BALADA BESAN DAN MENANTU (PART12)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART12
..CERITADEWASA…
.
.
Warung Bu Ida memang menjadi
tempat favorit para warga untuk berkumpul,
terutama bagi Pak Wira yang sering nongkrong
di sana sambil minum kopi.
Setelah beberapa menit berjalan, tibalah Umi
Latifah di warung kecil itu. Seperti yang sudah
ia duga, Pak Wira duduk sendirian di pojok
warung, menikmati secangkir kopi hangat.
Pandangannya fokus ke jalanan di depan,
tampak santai seolah tak ada beban.
Umi Latifah merasa jntungnya berdebar lebih
cepat, tetapi ia berusaha tetap tenang. Ia tak
ingin memperlihatkan kegelisahannya.
.
.
.
Assalamu’alaikum, Bu Ida, sapa Umi Latifah
dengan senyum, mendekati etalase kecil
tempat Bu Ida biasa melayani pembeli.
Wa’alaikumussalam, Umi. Ada yang bisa saya
bantu? tanya Bu Ida ramah, sambil melayani
seorang pelanggan lain.
Seperti biasa, saya mau beli gula dan teh, Bu,
jawab Umi Latifah ringan, berusaha
mengalihkan perhatian Bu Ida agar tidak
curiga.
Sambil menunggu Bu Ida menyiapkan
pesanannya, Umi Latifah melirik ke arah Pak
Wira. Ia tampak tidak sadar kehadiran Umi
Latifah, atau setidaknya pura-pura tidak sadar.
Dengan mengumpulkan keberanian, Umi
Latifah pun mendekat ke arah meja di mana
Pak Wira duduk.
Pak Wira, kebetulan sekali ketemu di sini.
Lagi santai, ya? sapa Umi Latifah dengan
senyum tipis, berusaha terdengar biasa saja.
Pak Wira mendongak sedikit terkejut, tetapi
cepat menguasai diri. Oh, Umi. Iya, lagi ngopi
sambil istirahat sejenak. Baru dari sawah tadi,
jawabnya dengan tenang, sambil melirik Umi
Latifah dengan pandangan biasa.
.
.
.
Umi Latifah duduk di kursi di sebelahnya,
berusaha menjaga sikap. Wah, rajin sekali,
Pak besan ini. Sawahnya luas sih, ya. Saya
dengar dari Pak Amat, mau beli sawahnya juga
ya?
Pak Wira tersenyum. Iya, insya Allah kalau
lancar. Sawah Pak Amat itu strategis, sayang
sudah lama nggak digarap.
Umi Latifah mengangguk, meski pikirannya
masih berputar pada kejadian di gubuk. Ia
ingin bertanya langsung, tetapi harus hati-hati.
Ngomong-ngomong, waktu itu saya lihat
bapak juga sempat ke sawah Pak Amat, ya?
Saya kira sawah itu jarang ada orangnya,
katanya, sedikit berputar-putar.
Pak Wira mengangkat alisnya, sejenak terdiam
sebelum menjawab.
Iya, saya memang sering lihat-lihat sawahnya
belakangan ini. Mau memastikan kondisinya
sebelum deal sama Pak Amat. Termasuk
memeriksa gubugnya juga, sepertinya
memang harus segera diganti. Pak Wira
menyesap kopinya lagi, pandangannya tetap
tenang.
Umi Latifah merasa semakin tidak nyaman,
tetapi tetap berpura-pura biasa.
Hmm… begitu ya. Saya kira ada orang lain di
sana, soalnya waktu itu saya juga lewat dekat
situ, dan rasanya seperti ada yang mengawasi
dari jauh, lanjutnya sambil menatap Pak Wira
untuk melihat reaksinya.
Pak Wira tersenyum tipis, tetapi pandangan
matanya mulai terlihat sedikit tajam.
Mungkin memang ada, atau mungkin
perasaan saja. Sawah kan luas, banyak orang
lalu lalang di sana, kadang kita bisa salah
sangka.
.
.
.
Umi Latifah merasakan suasana mulai tegang,
meskipun kata-kata Pak Wira masih terdengar
tenang. Ia bingung, apakah Pak Wira benar-
benar tidak tahu apa-apa, atau sedang
menyembunyikan sesuatu?
Umi Latifah menelan ludah, perasaannya
campur aduk. Dia tahu dia harus berhati-hati,
tapi rasa penasaran dan ketakutan kalau Pak
Wira benar-benar melihat kejadian di gubuk
itu terus menghantuinya. Ia tidak bisa
membiarkan hal ini terus berlarut-larut.
.
.
NoteL..i.kk.e.mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts