarin Sally
mengabariku kalau lbu masuk
rumah sakit.
Pesan itu dikirim Kinan
dengan hati yang cemas. Tak
berselang lama, ponsel Kinan
berdering. Aryo menelepon.
Halo, Mas, sapa Kinan
ketika mengangkat telepon.
Apa kamu yakin, ingin
pulang hari ini? tanya Aryo,
nadanya sedikit terkejut.
Iya, Mas. Ibu masuk
rumah sakit. Jadi aku harus
pulang sebentar untuk
menjenguknya dan memastikan
kondisinya, jawab Kinan
dengan suara lembut namun
tegas.
Aryo terdiam sejenak di
ujung telepon sebelum akhirnya
berkata, Baiklah, kalau begitu
aku akan menghubungi Pak
Danang untuk mengantarmu.
Kau juga akan pergi bersama
dua bodyguard yang ada di vila,
demi keamanan.
Walaupun merasa sedikit
keberatan dengan pengawalan
tersebut, Kinan menyadari Aryo
hanya ingin memastikan
dirinya aman. Ia pun
mengangguk kecil meskipun
Aryo tak bisa melihatnya.
Baiklah, Mas. Aku akan pergi
bersama Pak Danang dan para
bodyguard. Terima kasih.
Jaga dirimu baik-baik,
Kinan dan sampaikan salamku
pada Ibumu, ucap Aryo
sebelum menutup telepon.
Setelah panggilan berakhir,
Kinan segera bersiap-siap untuk
perjalanan pulangnya ke
kampung. Pikirannya dipenuhi
kekhawatiran tentang kondisi
ibunya, tetapi ia berusaha tetap
tenang. Dengan bantuan Pak
Danang dan pengawalan dari
para bodyguard, Kinan
berharap perjalanannya
berjalan lancar dan ia bisa
segera berada di sisi ibunya.
Setelah menempuh
perjalanan panjang, Kinan
akhirnya tiba di rumah sakit
tempat ibunya dirawat. Dengan
langkah cepat dan hati yang
gelisah, ia menuju meja
informasi untuk menanyakan
lokasi kamar ibunya.
….
Permisi, saya mau tanya, di
mana ruangan Ibu Daryati
dirawat? tanya Kinan.
Petugas informasi
memeriksa daftar pasien, lalu
menjawab, Ibu Daryati ada di
Ruangan 3, Bangsal C. Silakan
ke arah kiri, lalu belok kanan.
Kinan mengucapkan terima
kasih, kemudian berjalan cepat
menuju ruangan yang dimaksud.
Saat tiba di depan pintu, ia
berhenti sejenak, mengatur
napasnya yang terasa berat.
Kemudian ia melangkah masuk.
Matanya langsung tertuju
pada ibunya yang terbaring
lemah di salah satu tempat tidur
sendirian. Hati Kinan terasa
sesak melihat kondisi ibunya.
Ruangan itu sederhana, bahkan
penuh sesak karena harus
dihuni oleh delapan pasien,
termasuk ibunya. Kinan
mendekat dengan langkah
perlahan, matanya mulai
berkaca-kaca.
Ibu, panggil Kinan dengan
uara lirih, air matanya mulai
mengalir.
Mendengar suara putrinya,
Bu Yati membuka matanya yang
lemah. Begitu melihat Kinan,
air mata langsung mengalir di
wajahnya. Kinan… anakku,
suara Bu Yati terdengar serak
namun penuh haru.
Kinan mendekati ibunya,
lalu meraih tangan Bu Yati yang
dingin. Ia memeluknya dengan
erat. Maafkan Kinan, Bu…
Maaf Kinan baru datang
sekarang, ucap Kinan, isaknya
pecah.
Bu Yati membalas pelukan
itu dengan lemah. Maafkan Ibu,
Nak. Maaf Ibu nggak bisa
menghentikan Bapakmu waktu
itu… Maafkan Ibu yang nggak
bisa melindungimu, tangis Bu
Yati pecah di pelukan Kinan.
Kinan mencoba
menenangkan ibunya, meski
dirinya juga menangis. Sudah,
Bu… Jangan minta maaf. Ini
bukan salah Ibu. Sekarang
Kinan di sini, Ibu cepat sembuh
ya!!.
Bu Yati mengusap pipi
putrinya yang basah. Ibu
kangen sama kamu, Nak… Ibu
cari-cari informasi tentangmu,
tapi nggak ada yang tahu di
mana kamu selama ini, ucap Bu
Yati dengan suara bergetar.
Kinan menunduk, mencium
tangan ibunya dengan penuh
rasa bersalah. Maafkan Kinan,
Bu.. Maaf Kinan terlalu lama
pergi. Sekarang Kinan akan jaga
Ibu. Ibu nggak perlu khawatir
lagi.
Tangisan keduanya
memenuhi ruangan, namun
juga membawa kehangatan yang
sudah lama hilang. Di tengah
segala keterbatasan dan
kepedihan, mereka kembali
merasakan kehadiran satu sama
lain, sebuah momen yang telah
lama mereka rindukan.
….
Setelah memastikan ibunya
tertidur dengan tenang, Kinan
mengambil ponselnya dan
segera mengirimkan pesan
kepada Aryo, memberitahukan
bahwa ia sudah sampai di rumah
sakit tempat ibunya dirawat.
Tak lama setelah itu, Aryo
meneleponnya melalui vide0
call.
Halo, Mas, sapa Kinan
dengan suara lembut.
Halo, balas Aryo. Baru
ngapain?
Aku baru saja memastikan
Ibu tidur, Mas Aryo dimana
sekarang? jawab Kinan.
Aku masih di kantor, ucap
Aryo, sambil sesekali melirik
layar komputer di depannya.
Kamu di rumah sakit sama
siapa? tanyanya kemudian.
Aku sendiri, cuma sama
Ibu berdua, jawab Kinan sambil
menahan rasa lelah.
Berdua saja? Aryo tampak
heran. Tapi kenapa ramne
sekali? tanyanya lagi, terlihat
penasaran.
Kinan menghela napas, lalu
membalikkan kamera
ponselnya, memperlihatkan
suasana ruangan tempat ibunya
dirawat. Kami di Bangsal Tiga,
Mas. Jadi di satu ruangan ada
delapan pasien, termasuk Ibu,
jelas Kinan.
Aryo terkejut melihat
kondisi tersebut. Kinan,
katanya serius setelah Kinan
kembali membalikkan kamera,
sebaiknya kamu pindahkan
ibumu ke ruang VIP.
VIP? Enggak usah, Mas.
Ruang VIP di sini mahal, jawab
Kinan dengan nada ragu.
Tidak apa-apa, sahut Aryo
tegas. Aku yang akan
membayarnya. Ibumu sedang
sakit, dia butuh tempat yang
lebih tenang untuk beristirahat.
Kalau tetap di tempat seramai
itu, dia tidak akan cepat sembuh
Kinan terdiam sejenak,
merenungkan ucapan Aryo.
Perhatiannya membuat hati
Kinan sedikit hangat, walau ia
masih merasa ragu. Akhirnya,
Kinan menganggukkan
kepalanya. Baiklah, Mas. Aku
akan mengurusnya, ucapnya
perlahan.
Tidak usah, potong Aryo
cepat. Aku akan menghubungi
Joni. Biar Joni saja yang
mengurus semuanya.
Kinan tersenyum tipis.
Terima kasih, Mas, ucapnya
tulus sebelum sambungan
telepon berakhir.
….
Setelah telepon ditutup,
Kinan memandang ibunya yang
tertidur lemah. Dalam hatinya,
ia merasa sedikit lega karena
Aryo selalu ada untuk
membantunya. Dengan langkah
hati-hati, ia kembali duduk di
samping tempat tidur ibunya,
menunggu kabar dari Joni yang
akan mengurus semuanya.
Tak lama setelah Kinan
menutup teleponnya dengan
Aryo, beberapa petugas rumah
sakit datang ke Bangsal Tiga.
Salah satu dari mereka
mendekati Kinan dengan ramah.
Maaf Kak, Ibu Daryati akan
kami dipindahkan ke ruang
rawat VIP’sekrang, ujar petugas
itu.
Kinan terkejut sejenak,
meskipun ia tahu ini semua
sudah diurus oleh Joni,
bodyguard yang ditugaskan
Aryo. Oh, baik. Terima kasih,
jawabnya sambil berdiri.
Petugas lain dengan
hati-hati memindahkan Bu Yati
dari tempat tidurnya ke ranjang
dorong. Kinan terus
mendampingi, memastikan
ibunya tetap nyaman. Bu Yati
yang masih lemah hanya bisa
menatap Kinan dengan bingung.
Kinan, kita mau ke mna, Nak
? tanyanya dengan suara pelan.
Kinan meraih tangan
ibunya, menggenggamnya erat.
Kita pindah ke ruang yang lebih
tenang, Bu, biar Ibu bisa
istirahat dengan nyaman,
jawab Kinan lembut.
….
Petugas membawa mereka
ke lantai yang lebih tenang dan
eksklusif. Setelah beberapa
menit, mereka tiba di ruang VIP.
Ruangan itu jauh lebih luas dan
nyaman, dengan fasilitas yang
lebih baik dibandingkan bangsal
sebelumnya. Ada sofa, televisi,
dan kamar mandi pribadi.
Suasananya begitu tenang, jauh
dari keramaian bangsal.
Setelah memastikan Bu Yati
sudah dipindahkan dengan baik
ke tempat tidur baru, salah satu
petugas berkata, Kalau ada
kebutuhan lain, Ibu bisa
menghubungi kami. Selamat
beristirahat. Mereka pun pergi
meninggalkan ruangan.
Kinan duduk di samping
ibunya, menggenggam
tangannya lagi. Sekarang Ibu
bisa lebih nyaman di sini,
katanya.
…
Bu Yati menatap putrinya
dengan mata berkaca-kaca.
Kinan, ini pasti mahal.
Bagaimana kamu bisa
membayarnya, Nak? tanyanya
penuh kekhawatiran.
Kinan tersenyum tipis. Ibu
tidak perlu khawatir. Semua
sudah diurus. Yang penting
sekarang Ibu fokus sembuh dulu,
ya.
Bu Yati hanya bisa
mengangguk lemah, lalu
memejamkan matanya untuk
beristirahat, karena badannya
masih lemas. Kinan menghela
napas lega, bersyukur karena
Aryo membantu memberikan
kenyamanan untuk ibunya di
saat-saat sulit ini.
Dalam keheningan itu,
tiba-tiba pintu ruangan dibuka
dari luar, Brakkkk…..suaranya
begitu kencang sampai
membuat Ibu Yati bangun.
Anak kurang ajar!! Siapa
yang nyuruh kamu
memindahkan ke ruangan VIP?
! Suara pak Dody, ayah tiri
Kinan pun menggelegar
diseluruh penjuru ruangan.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts