BALADA BESAN DAN MENANTU (PART15)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART15
…Ceritadewasa..
.
.
.
Pak Wira mengangguk pelan, tatapannya tidak
lepas dari wajah Umi Latifah. Bicara saja, Bu.
Di sini kita aman, tidak ada yang mengganggu.’
Kalimat itu terdengar seperti janji, sekaligus
tantangan.
Dengan berat hati, Umi Latifah mulai berbicara.
Pak Wira… waktu itu, di gubuk sawah Pak
Amat, saya merasa ada yang mengintip… dan
saya curiga, apakah itu Bapak? Ia akhirnya
memberanikan
mengungkapkan
kegelisahannya.
Pak Wira tersenyum tipis, lalu berjalan
mendekati Umi Latifah. Ia mengangkat topi
capingnya sedikit, lalu memandang ke arah
sawah yang luas.
Umi Latifah… mungkin memang benar saya
ada di sana waktu itu. Tapi yang harus Umi
Latifah tahu, saya tidak pernah mengintip
siapa pun tanpa alasan. Kalimat itu
diucapkan dengan nada lembut, tetapi penuh
makna.
.
.
.
Umi Latifah merasakan jntungnya semakin
berdegup kencang. Apa maksud Pak Wira?
Apakah dia mengakui bahwa dia melihat
kejadian itu? Ataukah ini hanya permainan
kata-kata? Namun sebelum Umi Latifah bisa
berbicara lebih lanjut, Pak Wira menatapnya
lebih tajam.Mungkin selama ini banyak yang mengira
saya lelaki loyo, yang sudah tidak bisa apa-apa.
Tapi saya ingin Umi Latifah tahu, bahwa saya
masih sangat perkasa… di banyak hal.
Ucapan itu menghantam Umi Latifah seperti
petir di siang bolong. Sekarang ia bukan hanya
merasa terpojok oleh rasa takut, tapi juga oleh
kata-kata Pak Wira yang terang-terangan
menyinggung martabatnya sebagai pria. Rasa
takut dan cemasnya bercampur dengan
sesuatu yang lain-sebuah ketegangan yang
tidak bisa dia jelaskan.
Pak Wira melangkah lebih dekat lagi, hingga
Umi Latifah bisa merasakan kehadirannya
yang begitu kuat.
Jadi, kalau Umi Latifah ingin membicarakan
hal lain, saya siap mendengarkan. Tapi kalau
soal itu… mungkin kita bisa saling memahami
tanpa perlu terlalu banyak bicara.
Umi Latifah semakin tidak nyaman, tetapi kini
ia sadar bahwa situasi ini telah berubah
menjadi lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Pak Wira bukan hanya sekadar tahu, tetapi dia
juga menantang.
.
.
.
Siang itu, di tengah sawah yang luas dan sepi,
Umi Latifah dihadapkan pada sebuah pilihan
sulit mengakhiri perasaan gelisahnya dengan
berani atau mundur dari situasi yang semakin
memanas ini.
Pak Wira memandang sekeliling sawah yang
luas, kemudian mengarahkan pandangannya
kembali kepada Umi Latifah dengan tatapan
yang lebih tajam namun tetap tenang.
Umi Latifah, kalau mau bicara lebih jelas dan
terbuka, mungkin sebaiknya kita pindah ke
saung saya di ujung sana, ucapnya sambil
menunjuk ke sebuah saung kecil yang lebih
tertutup oleh pohon-pohon pisang dan ilalang
tinggi di ujung sawahnya.
Di sana lebih aman, tidak ada yang bisa
melihat, mendengar apalagi mengintip kita.
Umi Latifah tertegun sejenak. Perasaannya
semakin campur aduk-antara ketakutan,
kegelisahan, dan perasaan lain yang tak bisa ia
jelaskan. Tapi di satu sisi, dia merasa tak
punya pilihan lain selain mengikuti Pak Wira.
Mungkin dengan menyelesaikan ini sekarang,
rasa cemas yang menggelayutinya akan segera
berakhir.
.
.
.
Baiklah, Pak Wira…, jawabnya pelan, nyaris
tak terdengar, sambil mengikuti langkah Pak
Wira yang mulai berjalan menuju saung di
ujung sawah.
Nah gitu dong, kita sesama besan, kenapa
harus ada kecurigaan? Kita harus akur, karena
anak-anak kita juga akur hidup berumah
tangganya, timpal Pak Wira sambil tersenyum
tipis namun cukup menohok buat Umi Latifah.
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts