BALADA BESAN DAN MENANTU (PART49)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART49
…Ceritadewasa
Malam mulai merayap pelan, membawa hawa
dingin yang mengggit kulit. Pak Amat
membuka pintu rumahnya dengan langkah
pelan. Di tangan kirinya masih ada bungkusan
dari kebun yang tadi sempat ia berikan ke
Umi Latifah-satu-satunya momen hangat hari
itu yang justru sekarang membuatnya gelisah
luar biasa.
.
.
Sesampainya di ruang tengah, ia menaruh
peci dan duduk di kursi rotan tua yang sudah
mulai kendur talinya. TV menyala seadanya,
volume kecil, menampilkan tayangan
pengajian yang biasanya ia ikuti dengan
khusyuk. Tapi malam ini… ia hanya melamun.
Tatapannya kosong ke layar.
Yang muncul justru wajah Umi Latifah-
senyumnya, sorot matanya, dan cara dia
bicara seolah menyimpan sesuatu. Terutama
saat menjelang Pak Amat pamit dan Umi
berbisik sambil tersenyum,
Kalau masih mau
ngobrol, Pak… nanti setelah isya main aja lagi.
Lewat dapur aja ya…
Kalimat itu berputar-putar seperti rekaman
rusak. podcast hiburan Umi bilangnya pelan, tapi nadanya
manis sekali. Bikin hatinya hangat tapi
sekaligus tak tenang.
Pak Amat
mengusap wajah.
wajah. Hatinya
berkecamuk. Ia memang duda, sudah cukup
lama sendiri. Sering bilang ke orang-orang
kalau tak mau menikah lagi. Tapi bukan
berarti hatinya kebal. Dan Umi Latifah… ah,
perempuan itu, selalu saja berhasil
menyelinap ke pikirannya.
.
.
.
Ia berdiri, lalu duduk lagi. Berdiri lagi, berjalan
ke dapur, lalu kembali lagi ke ruang tamu.
Seperti orang bingung. Napasnya panjang-
pendek. Matanya kadang menatap pintu
seolah berharap ada angin atau alasan datang
untuk menahan langkahnya.
Tapi tak ada.
Hanya sepi, dan desir angin di luar jendela.
Akhirnya, setelah beberapa menit berdialog
dengan pikirannya sendiri, Pak Amat
mengambil peci dan sarungnya lagi. Ia
mengambil tas belanja kain dari balik lemari,
lalu melangkah keluar.
Belanja dulu, katanya pelan, lebih untuk
dirinya sendiri.
Tapi hatinya tahu. Ini bukan soal belanja.
Ini tentang seseorang yang diam-diam sudah
jadi alasan kegelisahannya selama ini.
.
Warung Pak Dudung terletak di pojok
kampung, di bawah pohon jambu air yang
sudah tua. Lampunya kuning temaram, tapi
cukup terang untuk menunjukkan aneka
barang dari sembako, kebutuhan mandi,
sampai baut-baut dan kunci pintu.
Pak Amat tiba dengan langkah agak terburu-
buru. Dda masih sedikit sesak oleh gelisah,
tapi wajahnya ia jaga tetap biasa. Ia
mengambil keranjang belanja dan mulai
memunguti beberapa barang kunci jendela,
sabun, sikat, beberapa camilan, bahkan
minyak goreng ukuran kecil.
Pak Dudung yang sedang duduk sambil
menyeduh kopi langsung menoleh dan
tersenyum menggoda.
.
.
.
Walah, tumben amat, Mat. Biasanya beli
sabun doang, sekarang macam-macam. Mau
bikin dapur sendiri apa gimana? godanya,
tertawa kecil.
Pak Amat hanya tersenyum, agak canggung.
Hehe… ya buat stok aja, Dud.
Pak Dudung berdiri, membantu memasukkan
barang ke kantong plastik. Stok apa stok… nih
kuncinya, yang nomor lima. Tapi kalo jendela
Umi Latifah, harus kunci nomor sepuluh, biar
gak gampang dibuka orang, ya gak?
Pak Amat kaget, sedikit terdiam. Lho,
emangnya kamu tahu?
Pak Dudung terkekeh. Lah… kampung ini
kecil, Mat. Lagian tadi sore ada yang lihat
kamu keluar dari rumah Umi. Santai aja,
namanya juga bantu-bantu.
Pak Amat mengangguk pelan, berusaha tetap
tenang. Tapi dalam hatinya, kata-kata Pak
Dudung menohok. Ya, ia tahu, semua orang
bisa bicara. Tapi kenapa hatinya justru makin
ingin kembali ke rumah itu?
Setelah membayar, Pak Amat pamit.
Nanti kalau butuh baut atau paku, bilang aja
ya. Tapi jangan pas malam Jumat, kata Pak
Dudung, masih sambil nyengir.
.
.
.
Pak Amat yang sudah menenteng plastik
belanjaan, terhenti sejenak ketika mendengar
bisikan Pak Dudung di dekat telinganya.
Pak Dudung mencondongkan tbuh, suaranya
nyaris seperti dsahan rahasia, Wajar, Mat…
kamu duda. Umi Latifah itu… ya walau
bersuami, tapi udah kayak janda. Lebih sering
sendirian daripada nggak. Kamu tahu saya,
tenang aja… asal hati-hati.
.
.
Pak Amat hanya diam. Bbirnya tersenyum,
tapi matanya seperti menyimpan ribuan
kalimat yang tidak bisa diucapkan. Ia tahu,
Pak Dudung bukan orang sembarangan.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts