BALADA BESAN DAN MENANTU (PART61-65)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART61-65
… cerita dewasa…
.
.
Pagi itu, mentari mulai mengintip dari balik
pepohonan, menyinari halaman rumah Umi
Latifah yang dipenuhi jemuran. Dengan
langkah ringan, ia keluar membawa baskom
berisi pakaian basah. Tidak seperti biasanya,
senandung ceria mengalun dari bbrnya. Lagu
-lagu lawas yang dulu sering ia dengar di radio
mengiringi gerakannya yang lincah. Hujaman
Rudl Amir, masih saja terasa menyudul-
nyundul apheem nya
.
.
Ternyata
terong muda jauh lebih
mendebarkan, bisknya mulai nakal.
Kenapa baru sekarang aku menyadarinya,
padahal sejak lama banyak anak muda yang
sering menatapku penuh gairh.
Wajahnya berbinar, sorot matanya bercahaya,
senyumnya terus merekah. Setiap helaian kain
yang ia jemur terasa seperti perayaan kecil
atas banyaknya rahasia aman yang kini
tersimpan di sudut hatinya. Masih terasa
benar kepusan yang dia dapatkan dari Amir.
Siapa sangka, gumamnya, menyeka keringat
di kening. Lebih perk sa daripada Pak Wira,
juga yang lainnya yang sudah tua.
.
.
.
Idris, pemuda berusia 19 tahun yang bertbuh
tegap dengan rambut acak-acakan, berdiri di
sudut pagar kayu rumahnya. Dari tadi,
matanya tak lepas memerhatikan Umi Latifah
yang bersenandung riang sambil menjemur
pakaian. Sikap ceria wanita itu sudah bisa dia
tebak, pasti karena ulah Amir di MCK itu.
.
.
Biasanya cemberut terus, hari ini kayak abis
dapet durian runtuh, eh buyunkk muda, hehehe,
gumam Idris sambil mengunyah batang
rumput yang terselip di bbirnya.
Idris memang dikenal sedikit urakan di
kampung. Suka menggoda gadis-gadis desa,
kadang juga iseng pada ibu-ibu yang lewat
depan rumahnya. Tapi kali ini, rasa
penasarannya lebih besar dari sekadar iseng
belaka. Setelah menyaksikan langsung
bagaimana Umi Latifah binl bercinta dengan
Amir, dia pun ingin mendapatkan gilirannya.
Tanpa berpikir panjang, Idris melangkah
menuju rumah Umi Latifah. Tak langsung
lewat depan, tapi memilih jalur belakang yang
langsung mengarah ke dapur. Dengan jemari
kasarnya, ia mengetuk pintu kayu yang sudah
mulai lapuk.
.
.
.
Tok! Tok! Tok!
Umi Latifah! Ada orang ganteng nih, siapatahu butuh bantuan! teriaknya dengan nada
menggoda.
Tak lama, pintu dapur berderit terbuka. Umi
Latifah muncul dengan wajah sedikit terkejut,
tapi masih dengan senyumnya yang belum
pudar sepenuhnya. Ia menyapu jilbabnya ke
belakang, mencoba terlihat biasa saja.
.
.
Idris, pagi-pagi kok udah mondar-mandir aja.
Ada apa?
Idris menyeringai, memperlihatkan giginya
yang putih. Ah, cuma penasaran aja, Umi.
Tumben keliatannya cerah banget pagi ini.
Kayak yang lagi jatuh cinta gitu, ya? goda
Idris berusaha bersikap wajar.
Umi Latifah tertawa kecil, tapi ada sedikit
gugup di balik suara renyahnya.
Dasar kamu
ini, mlutnya suka nggak ada rem. Biasa aja
kali, habis capek beres-beres rumah, makanya
keringetan.
Idris melangkah lebih dekat, bersandar di
kusen pintu. Matanya menatap Umi Latifah
dengan sorot penuh selidik. Beres-beres
rumah atau ada yang beresin hati juga ya,
Umi? godanya, sambil terkekeh.
Idris! tegur Umi Latifah sambil menepuk
lengan pemuda itu. Meski begitu, ppinya
merona samar. Udah sana, jangan ngelantur!
Mau aku suruh jemur pakaian juga?Kalau jemurnya sama Umi sih, aku ikhlas!
Idris tertawa lepas. Tapi sebelum beranjak
pergi, dia sempat melirik ke dalam rumah,
seolah mencoba membaca lebih jauh rahasia
yang disembunyikan Umi Latifah.
.
.
.
Umi Latifah menutup pintu dapur perlahan.
Senyumnya menghilang sedikit, berganti
dengan ekspresi khawatir. Apakah sikapnya
terlalu mencolok? Apakah Idris mulai curiga?
Namun satu hal yang pasti, pagi itu, selain
senandung ceria, ada juga degup jantung yang
berdegup kencang di balik dinding rumah Umi
Latifah.
Idris berjalan menuju kebun rumput di
pinggiran desa, sabit di tangan kanan, dan tali
tambang tergulung di bahunya. Namun
pikirannya masih terpaku pada Umi Latifah.
Ah, rasanya aku bisa menggese posisi si Amir,
gumamnya. Mukanya kayak abis dapet rejeki
nomplok, tapi bukan duit. Ini… lain,
bagaimana kalau dia juga udah merasakan
Buyunkkkk, hehehehe.
Idris bukan pemuda polos. Meski belum
menikah, pengalaman nakalnya sudah jauh
melampaui usianya. Banyak gadis desa yang
luluh karena rayuannya, bahkan beberapa
janda dan bini orang pun tak luput dari
godaannya. Ia tahu persis tanda-tanda wanita
yang sedang dimabuk kenikmtan batang
lelaki. Dan pagi tadi, Umi Latifah
memancarkan sinyal itu.
Berarti Ustad Bidin, selain jarang di rumah,
mungkin kurang memuaskan juga, hehehe.
Di tengah lamunannya, terdengar suara
langkah kaki menghampirinya. Iwan,
temannya sejak kecil, datang dengan wajah
mengantuk sambil menyeret aritnya. Pemuda
itu tak kalah urakan dari Idris. Rambutnya
acak-acakan, bajunya kusut, dan tbuhnya
berbau keringat semalam suntuk habis ronda.
.
.
.
Eh, Dris! Kenapa bengong? Jangan bilang lu
lagi mikirin si Siti warung depan! goda Iwan
sambil tertawa.
Bukan Siti, Wan, sahut Idris, mengayun-
ayunkan aritnya ke udara. Ini lebih seru.
Iwan menaikkan alisnya. Apaan? Curhat dong.
Siapa lagi yang perlu kita incer?
Idris mendekat, memastikan tak ada orang di
sekitar mereka. Umi Latifah, bisiknya pelan.
Umi Latifah? Iwan hampir tersedak
ludahnya sendiri. Buset! Lu waras, Dris? Dia
kan ustazah!
Idris mengangguk sambil menyeringai. Justru
itu. Gue curiga ada yang aneh. Tadi pagi gue
lihat dia beda banget. Wajahnya sumringah,
kayak abis menang undian. Tapi mata gue
bilang beda, Wan. Lu tahu kan, gue udah
sering lihat ekspresi begitu. Idris belum mau
terbuka tentang temuannya kemarin sore.
Iwan menggeleng pelan. Gila lu, Dris. Bisa aja
dia emang lagi seneng, anaknya kirim duit
dari kota atau apa kek.
Ah, nggak mungkin, potong Idris. Lu tahu
sendiri suaminya jarang pulang, dan kalau
pulang pun uring-uringan. Gue yakin ada
sesuatu yang dia sembunyikan.
Iwan mendengus, tapi dalam hatinya sedikit
tergelitik juga. Jadi lu mau ngapain? Kepo
doang atau…?
Idris menyeringai. Nggak tahu. Tapi yang
jelas, Umi Latifah nggak akan bisa lama-lama
nyembunyiin rahasianya. Gue cuma butuh
waktu. Idris tetap berlaga polos.
Iwan tertawa lepas, menepuk bahu Idris. Lu
emang nggak ada obat, Dris. Hati-hati aja,
jangan sampai ketahuan. Bisa tamat riwayat lu.
Ustad Bidin dilawan, hehehe,
Sambil terus bercanda, mereka melangkah
menuju kebun rumput. Namun di benak Idris,
rencana kecil mulai terlintas. Dan bagi seorang
pemuda seperti dirinya, godaan seperti ini
hanyalah permainan yang menantang,
Setelah selesai mengarit rumput dan memberi
makan kambingnya, Idris langsung bergegas
menuju sumur di belakang rumah. Air segar
menyentuh tubuhnya yang berotot, membilas
sisa keringat dan debu. Ia menyiram dirinya
berulang kali, menikmati kesejukan yang
meresap ke kulit.
Selesai mndi, tanpa banyak basa-basi, Idris
mengenakan celana kolor hitam yang sudah
agak pudar dan singlet putih yang menempel
ketat di tubuhnya, memperlihatkan lekukan
otot yang terbentuk alami dari kerja keras di
sawah dan ladang. Ia meraih botol parfum
murahan dari atas rak kayu, menyemprotka
sedikit di lher dan pergelangan tangannya.
Pas. Nggak berlebihan, gumamnya sambil
menatap bayangannya di cermin kusam.
Namun, satu hal yang tak ia ubah adalah
rambutnya. Rambut hitam tebal itu tetap acak
-acakan, berdiri tak beraturan seolah
membingkai wajahnya yang berkesan liar.
Justru di sanalah daya tarik Idris – penampilan
sedikit urakan yang kerap membuat para
gadis kampung melirik diam-diam.
Idris menyeringai kecil. Umi Latifah, siap-siap
aja.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Ceritadewasa
ceritanovel
mertuamenantu
menantuidaman
selingkuh
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts