BALADA BESAN DAN MENANTU (PART70)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART70
…CERITADEWASA…
.
.
.
Namaku Rangga Wiratama. Anak bungsu dari
Pak Wira, dan suami dari Fuji Lestari-atau
yang lebih sering kupanggil, Tari. Usiaku 28
tahun, selisih lima tahun dengan istriku. Tapi
jiwa kami… barangkali sudah tua sebelum
waktunya.
.
.
.
Jika kalian menduga aku lelaki polos yang
dibutakan cinta, yang tidak tahu apa-apa
tentang kelicikan istriku di belakangku, maka
kaalian keliru besar. Aku tahu semua gerak
Tari, setiap jejak langkahnya, karena aku
punya mata-mata yang tak pernah tdur.
Meski ragaku lebih sering terdampar di
pedalaman Kalimantan karena urusan
pekerjaan, pikiranku tetap tinggal di kota,
membayangi semua yang dilakukan istriku
dengan banyak lelaki di luar sana. aku bahkan
jauh lebih memhami siapa Bu Lina, ibuku
sendiri.
Lalu, mengapa aku diam? Mengapa aku tak
murka, tak mencak-mencak seperti pria
kebanyakan?
Karena aku pun bukan pria suci.
Dari sejak kelas tiga bangku SMA hingga kuliah
dulu, aku sudah belajar menjadi bjingn.
Tertawa di balik luka orang lain, menikmati
gelapnya kehidupan malam, mencicipi banyak
hal yang seharusnya tak kusebut di sini.
Bahkan hingga hari ini, dosa-dosa itu masih
tetap aku lakukan dalam banyak petualangan
hitam.
.
.
Jadi, siapa aku untuk menuntut kesucian dari
seorang istri… jika tanganku sendiri lebih dulu
kotor?
Dan inilah kisahku. Kisah yang tak pernah
kuceritakan pada siapa
siapa pun. Tentang
kenakalanku yang bermula dari hari-hari
penuh kebebasan di masa sekolah dan kuliah,
dan tak pernah benar-benar berhenti sampai
hari ini.
Kisah Ini diawali dari ketika aku kelas tiga
SMA.
Dulu waktu aku SMA, aku selalu pilih-pilih
dalam mencintai wanita. Aku tak pernah
mendekati seorang cewek pun di SMA.
Padahal boleh dibilang aku ini bukan orang
yang jelek-jelek amat. Para gadis sering
histeris ketika melihat aku beraksi di bidang
olahraga, seperti basket, lari dan sebagainya.
Dan banyak kata cinta cewek yang tidak
kubalas. Sebab aku tidak suka mereka.
Untuk masalah pelajaran aku terbilang
normal, tidak terlalu pintar, tapi teman-teman
memanggilku kutu buku, padahal masih
banyak yang lebih pintar dari aku. Mungkin
karena aku mahir dalam bidang olahraga dan
dalam pelajaran aku tidak terlalu bodoh saja
akhirnya aku dikatakan demikian.
Pada suatu waktu orang tuaku pindah ke
kampung, mengembangkan
bisnis
pertaniannya. Maka aku pun akhirnya tinggi
numpang atau lebih tepatnya di titipkan di
rumah Tante Devi, adik tiri ibuku, beda ayah.
Karena ayah dan ibuku tidak mengizinkan aku
tinggal kost sendiri. Maklum, mereka takut
anak baiknya menjadi badung.
Tant Devi single parent, tinggal bersama kedua
anaknya, semenjak suaminya meninggal
ketika aku masih SMP. Tante Devi mendirikan
usaha sendiri di kota ini. Yaitu berupa rumah
makan yang lumayan laris, dengan bekal itu ia
bisa menghidupi kedua anaknya yang masih
duduk di bangku SD.
Sebenarnya kami jarang bertemu karena walau
tinggal satu kota, Tante Devi orang sibuk.
Barulah setelah tinggal bersamanya, aku
menyadari jika Tante Devi kelihatan masih
muda, usianya masih 32 tapi dia sangat cantik.
Rambutnya masih panjang terurai, wajahnya
sangat halus, ia masih seperti gadis. Dan jika
jalan-jalan di dalam mobil berdua jantungku
sering berdebar-debar.
.
.
.
Capek gak Rangga? tanyanya ketika aku baru
kembali pulang kampung dan dia jemput di
termila.
Iyalah Tante, di kereta duduk terus dari pagi,
jawabku.
Tapi Tante Devi masih segera aja ya?
Ia ketawa, Ada-ada saja kamu.
Selama tinggal di rumahnya Tante Devi. Aku
sedikit demi sedikit mencoba akrab dan
mengenalnya. Banyak sekali hal-hal yang bisa
aku ketahui darinya. Dari kesukaannya, dari
pengalaman hidupnya. Aku pun jadi dekat
dengan anak-anaknya. Aku sering mengajari
mereka pelajaran sekolah.
Tak terasa sudah lebih dari lima bulan aku
tinggal di rumah ini. Dan Tante Devi
sepertinya adalah satu-satunya wanita yang
menggerakkan hatiku. Aku benar-benar jatuh
cinta padanya. Tapi aku tak yakin apakah ia
cinta juga kepadaku. Apalagi ia adalah tanteku
sendiri.
Malam itu sepi dan hujan di luar sana. Tante
Devi sedang nonton televisi. Aku lihat kedua
anaknya sudah tidur. Aku keluar dari kamar
dan ke ruang depan. Tampak Tante Devi asyik
menonton tv. Saat itu sedang ada sinetron.
Nggak tdur, Rang? tanyanya.
Masih belum ngantuk, Mbak, jawabku.
Aku duduk di sebelahnya. Entah kenapa lagi-
lagi dadaku berdebar kencang. Aku bersandar
di sofa, aku tidak melihat tv tapi melihat
Tante Devi. Ia tak menyadarinya. Lama kami
terdiam.
.
.
.
Kamu banyak diam ya, katanya.
Eh… oh, iya, kataku kaget.
Mau ngobrolin sesuatu? tanyanya.
Ah, enggak, pingin nemeni Tante Devi aja,
jawabku.
Ah kamu, ada-ada aja
Serius mbak
Makasih
Restorannya gimana mbak? Sukses?
Lumayanlah, sekarang bisa waralaba. Banyak
karyawannya, urusan kerjaan semuanya tak
serahin ke general managernya. Mbak sewaktu
-waktu saja ke sana, katanya. Gimana
sekolahmu lancar?
Ya, begitulah mbak, lancar saja, tinggal enam
bulan lagi, mudah-mudahan lulus dengan
nilai baik, jawabku.
Aku memberanikan diri memgang
pndknya untuk memjat. Saya pijtin ya
mbak, sepertinya mbak capek.
Makasih, nggak usah ah, Rangga.
Nggak papa kok mbak, cuma dipijit aja,
emangnya mau yang lain?
Ia tersenyum, Ya udah, pijtin saja
Aku memijti
memijiti pundknya, punggungnya,
dengan pijtan yang halus, sesekali aku
merba ke bhunya. Ia memakai tshrt ketat.
.
.
.
Sehingga aku bisa melihat lekukan tbuh dan
juga tli bh-nya. Ddanya Tante Devi besar
juga. Tercim bau harum parfumnya.
.
.
.
Kamu sudah punya pacar, Rang? tanya
Tante Devi.
Nggak punya mbak
Kok bisa nggak punya, emang nggak ada yang
tertarik sama kamu?
Saya aja yang nggak tertarik sama mereka
Lha kok aneh? Denger dari mama kamu
katanya kamu podcast hiburan itu sering didatangi teman-
teman ceweknya ke rumah.
Iya, itu iseng aja, saya gak pernah
melayaninya, mbak. Tapi sekarang aku
menemukan cinta tapi sulit mengatakannya.
Aku memang tipe orang yang gak suka basa-
basi.
Masa?
Iya mbak, orangnya cantik, tapi sudah jnda.
Aku mencoba memancing.
Siapa? tanyanya.
Tante Devi.
Ia ketawa, Ada-ada saja kamu ini.
Aku serius mbak, nggak bohong, pernah
mbak tahu aku bohong?
Ia diam.
Semenjak aku bertemu Tante Devi,
maksudnya kenal lebih dekat gini, jantungku
berdetak kencang. Aku tak tahu apa itu. Sebab
aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya.
Hey! seru Tante Devi.
Jujur saja, semenjak itu pula aku menyimpan
perasaanku, dan merasa nyaman ketika
berada di samping Tante Devi. Aku tak tahu
apakah itu cinta tapi, kian hari dadaku makin
sesak. Sesak hingga aku tak bisa berpikir lagi
Tante, rasanya sakit sekali ketika aku harus
membohongi. diri kalau aku cinta sama Tante
Devi, kataku.
.
.
.
Rangga, aku ini bbimu, tentemu, adik
mamamu walau bukan adik kandung sih,
katanya.
Aku tahu, tapi perasaanku tak pernah
berbohong mbak, aku mau jujur kalau aku
sudah jatih cinta sama Tante Devi, adik tiri
ibuku, kataku sambil memluknya dari
belakang.
Lama kami terdiam. Mungkin hubungan yang
kami rasa sekarang mulai canggung. Tante
Devi mencoba melepskan pelkanku.
.
.
.
Maaf Rangga, Tante perlu berpikir, kata
Tante Devi beranjak. Aku pun ditinggal
sendirian di ruangan itu.
Teve masih menyala. Cukup lama aku ada di
ruangan tengah, hingga tengah malam kira-
kira. Aku pun mematikan teve dan menuju
kamarku. Sayup-sayup aku terdengar suara
isak tangis di kamar Tante Devi. Aku pun
mencoba menguping.
.
.
.
Apa yang harus aku lakukan? Apa?
Aku menunduk, mungkin Tante Devi kaget
setelah pengakuanku tadi. Aku pun masuk
kamarku dan tertdur. Malam itu aku
bermmpi bsah dengan Tante Devi. Aku
bermmpi bercnta dengannya, dan paginya
aku dapati celna dalmku basah. Wah,
mimpi yang indah.
.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
menantuidaman
selingkuh
foto
fotoai
text
gambar
foryou
Related: Explore more posts