BALADA BESAN DAN MENANTU (PART25)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART25
…Ceritadewasa…
.
.
.
Pak Wira tertawa kecil, namun matanya tetap
fokus pada Umi Latifah. Ada sesuatu dalam
tatapan itu yang membuat Umi semakin
gelisah, namun di saat yang sama semakin
tertarik. Ia menyilangkan kakinya dengan
gemulai, lalu menatap Pak Wira lebih dalam.
Dia merasakan malam ini seolah memiliki
kendali atas dirinya, kendali yang tak pernah
ia rasakan sebelumnya.
Saya sebenarnya nggak biasa begini, Pak Wira
kata Umi Latifah perlahan, suaranya
terdengar berbisik, tapi entah kenapa, saya
merasa berbeda malam ini.
Pak Wira tersenyum tipis. Mungkin Umi
merasa bebas. Kadang kita butuh ruang untuk
jadi diri sendiri, tanpa ada yang menghakimi.
.
.
Kata-kata Pak Wira seperti menekan sesuatu
dalam hati Umi Latifah. Benar, dia merasa
bebas. Bebas dari pandangan orang lain, bebas
dari aturan yang biasa mengikatnya. Di rumah
ini, dengan Pak Wira, dia merasa bisa menjadi
seseorang yang berbeda. Bukan lagi Umi
Latifah sang ustadzah tapi janda muda yang
genit dan bebas berekspresi, bahkan sama
sekali tidak merasa risih saat tidak memakai
jilbab dan gamis panjangnya.
duduknya, semakin mendekat ke arah Pak
Wira. Mereka kini berhadapan lebih dekat, dan
mata mereka saling berbicara tanpa kata-kata.
sadar, Umi Latifah merapatkan
.
.
.
Pak Wira… saya bingung… kenapa perasaan
ini datang tiba-tiba… Umi Latifah bicara
dengan suara bergetar, namun tak ada lagi
keinginan untuk mundur.
Pak Wira menatap Umi Latifah dengan tatapan
yang tenang namun penuh pemahaman.
Kadang, perasaan itu datang tanpa kita
undang, Umi. Yang penting, bagaimana kita
menyikapinya, jawab Pak Wira dengan nada
pelan namun dalam.
Malam itu, di tengah gerimis yang masih turun
di luar, suasana di rumah Pak Wira semakin
memanas. Sesuatu yang tak pernah terjadi
sebelumnya mulai terasa di antara mereka,
dan Umi Latifah kini terperangkap dalam rasa
yang ia sendiri tak bisa pahami.
Pak Wira bangkit dari kursinya dan berkata,
.
.
.
Tunggu sebentar, Umi. Saya buatkan
minuman dulu, ya.
Umi Latifah hanya mengangguk, masih dalam
perasaannya yang campur aduk. Ia
memperhatikan Pak Wira berjalan ke dapur,
sementara jantungnya masih berdebar keras.
M
Entah mengapa dia sangat suka melihat kain
sarung yang dikenakan Pak Wira sudah
menyebul bagian depannya.
Tak lama, Pak Wira kembali dengan dua gelas
teh hangat dan kni bagian depan sarung Pak
Wira benar-benar terlihat menonjol besar.
Mata Umi Latifah nyaris tak bisa lagi beranjak
dari sana. Bayangan nyata rudal Pak Wira yang
tadi siang yang dilihatnya dengan utuh tanpa
sehelai benangpun yang menghalanginya,
kembali menari-nari liar dalam isi kepalanya.
Silakan diminum dulu, Umi. Biar lebih rileks.
Ucapan Pak Wira
Pak Wira sedikit menyadarkan
lamunannya.
Umi Latifah tersenyum tipis dan menerima
gelas teh dari Pak Wira. Terima kasih, Pak
Wira, kamu ternyata sangat baik.
.
.
.
Setelah menyerahkan minuman, Pak Wira
berjalan ke ruang tengah yang lebih luas dan
menyalakan televisi. Lampu di ruangan itu
redup, memberikan suasana yang temaram
dan lebih nyaman. Umi, kita pindah ke sini
aja. Di sini lebih enak, bisa sambil nonton teve.
Umi Latifah berdiri dengan sedikit canggung,
namun ia mengikuti Pak Wira dan duduk di
sofa ruang tengah. Suasana di ruangan ini
berbeda, lebih lembut, lebih santai, dan
dengan cahaya yang minim, semuanya terasa
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts