BALADA BESAN DAN MENANTU (PART58)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART58
..CERITADEWASA…
.
.
.
Ia melihat dengan jelas bagaimana Umi Latifah
melangkah lebih dulu, dan Pak Amat
mengambil jalan belakang. la tak perlu
menebak dari mana mereka datang. la tahu
betul arah saung di kebun, dan siapa yang
punya tempat itu.
.
.
.
Hmm… jadi bener,
gumamnya pelan.
Akhimya pecah juga tembok gengsi itu ya…
Pak Dudung menyalakan rokoknya. Asap tipis
melayang di antara cahaya senja. Di dalam
hatinya, ada rasa.. getir. Iri. Tapi juga penuh
perhitungan.
Selama ini, ia memang tak pernah menyatakan
apa-apa, tapi Umi Latifah selalu punya tempat
tersendiri di benaknya. Bukan sekadar karena
pesonanya, tapi karena caranya bicara,
caranya memandang, caranya tetap kuat di
tengah kekosongan yang terlalu sering datang
diam-diam.
Dan kini, wanita itu-perempuan yang selama
ini ia kagumi dari jauh-telah lebih dulu
membuka hati.. tapi untuk orang lain.
Gak apa-apa, kata Pak Dudung pada dirinya
sendiri. Kalau aku nggak bisa punya dia…
setidaknya aku bisa atur permainan.
la naik ke atas sepedanya. Kayuhan pelan
membawanya pulang ke
warung, tapi
pikirannya sudah melanglang ke tempat lain.
Rencana mulai terangkai di kepalanya. la tahu
siapa yang harus dia ajak bicara, dan
bagaimana cara menggoyang ketenangan dua
orang yang mulai berani mencicipi rahasia.
Permainan baru saja dimulai, Pak Amat. Umi…
kita lihat seberapa kuat cintamu kalau badai
datang.
.
.
.
Di beranda rumah yang sunyi, Umi Latifah
tersenyum pelan. Senyuman yang tak biasa-
bukan senyum seorang istri yang patuh pada
takdir, tapi senyum seorang perempuan yang
baru saja menemukan kembali detak
jntungnya. Di balik kerudung rapi dan
pandangan teduhnya, ada gejlak kecil yang
tumbuh, hangat podcast hiburan dan menenangkan. Hari ini ia
merasa bahagia, meski tahu kebahagiaannya
tak akan bisa diumumkan pada dunia.
la sadar, ada batas-batas yang telah dilewati.
Namun ia dan Pak Amat sudah sepakat,
bahwa cinta tak selalu harus tercetak dalam
lembaran buku nikah. Mereka akan menjalin
hubungan ini dengan serius, dengan hati-hati,
dan dengan penuh penghargaan terhadap luka
masing-masing.
.
.
.
Pak Amat, seorang duda sepi yang sudah lama
menutup hatinya. Dan dirinya-Umi Latifah,
seorang istri yang nyaris menjadi janda, bukan
karena kehilangan suami secara jasmani,
tetapi karena ditinggalkan rohani.
Ustad Bidin, suaminya, lebih memilih hidup
bersama istri mudanya yang cantik dan segar,
meninggalkan Umi seperti daun tua yang
dibiarkan gugur sendiri. Maka, siapa yang
sesungguhnya bersalah?
Umi menatap langit senja yang lembut. la
membayangkan hari-hari ke depan tetap
menjadi istri Ustad yang dihormati
masyarakat, tetap hadir dalam majelis dan
kegiatan sosial, namun dengan hati yang tak
lagi kesepian. Di balik semua itu, ia telah
membangun ruang kecil untuk dirinya sendiri
-ruang di mana ia bisa merasa dicintai,
didengar, dan dihargai.
Sementara itu, di rumah yang tak jauh dari
sana, Pak Amat duduk termenung di kursi
kayu tua. Ada segaris senyum di wajahnya
yang penuh keriput. Untuk pertama kalinya
sejak lama, ia merasa hidupnya kembali
bernyawa. Setelah bertahun-tahun menjadi
duda yang tak dilirik, kini ia menemukan
bahtera baru-meski tanpa layar sah secara
hukum, namun berlayar dengan penuh cinta
dan tanggung jawab.
.
.
.
la tahu betul batasnya. la takkan pernah
menjadi suami sah Umi Latifah. Tapi ia berjanji, segenap hidupnya akan
dipersemnbahkan untuk membahagiakan
perempuan itu. Nafkah lahir batin akan ia
berikan, bukan sebagai kewajiban, tapi
sebagai bentuk syukur karena telah diberi
kesempatan mencintai lagi.
Di antara bayang senja yang perlahan menua,
dua hati dewasa saling menggenggam erat,
dalam diam yang penuh arti.
.
.
.
NoteL..i..k.e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts