BALADA BESAN DAN MENANTU (PART66)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART66
…Ceritadewasa…
.
.
Tanpa rasa ragu, Idris keluar rumahnya,
sengaja berjalan santai melewati depan rumah
Umi Latifah. Di pikirannya, ia ingin melihat
apakah senyum cerah wanita itu masih tersisa.
Atau mungkin, ada hal lain yang bisa ia
pancing dengan sedikit basa-basi.
Sebenarnya dia bisa saja menaklukan Umi
Latifah dengan langsung mengatakan jika tahu
apa yang terjadi di MCK itu, namun bagi Idris,
sebuah permainan yang seru dan baru
sepertinya jauh lebih menarik. Bukan hanya
kepusan wekwok namun seni menkalukan
wanita sholehah. Sejauh ini dia memang belum
pernah menaklukan wanita bergelar ustazah
seperti Umi Latifah.
Idris berjalan perlahan di jalanan tanah yang
sudah mengering akibat sengatan matahri
yang semakin meninggi, tetapi hawa sejuk
khas pedesaan masih terasa. Saat melewati
rumah Umi Latifah, pandangannya langsung
tertuju pada sosok wanita itu yang sedang
duduk di teras depan, memilah-milah sayuran.
Umi Latifah tersenyum tipis melihat Idris, tapi
senyum itu tak seperti biasanya. Ada sesuatu
yang berbeda. Sorot mata yang penuh percaya
diri, seolah menyimpan rahasia besar. Idris
menangkap itu dengan mudah dan dia tahu
jika sang Ustazah tak menolak kehadirannya.
.
.
.
Umi, walau sudah siang masih sibuk aja nih,
sapa Idris dengan nada bercanda, dia berhenti
di depan pagar bambu.
Umi Latifah mendongak, membalas dengan
senyum yang sedikit menggoda. Yah,
namanya juga ibu-ibu, Mas Idris. Kalau nggak
sibuk ya bikin sibuk.
Idris tertawa kecil. Kalau gitu, sibukin saya
juga doong, Umi.
Umi Latifah pura-pura menggeleng, tapi jelas
merah yang berusaha
ada
rona
disembunyikannya. Idris makin penasaran.
Setelah beberapa obrolan ringan, Umi Latifah
akhirnya berdiri.
.
.
.
Masuk aja dulu, Umi bikinin kopi, ya. Kasian
capek udah ngarit ya tadi, ucap Umi Latifah
sambil melangkah masuk ke rumahnya
menuju dapur.
Tanpa pikir panjang, Idris membuka pagar dan
melangkah masuk. Rumah Umi Latifah
memang cukup rapi, aroma khas rumah
pedesaan menyambutnya. Dapurnya berada
di bagian belakang, cukup luas dengan meja
kayu panjang dan perabotan sederhana.
.
.
Silakan duduk, Mas Idris, kata Umi Latifah
seraya mengambil teko air panas dari tungku.
Idris duduk di kursi kayu dekat meja,
memperhatikan setiap gerakan Umi Latifah.
Singlet putih yang dikenakannya membuat
tbuh kekrnya terlihat mencolok. Sementara
itu, Umi Latifah yang mengenakan daster
bermotif bunga dan berkerudung terlihat
semakin anggun di mata Idris.
.
.
.
Mas Idris suka kopi pahit atau manis? tanya
Umi Latifah, sambil membalikkan badan
dengan sedikit senyuman.
Kalau kopi, saya suka yang manis. Tapi kalau
yang lain… kadang pahit juga menarik, jawab
Idris, matanya sedikit menyipit, mencoba
membaca reaksi Umi Latifah.
Wanita itu terkekeh pelan. Kalau gitu, saya
buatin yang manis aja. Biar harinya juga
manis.
Sejatinya Idris masih merasa heran, hatinya
terus bertanya-tanya dengan yang sedang
disaksikannya. Umi Latifah menjadi sangat
berbeda dari yang selama ini dikenalnya.
Bukan hanya tutur katanya yang lembut,
namun suaranya pun terdengar lebih manja,
ditambah gerakan dan gestur tbuhnya terasa
sangat menggoda.
Mungkin karena selama ini Idris tidak terlalu
dekat. Sebelumnya Idris sadar diri kalau Umi
Latifah bukan wanita yang akan mudah
disentuhnya, walau sejak dulu dia sudah
sangat menginginkannya.
Idris menyandarkan tbuhnya, membiarkan
aroma kopi yang perlahan menguar mengisi
ruangan. Suasana terasa semakin akrab. Dan
di dalam hatinya, Idris tahu, Umi Latifah
bukan sekadar ingin membuatkan kopi
untuknya. Ada sesuatu yang sedang bermain
di antara mereka. Sesuatu yang Idris sangat
siap untuk melanjutkannya, bahkan dia sudah
berencana akan memberikan lebih baik dari
yang Umi Latifah dapatkan dari Amir, walau
ukuran rudl Amir lebih besar. Namun dalam
segi permanian Idris bisa bersaing.
Umi Latifah meletakkan gelas kopi di depan
Idris, aromanya menggoda, tapi bukan itu
yang paling menarik perhatian pemuda urakan
itu. Umi Latifah sengaja membngkuk sedikit,
memperlihatkan lkuk tbuhnya
Yang
tersembunyi di balik dster tipisnya.
Idris menangkap gerakan itu dengan sorot
mata tajam, tapi tetap, berusaha menjaga
wajahnya agar terlihat santai. Sebagai pemain
baru dalam menaklukan wanita solehah, Idris
tahu betul harus lebih berhati-hati.
.
.
.
Silakan, Mas Idris, ucap Umi Latifah sambil
duduk di kursi di seberangnya.
Idris mengambil gelas itu, meniup permukaan
kopi panas, lalu menyeruput perlahan. Enak.
Kayaknya kalau tiap hari dibikinin kopi begini,
saya nggak bakal beli di warung lagi, Umi.
Umi Latifah terkekeh, menutup mlutnya
dengan tangan seperti malu, tapi Idris tahu itu
hanya bagian dari permainannya.
.
.
.
Ah, Mas Idris bisa aja. Tapi jangan-jangan
nanti ketagihan lagi.
Kalau kopinya seenak ini, kenapa nggak?
jawab Idris santai, pandangannya tak lepas
dari Umi Latifah.
Beberapa menit berlalu, obrolan mereka makin
lepas. Idris, dengan gaya urakannya, sesekali
melempar candaan yang sedikit menggoda.
Umi Latifah pun menanggapinya dengan
cekikan tawa.
Mas Idris ini nggak ada bedanya ya, dari dulu
suka godain emak-emak terus, sindir Umi
Latifah manja.
Kalau yang digodain secantik Umi Latifah, ya
siapa yang bisa tahan? Dan jujur saja, baru
kali ini saya berani godain wanita secantuk
dan sesolehah Umi, Idris sengaja berucap
dengan nada rendah, tatapannya menelisik ke
dalam mata Umi Latifah.
Pipi Umi Latifah memerah samar. Ah, Mas
Idris jangan bercanda terus. Nanti Umi
beneran kegeeran, nih. Bahaya kan udah ada
suami.
Kalau saya serius, gimana? balas Idris, kali
ini suaranya terdengar lebih pelan, lebih dalam.
Sejenak suasana menjadi hening. Hanya
terdengar suara angin dari sela-sela jendela.
Umi Latifah mengggit bbirnya pelan, seolah
sedang menimbang sesuatu. Idris tahu, inilah
saatnya.
.
.
.
Tiba-tiba Umi Latifah berdiri, berjalan perlahan
ke dapur dengan alasan mengambil gula
tambahan. Tapi gerakannya terlihat sengaja,
seolah mengundang Idris untuk mengikutinya.
Dan benar saja. Dengan tbuh tegap, Idris
meletakkan gelasnya, lalu mengikuti langkah
Umi Latifah. Di sudut dapur yang agak redup,
mereka berdiri berhadapan. Umi Latifah
menunduk pura-pura sibuk dengan toples
gula, tapi tangan Idris dengan lembut
menyentuh pergelangan tangannya.
.
.
.
Umi… bisik Idris, suaranya bergetar pelan.
Umi Latifah mendongak, mata mereka
bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Tanpa
kata-kata lagi, aura di antara mereka sudah
bicara. Sebuah permainan berbahaya baru saja
dimulai.
Umi Latifah terdiam, jantungnya berdegup
lebih kencang. Ia tahu betul arah dari semua
ini, tapi tidak juga menjauh. Justru, tangannya
gemetar kecil saat Idris semakin mendekat.
Mas Idris… suara Umi Latifah terdengar lirih,
seperti peringatan, tapi juga tanpa kekuatan.
Idris tersenyum tipis, mata nakalnya terus
mengunci pandangan Umi Latifah. Umi nggak
usah takut. Saya cuma pengen ngobrol lebih
dekat.
Umi Latifah menelan ludah. Suasana dapur
yang remang-remang, aroma kopi yang masih
terisa di udara, dan kehangatan tbuh Idris
yang terasa begitu dekat membuat segalanya
terasa lebih rumit. Aroma sabun yang
menguar dari tbuh lelaki urakan itu kian
membuat Umi Latifah berdebar-debar.
.
.
.
Kalau ketahuan orang, gimana… tanya Umi
Latifah.
Siapa yang bakal tahu? potong Idris cepat,
suaranya penuh keyakinan.
Umi Latifah terdiam lagi. Tangannya masih
menggenggam toples gula, tapi tak ada niat
sedikit pun untuk menuangkannya ke dalam
gelas. Dia merasakan sesuatu yang sedikit
berbeda dari
dari senasi-sensai sebelumnya.
Bahakn saat dengan Amir.
Umi Latifah merasakan jika Idris benar-benar
menginginkan dirinya, berbeda dengan lelaki lain…
Mas Idris, kamu nakal… gumam Umi Latifah
akhirnya, setengah tersenyum.
Nakal kalau sama yang cantik kayak Umi,
nggak masalah kan? Idris mencondongkan
tbuhnya, suaranya semakin berat dan
menggoda.
Umi Latifah tertawa kecil, mencoba menutupi
kegugupannya. Tapi Idris tak memberinya
kesempatan. Tangannya perlahan menyntuh
pnggang Umi Latifah, sekadar menguji reaksi.
Tak ada penolakan. Hanya debaran yang
terasa semakin kuat.
.
.
.
Kopi tadi enak, bisik Idris tepat di telinga
Umi Latifah. Tapi ada yang lebih manis di
sini.
Umi Latifah menutup matanya sesaat,
membiarkan rasa bersalah yang singkat itu
tenggelam dalam kenikmatan yang mulai
menyeruak. Tubuhnya bergetar, tapi kali ini
bukan karena takut.
Mas Idris…
Ya?
Jangan lama-lama…
Senyum Idris semakin lebar. Tenang aja, Umi.
Kita kan cuma ngobrol, lagian masih banyak
waktu. Kita kan bertetangga dekat.
Tapi baik Idris maupun Umi Latifah tahu,
obrolan itu sudah melewati batas. Dan di balik
pintu dapur yang tertutup rapat, rahasia baru
pun mulai terjalin.
Suara deru motor bebek terdengar dari
halaman depan, membuat Umi Latifah
tersentak. Jantungnya seolah berhenti sejenak.
Idris yang semula begitu percaya diri,
langsung tegak berdiri dengan tatapan
waspada.
.
.
.
Anisa! bisik Umi Latofah menyadari siapa
datang.
Idris segera kabur melalui pintu belakang,
bbirnya tersenyum karena langkah
pertamanya sudah sangat berhasil. Tinggal
tindak lanjut yang lebih dahsyat.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts