BALADA BESAN DAN MENANTU (PART50)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART50
…Ceritadewasa..
.
Pak Amat hanya diam. Bbirnya tersenyum,
tapi matanya seperti menyimpan ribuan
kalimat yang tidak bisa diucapkan. Ia tahu,
Pak Dudung bukan orang sembarangan.
.Kadang suka ngomong ceplas-ceplos, tapi
sebenarnya bijak juga. Dan yang lebih penting
bisa dipercaya.
Hehe… saya cuma bantu benerin jendela,
jawab Pak Amat setengah berbohong, setengah
meyakinkan dirinya sendiri.
Jendela bisa dibenerin, tapi hati yang bolong
mah susah, celetuk Pak Dudung sambil
menyandarkan tbuh ke dinding warung,
menyeruput kopinya.
Pak Amat pamit lagi, kali ini dengan langkah
yang sedikit lebih cepat. Tapi entah kenapa,
hatinya terasa lebih ringan. Mungkin karena
dia merasa… ada yang diam-diam mendukung,
walau dalam diamnya yang nakal.
.
.
.
Malam itu mulai turun pelan-pelan, mengalir
seperti air teh hangat yang baru diseduh.
Jalanan kampung masih ramai suara jangkrik,
dan Pak Amat tahu sebentar lagi, ia akan
melewati pintu belakang yang lain.
.
.
Setelah Pak Amat berlalu, hilang ditelan lekuk
tikungan gang, Pak Dudung masih berdiri di
depan warungnya. Kopi di tangannya kini
tinggal separuh, tapi senyumnya justru makin
lebar.
..
Hmm… kalau si Amat aja bisa tergoda sama
Umi Latifah, apalagi aku, besannya,
gumamnya pelan, sambil mengelus dagunya
yang sudah mulai ditumbuhi uban halus.
Matanya menyipit ke arah rumah Umi Latifah
yang podcast hiburan hanya berjarak beberapa gang. Dalam
hatinya, ia mengakui, besannya itu memang
punya daya tarik yang beda. Kalem, lembut,
keibuan, tapi sorot matanya… ah, ada sesuatu
di sana. Sesuatu yang bisa bikin laki-laki
merasa dibutuhkan, merasa hidup kembali.
Pak Dudung menaruh gelas kopinya, lalu
masuk ke dalam warung sambil senyum-
senyum sendiri. Ia merasa seperti menyimpan
rahasia kecil yang menyenangkan.
.
.
.
Mainmu masih halus, Mat… tapi belum tentu
menang, bisiknya sambil menyalakan lampu
dalam warung. Malam ini, mungkin hanya Pak
Amat yang ke sana. Tapi besok? Bisa jadi
giliran dia yang lewat belakang.
Malam mulai turun pelan-pelan. Angin
membawa aroma tanah yang lembap, dan
suara jangkrik mengisi celah-celah sunyi di
gang kecil perkampungan itu. Pak Amat
melangkah hati-hati, menenteng kantong
belanjaan dari warung Pak Dudung, menuju
pintu dapur rumah Umi Latifah seperti pesan
yang ia terima tadi sore.
Sesampainya di teras samping, langkahnya
terhenti. Lampu dapur menyala redup, dan
dari kaca buram di jendela, tampak sosok Umi
Latifah sedang menata gelas di meja. Tapi
yang membuat Pak Amat tercekat bukanlah
aktivitasnya – melainkan penampilannya.
Umi Latifah tampak berbeda malam ini.
Rambutnya disanggul santai, tak seperti
biasanya yang selalu tertutup rapat. Ia hanya
memakai daster
daster bermotif bunga kecil,
sederhana namun entah mengapa terlihat
sangat… membumi dan memikat di mata Pak
Amat.
Ia menoleh, senyum lebar terukir.
Masya
Allah, beneran datang, Pak Amat. Silakan
masuk… suaranya terdengar lembut, penuh
kehangatan seperti teh hangat di malam yang
dingin.
Pak Amat masih berdiri mematung,
jantungnya seperti dihimpit kenangan dan
perasaan yang sudah lama disimpannya.
Namun ia segera menunduk sopan,
menenangkan hatinya.
.
.
.
Ini… saya bawakan gula, minyak, sabun… dan
kunci jendela juga. Sekalian yang tadi, kan?
katanya, suaranya agak serak.
Umi Latifah menerima kantong itu dengan
mata berbinar. Wah, lengkap banget. Terima
kasih ya, Pak. Saya jadi nggak perlu repot-
repot ke warung.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts