BALADA BESAN DAN MENANTU (PART42)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART42
…Ceritadewasa..
Pak Amat mengepalkan tangannya, mencoba..menenangkan diri. Namun semakin ia
menahan, semakin kuat godaan yang
menghampirinya. Ia tahu, satu langkah saja
menuju rumah Umi Latifah, dan semuanya
bisa berubah. Kehormatan, reputasi, serta
harga diri yang telah ia bangun selama ini
akan runtuh dalam sekejap.
.
.
Ya Allah… bisiknya, nyaris putus asa. Malam
itu, meskipun langit bersinar terang, hati Pak
Amat tenggelam dalam kegelapan yang ia
ciptakan sendiri. Di depan masjid, perang
batin itu semakin tak tertahankan.
Pada akhirnya, dengan langkah perlahan dan
hati-hati, Pak Amat menyusuri jalur yang
jarang dilalui, menghindari pandangan siapa
pun yang mungkin lewat. Jalur sepi itu
membawanya menuju halaman samping
rumah Umi Latifah.
.
.
.
Malam semakin sunyi, hanya suara angin yang
sesekali terdengar menggesek dedaunan.
Hatinya masih diliputi pergolakan, tapi
hasratnya mendorongnya untuk terus maju,
meskipun logika berusaha menghentikannya.
Sesampainya di dekat jendela, Pak Amat
mendekat podcast hiburan dengan pelan. Bayangan di balik
kaca rumah Umi Latifah tampak jelas dari
sudut pandang
tempatnya berdiri. Ia
mengintip melalui celah tirai yang sedikit
terbuka, matanya terpaku pada sosok Umi
Latifah yang duduk di ruang tengah.
Wanita itu terlihat begitu santai, menonton
televisi dengan mengenkan daster tipis.
Rambutnya tergerai leps, dan kaki serta
phanya sedikit terlihat, tak tertutup
sempurna oleh dsternya.
Jantung Pak Amat berdegup
Pandangannya tak bisa lepas dari Umi Latifah
yang tampak begitu berbeda dari sosok yang
biasa ia kenal. Bayangan-bayangan yang
muncul di pikirannya semakin lir, mengingat
percakapan mereka siang tadi dan bagaimana
Umi Latifah seakan-akan mengundangnya
untuk datang.
.
.
.
Keringat dingin mulai membasahi dahinya,
meskipun udara malam terasa sejuk. Ia
berusaha menahan diri, tapi pemandangan di
depannya seolah memanggil-manggil sisi
gelap yang selama ini ia coba redam. Perasaan
bersalah dan hasrat bertarung dalam dirinya.
Napasnya terasa berat, sementara ia terus
mengintip, menyadari betapa rapuh dirinya di
hadapan godaan ini.
Pak Amat menelan ludah,
pikirannya
bercampur aduk antara keinginan dan
ketakutan. Namun, satu hal yang pasti, detik
itu ia tahu bahwa batas yang selama ini ia jaga
dengan susah payah mulai retak.
Pak Amat akhirnya menarik napas panjang,
berusaha menenangkan gejolk yang
berkecmuk di dalam dirinya. Dengan cepat, ia
merapalkan istigfar berulang kali, mencoba
menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang
menguasai benaknya. Tangannya terangkat,
mengusap wajahnya yang mulai memerah
oleh perasaan malu dan ketakutan. Hsrat
yang sempat menggoda kini tertahan oleh
keyakinan dan rasa bersalah yang kembali
menguat.
.
.
.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti
selamanya, Pak Amat memutuskan untuk
pulang. Langkahnya berat, seolah setiap inci
tbuhnya ingin kembali ke arah rumah Umi
Latifah, namun sisi lain dari dirinya, yang
masih memegang teguh prinsip, menuntun
untuk segera menjauh.
Kakinya melangkah dengan
lambat,
meninggalkan halaman rumah itu. Hatinya
tetap resah, namun ia tahu, berlama-lama di
sana hanya akan menambah dosa yang
mungkin tak bisa ia hapus.
Sementara itu, di sudut gelap malam, Pak
Wira mengawasi dari kejauhan, senyumnya
tipis namun penuh arti. Ia menggeleng-
gelengkan kepala, seolah puas dengan apa
yang baru saja terjadi. Tangannya mengusap
perlahan cincin di jari manisnya, cincin yang
dulu ia dapatkan dari Mbah Terong.
Kilauan di mata Pak Wira semakin kuat ketika
ia menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh
Mbah Terong memang benar-kesaktiannya
bekerja dengan sempurna.
.
.
.
Pak Wira tersenyum miring, bibirnya tertarik
ke satu sisi sementara pikirannya kembali ke
momen ketika Pak Amat mencandainya
tentang impoten. Bagi Pak Amat, mungkin itu
hanyalah candaan biasa, celetukan ringan
sesama lelaki dewasa yang sudah saling
mengenal cukup lama.
Namun bagi Pak Wira, kata-kata itu menancap
dalam seperti duri di hatinya. Setiap ejekan
yang keluar dari mulut Pak Amat kala itu,
meski diselimuti tawa, terasa seperti
penghinaan terhadap harga dirinya.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts