BALADA BESAN DAN MENANTU (PART19)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART19
…TRUE STORY…
.
.
.
Pagi itu, setelah malam yang penuh dengan
kecemasan, Umi Latifah tak bisa menahan
perasaannya lebih lama. Ketakutan bahwa Pak
Wira bisa saja membocorkan rahasianya
kepada suaminya terus menghantui
pikirannya. Ia tahu, jika rahasia itu terbongkar,
kehancuran bukan hanya akan menimpa
dirinya, tapi juga keluarganya. Pikirannya
kacau, hatinya gelisah, dan ia merasa harus
melakukan sesuatu sebelum semuanya
terlambat.
Setelah memastikan Ustad Bidin berangkat
lebih dulu ke masjid untuk mengajar, Umi
Latifah segera bersiap-siap. Dia memutuskan
untuk menyusul Pak Wira ke rumahnya. Ia
tahu setiap hari Jum’at Pak Wira tidak pernah
kemana-mana, bahkan ke sawah pun libur.
Sepanjang perjalanan, hatinya penuh dengan
campuran perasaan takut, marah, dan putus
asa. Ia harus bertemu dengan Pak Wira dan
memastikan rahasianya tetap aman,
bagaimanapun caranya.
.
.
.
Sesampainya di depan rumah Pak Wira, Umi
Latifah ragu sejenak. Namun, rasa takutnya
lebih besar dari rasa malunya. Ia mengetuk
pintu dengan pelan, namun cukup tegas. Tak
butuh waktu lama, Pak Wira membukakan
pintu, dengan senyum kecil yang menyiratkan
bahwa ia sudah menduga kedatangan Umi
Latifah.
Eh, Umi Latifah, pagi-pagi begini sudah
mampir ke sini. Ada yang bisa saya bantu?
Pak Wira berkata dengan nada santai, tapi
tatapannya tajam, seakan-akan menelusuri
kegelisahan di wajah Umi Latifah.
Umi Latifah menelan ludah, berusaha
menenangkan diri. Pak Wira… saya… saya
datang ke sini untuk bicara. Tolong, saya
mohon… suaranya terdengar pelan dan
gemetar, jelas berbeda dari sosok Umi Latifah
yang biasanya anggun dan tegas dan sangat
pedas kalau sedang menggunjingkan orang
lain.
Pak Wira, yang sudah mengantisipasi situasi
ini, mempersilakannya masuk. Mari, mari.
Kita bicara di dalam, katanya, sembari
mempersilakan Umi Latifah duduk di ruang
tamu.
Begitu mereka duduk, suasana menjadi hening.
Umi Latifah merasa semakin terdesak oleh
tatapan tenang namun penuh kuasa dari Pak
Wira. Akhirnya, dengan suara bergetar, Umi
Latifah berbicara.
Pak Wira, saya tahu apa yang bapak lihat…
tapi, saya mohon… jangan katakan apapun
pada Ustad Bidin. Saya… saya akan lakukan
apa saja yang bapak minta, asal jangan
ceritakan semuanya. Saya benar-benar khilaf,
saya sudah diperdaya oleh Pak Sarnu.
Pak Wira mendengarkan dengan tenang,
senyumnya tak pernah pudar. Ia tahu, saat ini
Umi Latifah ada di bawah kendalinya
sepenuhnya.
.
.
.
Umi Latifah, kenapa terburu-buru? Saya
belum bilang apa-apa, kok, jawab Pak Wira
dengan nada santai namun sarat makna.
Tapi, kalau Umi Latifah benar-benar khawatir,
tentu kita bisa bicarakan baik-baik.
Umi Latifah merasa semakin tak berdaya. Ia
tahu bahwa dirinya kini berada di posisi yang
sangat lemah, harga diri dan kesombonganya
sama sekali tidak memiliki makna di depan
Pak Wira, orang yang mengetahui rahasianya,
dan ia tak punya pilihan lain selain mengikuti
permainan yang tengah dimainkan oleh
besannya.
.
.
.
Setelah pembicaraan yang tegang, Pak Wira
tersenyum tipis dan berkata dengan nada
tenang namun penuh makna.
Umi Latifah, sepertinya kita perlu meluruskan
beberapa hal. Tapi, sebelum itu, bagaimana..
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
ceritadewasa
ceritanovel
mertuenantu
mertuaidaman
menantuidaman
istriidaman
foto
fotoai
gambar
text
foryou
Related: Explore more posts